Itulah kutukan yang pantas ditujukan kepada teroris yang secara terencana, nekat, dan membabi buta memuntahkan peluru dalam Kamis Hitam di kawasan pusat perbelanjaan Sarinah Jakarta pada 14 Januari 2016.
Polisi menyebutkan dari tujuh korban tewas dalam aksi kejam tersebut, lima di antaranya diduga merupakan pelaku teror. Puluhan warga terluka dalam aksi terorisme tersebut.
Entah cuci otak macam apa yang menyebabkan mereka mau menyerahkan nyawa diri sendiri sekaligus melukai begitu banyak orang tidak berdosa dan tidak paham apa yang tengah "diperjuangkan" oleh teroris. Sepertinya memang tidak ada istilah lain yang tepat kecuali kata teroris untuk menyebut orang-orang yang tidak mau menempatkan rasa kemanusiaan sebagai sebuah fitrah dari Allah SWT.
Terlalu picik manakala mereka menggunakan agama sebagai pijakan untuk membuat kerusakaan di Bumi, terlebih melukai dan menghabisi nyawa manusia. Tidak ada kata lain kecuali menyebut mereka sebagai kelompok picik.
Di manakah pancaran ilahiyah Ar-rahman dan Ar-rahim para teroris itu ketika memuntahkan peluru di hadapan sebagian besar orang-orang tak bersenjata bila mereka memang masih menyisakan segumpal iman?
Kutukan terhadap aksi teroris di Jakarta berdatangan dari sejumlah negara sahabat. Pun Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon.
Akan tetapi, manusia di Bumi ini tidak cukup hanya mengutuk untuk melawan orang-orang picik tersebut. Sudah terlalu banyak aksi teror yang mereka tebar di belahan Bumi ini. Butuh aksi nyata untuk mematikan sel-sel jaringan teroris agar tidak berbiak.
Oleh karena itu, sudah saatnya perlawanan terhadap teroris tidak hanya dipasrahkan kepada aparat. Sebagai manusia waras yang selalu mendambakan kehidupan damai dengan sesama tentu ingin ambil bagian dalam pencegahan munculnya teroris-teroris baru.
Apa yang ditempuh oleh banyak negara, termasuk Indonesia dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, sudah jelas bahwa untuk menanggulangi ancaman superserius ini dibutuhkan badan khusus. Aparat kepolisian pun juga dibekali pelatihan penanganan aksi terorisme.
Namun, terlalu naif bila setiap aksi terorisme terjadi, kemudian kita langsung menunjuk hidung BNPT dan kepolisian telah kecolongan. Dalam beberapa hal bisa jadi demikian, namun aksi terorisme yang terjadi seperti halnya di Paris dan Jakarta, sepatutnya disikapi dengan pendekatan berbeda.
Tidak selalu mudah mengendus aksi "gerilya" teroris yang melibatkan orang-orang biasa yang sudah dicuci otak. Para pelaku ini hanya diinjeksi dalam otak mereka dua kutub dengan permainan "zero-sum game": kita atau mereka; menang atau kalah. Tidak ada celah kompromi kendati yang dipertaruhkan puluhan bahkan bisa ratusan jiwa orang tak berdosa yang dipaksa terluka atau kehilangan nyawa.
Program deradikalisasi oleh pemerintah sampai saat ini masih berjalan. Sejumlah ormas Islam dan LSM, dengan dakwah dan caranya sendiri, juga melakukan langkah sama dengan menegaskan bahwa salah satu pesan penting yang dibawa agama adalah damai atau tidak membawa kerusakan.
Selain di sekolah, pondok pesantren, dan lingkungan, keluarga diyakini sebagai persemaian terbaik untuk menanamkan nilai agama yang penuh kedamaian.
Oleh karena itu, saatnya orang tua sejak dini dan lebih intens menanamkan nilai-nilai kehidupan yang lebih humanis. Menempatkan "liyan" sebagai bagian dari diri kita, bukan mereka. ***