Peserta BPJS Kesehatan Berhak Dapatkan Pelayanan Prima
Sebagian warga kini tidak harus menunggu sakit baru ke dokter. Kesadaran preventif dan kuratif kian menguat. Selain itu kini juga mulai bersemi kesadaran promotif untuk meningkatkan kualitas kesehatan.
Di zaman pra-BPJS Kesehatan, sakit serius menjadi momok bagi orang yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Gara-gara pencari nafkah sakit serius, misalnya, satu keluarga jatuh miskin karena asetnya terkuras untuk membiayai biaya pengobatan.
Bayang-bayang seperti itu kini sudah berkurang drastis karena dengan hanya membayar iuran bervariasi Rp25.000 hingga Rp59.000, peserta mendapatkan jaminan pengobatan dan perawatan sepenuhnya.
Kalau dulu seseorang sering menunda ke dokter atau rumah sakit, kini ketika muncul keluhan kecil saja bisa langsung ke dokter atau klinik sebagai layanan tingkat pertama BPJS Kesehatan. Bahkan BJPS pun mengganti pembelian kaca mata.
Nilai manfaat dan semakin meningkatnya mutu layanan BPJS Kesehatan itulah yang menyebabkan program ini memikat hampir semua warga negara. Bahkan warga yang sudah memiliki asuransi kesehatan swasta, banyak yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Sekadar contoh, operasi pemasangan cincin (ring) pembuluh jantung yang bisa menelan Rp100 juta pun dibiayai oleh BPJS Kesehatan.
Di luar masih adanya masalah kecil dan teknis, BPJS Kesehatan kini menjadi andalan puluhan juta penduduk untuk mendapatkan layanan kesehatan. Karena itu, jumlah pesertanya bakal terus bertambah.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebutkan total iuran yang masuk pada 2015 tercatat Rp 39 triliun, sedangkan kewajiban yang harus dibayar Rp41 triliun.
Sejak BPJS Kesehatan diluncurkan pada 1 Januari 2014 atau belum genap dua tahun berjalan, program jaminan kesehatan ini telah menjaring sedikitnya 152 juta peserta! Itu berarti dua dari tiga penduduk Indonesia sudah terlindungi BPJS Kesehatan.
Selisih yang tidak terlalu besar bagi negara untuk menutup defisit tersebut dibandingkan bila seluruh biaya kesehatan dibebankan pada APBN.
Sepanjang BPJS Kesehatan melayani peserta selama hampir dua tahun memang dirasakan masih terdapat kekurangan di sana-sini. Lazim kita melihat "adu mulut" antara peserta BPJS dengan pihak pemberi layanan kesehatan.
Namun, di luar kekurangan tersebut, sebagian peserta BPJS Kesehatan telah menerima manfaatnya. Seiring dengan tuntutan pelayanan yang lebih prima dari peserta, BPJS Kesehatan bersama mitranya, seperti dokter, klinik, puskesmas, hingga rumah sakit harus terus memperbaiki pelayanan.
Pemberi layanan kesehatan harus selalu ingat bahwa pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan tidak gratis, tetapi bayar dengan sistem gotong royong: yang sehat ikut membiayai yang sakit. Oleh karena itu, sudah seharusnya pula fasilitas kesehatan memberi pelayanan prima sesuai standar BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri untuk terus memperbaiki mutu layanan. Komitmen badan ini harus diamini oleh dokter, paramedis, puskesmas, klinik, dan rumah sakit selaku penyedia layanan kesehatan.
Sekali lagi, rakyat selaku peserta program BPJS Kesehatan memang berhak mendapatkan pelayanan prima. ***
Di zaman pra-BPJS Kesehatan, sakit serius menjadi momok bagi orang yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Gara-gara pencari nafkah sakit serius, misalnya, satu keluarga jatuh miskin karena asetnya terkuras untuk membiayai biaya pengobatan.
Bayang-bayang seperti itu kini sudah berkurang drastis karena dengan hanya membayar iuran bervariasi Rp25.000 hingga Rp59.000, peserta mendapatkan jaminan pengobatan dan perawatan sepenuhnya.
Kalau dulu seseorang sering menunda ke dokter atau rumah sakit, kini ketika muncul keluhan kecil saja bisa langsung ke dokter atau klinik sebagai layanan tingkat pertama BPJS Kesehatan. Bahkan BJPS pun mengganti pembelian kaca mata.
Nilai manfaat dan semakin meningkatnya mutu layanan BPJS Kesehatan itulah yang menyebabkan program ini memikat hampir semua warga negara. Bahkan warga yang sudah memiliki asuransi kesehatan swasta, banyak yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Sekadar contoh, operasi pemasangan cincin (ring) pembuluh jantung yang bisa menelan Rp100 juta pun dibiayai oleh BPJS Kesehatan.
Di luar masih adanya masalah kecil dan teknis, BPJS Kesehatan kini menjadi andalan puluhan juta penduduk untuk mendapatkan layanan kesehatan. Karena itu, jumlah pesertanya bakal terus bertambah.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebutkan total iuran yang masuk pada 2015 tercatat Rp 39 triliun, sedangkan kewajiban yang harus dibayar Rp41 triliun.
Sejak BPJS Kesehatan diluncurkan pada 1 Januari 2014 atau belum genap dua tahun berjalan, program jaminan kesehatan ini telah menjaring sedikitnya 152 juta peserta! Itu berarti dua dari tiga penduduk Indonesia sudah terlindungi BPJS Kesehatan.
Selisih yang tidak terlalu besar bagi negara untuk menutup defisit tersebut dibandingkan bila seluruh biaya kesehatan dibebankan pada APBN.
Sepanjang BPJS Kesehatan melayani peserta selama hampir dua tahun memang dirasakan masih terdapat kekurangan di sana-sini. Lazim kita melihat "adu mulut" antara peserta BPJS dengan pihak pemberi layanan kesehatan.
Namun, di luar kekurangan tersebut, sebagian peserta BPJS Kesehatan telah menerima manfaatnya. Seiring dengan tuntutan pelayanan yang lebih prima dari peserta, BPJS Kesehatan bersama mitranya, seperti dokter, klinik, puskesmas, hingga rumah sakit harus terus memperbaiki pelayanan.
Pemberi layanan kesehatan harus selalu ingat bahwa pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan tidak gratis, tetapi bayar dengan sistem gotong royong: yang sehat ikut membiayai yang sakit. Oleh karena itu, sudah seharusnya pula fasilitas kesehatan memberi pelayanan prima sesuai standar BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri untuk terus memperbaiki mutu layanan. Komitmen badan ini harus diamini oleh dokter, paramedis, puskesmas, klinik, dan rumah sakit selaku penyedia layanan kesehatan.
Sekali lagi, rakyat selaku peserta program BPJS Kesehatan memang berhak mendapatkan pelayanan prima. ***