Mereka lebih membutuhkan suasana yang lebih tenang setelah selama berbulan-bulan dipaksa mengonsumsi informasi yang tidak selalu berimbang.
Sebelumnya tak pernah ada pemihakan media yang begitu kuat seperti pilpres kali ini. Media yang selama puluhan tahun dikenal menjaga jarak dengan kekuasaan atau calon penguasa -- diakui atau tidak -- telah memihak, baik secara halus maupun eksplisit. Koran berbahasa Inggris The Jakarta Post secara terbuka mendukung capres Jokowi.
Terlepas capres-cawapres mana yang lebih bersih dari dosa masa lalu dan sekarang, langkah pemihakan media tersebut menjadikan pendukung masing-masing kubu memiliki referensi untuk berlindung dan berpijak atas pilihannya. Kalau Anda pilih Jokowi, tontonlah MetroTV. Bila mendukung Prabowo, saksikan TVOne, ANTTV, dan MNC grup, misalnya.
Stasiun televisi TV One dan MetroTV menjadi potret paling terang-benderang bagaiamana media yang menggunakan frekuensi publik yang sangat terbatas, juga dimobilisasi untuk mendukung capres pilihan pemilik media. Ruang redaksi awak media sudah tidak lagi kedap dari intervensi pemilik kapital dan kepentingan.
Media yang tidak memiliki afiliasi politik, setidaknya perusahaan yang tidak dimiliki politikus, juga ramai-ramai memberi dukungan kepada capres tertentu. Media beserta awaknya bukan tidak menyadari kecondongan tersebut. Dalihnya, mereka merasa memiliki kewajiban moral untuk memberi panggung lebih tinggi dan besar kepada capres yang diyakini bisa memberi harapan lebih terang. Sementara itu, capres-cawapres satunya harus menggalang dukungan sendiri melalui media lain. Mungkin tidak gratisan. Namun, pilihannya mungkin hanya itu.
Perang opini paling brutal terjadi di media sosial. Di media ini, segala cara dilakukan untuk mendukung capres-cawapres idolanya sekaligus mematikan capres-cawapres pesaingnya. Dalam beberapa kasus, banyak informasi dimanipulasi. Begitu pun foto direkayasa untuk menyerang kubu pesaing. Masih ingat ketika Jokowi berumrah kemudian pakaian ihramnya dimanipulasi sehingga bagian pundak yang terbuka ada di sebelah kiri dari seharusnya sebelah kanan.
Di internet, jarak antara informasi teks dan gambar yang asli/valid dengan yang manipulatif kadang begitu tipis atau sulit dibedakan, kecuali pengguna mau cek dan ricek. Begitu banyak sumber, baik identitas asli maupun anonim. Karena bisa berlindung di balik anonimitas di dunia maya, itu seolah jadi pembenar mereka bisa melakukan kekerasan tekstual kepada siapa saja.
Dan, itulah pemandangan yang dengan mudah diakses melalui Twitter, Facebook, blog, forum, Youtube, BBM, dan media sosial lainnya selama pra dan pasca-Pilpres 2014. Gaya menyerang atau menista bukan hanya monopoli pengguna media sosial bermasalah. Seorang Wimar Witoelar pun bisa emosional kemudian menista sejumlah ormas Islam sebagai --maaf -- kelompok bajingan. Romo Frans Magnis Suseno pun juga mengalami masalah sama dan diprotes banyak tokoh Islam. Alasannya cuma satu, Wimar dan Romo Magnis menentang Prabowo Subianto sebagai capres.
Isu agama menjadi begitu sensitif selama masa kampanye pilpres. Oleh karena itu kala The Jakarta Post (3/7/2014) memuat karikatur yang pesannya mengkritik gerilyawan bersenjata ISIS di Suriah dan Irak, ternyata karikatur itu malah "nendang" ke dalam isu domestik. Koran itu minta maaf dan menarik karikatur yang dimuat di edisi cetak itu.
Semula kita berharap bahwa setelah pilpres 9 Juli 2014 situasinya mereda karena sudah tahu siapa pemenangnya. Namun ternyata pertarungan belum usai. Hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga sigi ternama ternyata selisihnya tidak begitu lebar, kurang dari lima persen, dengan dimenangi Jokowi-Kalla. Sedangkan empat lembaga survei lain menempatkan Prabowo-Hatta sebagai juara, dengan selisih kurang dari tiga persen.
Hasil survei itulah yang menyebabkan kubu Jokowi dan Prabowo sama-sama mengklaim sebagai pemenang Pilpres 2014. Siapa presiden dan wakil presiden terpilih untuk masa tugas 2014-1019? Kita tunggu saja KPU yang akan menghitung perolehan suara pada 22 Juli 2014. Tak perlu saling cerca. ***