Perpu Ormas dalam Bingkai NKRI
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang ditandatangani Presiden belum lama ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Masyarakat yang mendukung menilai terbitnya perpu saat ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang pancasilais, mencintai kebinekaan, makin merajut, merawat persatuan kesatuan, dan menegakkan eksistensi bangsa.
Namun, bagi masyarakat yang kontra atau tak mendukung terbitnya perpu beranggapan pemerintah terlalu berlebihan menyikapi demokrasi yang saat ini disuarakan sejumlah ormas. Masyarakat yang kontra terhadap perpu tersebut juga mensiyalir ada "ketakutan" dengan munculnya ormas-ormas tertentu yang mengkritisi dan berseberangan dengan pemerintah.
Ketua Advokasi Hukum Front Pembela Islam (FPI) Zainal Abidin Petir memandang perlu ada tolok ukur jelas soal kegentingan yang memaksa sebelum Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Petir mengatakan bahwa Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana ketentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto saat mengumumkan penerbitan Perpu No. 2/2017 tentang Ormas pada hari Rabu (12/7) mengatakan bahwa perpu tersebut diterbitkan akibat situasi yang mendesak karena perkembangan terkini, sementara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas belum memadai.
Perpu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 10 Juli 2017 dan mulai masuk pembahasan DPR RI itu, antara lain, mengatur larangan dan sanksi-sanksi terhadap ormas.
Penerbitan perpu ini, bagaimanapun juga, harus ditempatkan dalam konteksnya. Konteks yang dimaksud adalah komitmen pemerintah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berlandas pada Pancasila.
Perpu menampilkan ketegasan pemerintah untuk mengingatkan-menegaskan adanya koridor batasan bagi kebebasan berekspresi dan berkumpul. Ormas-ormas tidak dilarang beredar, begitu pun anggota-anggotanya tidak dibatasi hak berpendapat sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan nasional demi keutuhan NKRI.
Pro dan kontra terbitnya Perpu Ormas hendaknya disikapi dengan semangat demokrasi yang tidak melanggar norma-norma dan hukum yang berlaku. Semangat menjaga keutuhan NKRI harus menjadi hal utama.
Masyarakat yang mendukung menilai terbitnya perpu saat ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang pancasilais, mencintai kebinekaan, makin merajut, merawat persatuan kesatuan, dan menegakkan eksistensi bangsa.
Namun, bagi masyarakat yang kontra atau tak mendukung terbitnya perpu beranggapan pemerintah terlalu berlebihan menyikapi demokrasi yang saat ini disuarakan sejumlah ormas. Masyarakat yang kontra terhadap perpu tersebut juga mensiyalir ada "ketakutan" dengan munculnya ormas-ormas tertentu yang mengkritisi dan berseberangan dengan pemerintah.
Ketua Advokasi Hukum Front Pembela Islam (FPI) Zainal Abidin Petir memandang perlu ada tolok ukur jelas soal kegentingan yang memaksa sebelum Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Petir mengatakan bahwa Presiden memang berhak menetapkan perpu sebagaimana ketentuan dalam konstitusi, Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, ada syaratnya, yakni dalam kondisi kegentingan yang memaksa (vide Pasal 1 Angka 4 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto saat mengumumkan penerbitan Perpu No. 2/2017 tentang Ormas pada hari Rabu (12/7) mengatakan bahwa perpu tersebut diterbitkan akibat situasi yang mendesak karena perkembangan terkini, sementara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas belum memadai.
Perpu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 10 Juli 2017 dan mulai masuk pembahasan DPR RI itu, antara lain, mengatur larangan dan sanksi-sanksi terhadap ormas.
Penerbitan perpu ini, bagaimanapun juga, harus ditempatkan dalam konteksnya. Konteks yang dimaksud adalah komitmen pemerintah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berlandas pada Pancasila.
Perpu menampilkan ketegasan pemerintah untuk mengingatkan-menegaskan adanya koridor batasan bagi kebebasan berekspresi dan berkumpul. Ormas-ormas tidak dilarang beredar, begitu pun anggota-anggotanya tidak dibatasi hak berpendapat sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan nasional demi keutuhan NKRI.
Pro dan kontra terbitnya Perpu Ormas hendaknya disikapi dengan semangat demokrasi yang tidak melanggar norma-norma dan hukum yang berlaku. Semangat menjaga keutuhan NKRI harus menjadi hal utama.