Namun, sebenarnya mereka menyampaikannya berdasarkan fakta, setidaknya fakta yang dihimpun dari sejumlah lembaga survei politik yang menempatkan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai sosok dengan popularitas dan elektabilitas paling tinggi.
Masa kampanye terbuka masih panjang, hingga 4 April sebelum digelar pemilu pada 9 April 2014. Masing-masing bakal capres, baik yang memiliki peluang lumayan maupun pas-pasan, memiliki taktik dan strategi untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya.
Berbagai cara, bahkan mungkin praktik kampanye hitam, bakal kita temui. Apalagi saluran penyampai informasi saat ini kian beragam. Media sosial seperti Twitter, Facebook, blog, Youtube, dan lainnya bakal menjadi media penyampai informasi yang tak kalah efektif dibanding media cetak, radio, dan televisi.
Jokowi boleh jadi memiliki kans terbesar menjadi presiden. Namun, selama masa kampanye, parpol, bakal capres, dan bakal cawapres pasti akan menggenjot semua celah yang memungkinkan untuk menaikkan elektabilitas. Di samping itu, PDIP juga masih harus membuktikan mampu meraih sedikitnya 20 persen suara dalam pemilu legislatif nanti agar bisa memuluskan Jokowi sebagai capres.
Mesin partai juga akan disetel untuk mendapatkan tenaga puncak agar efektif untuk konsolidasi dan menggalang pemilih. Apalagi dalam berbagai survei juga, sekitar 30 persen pemilih belum menentukan nama caleg, partai, dan capresnya. Dalam dunia politik, blunder bisa terjadi. Ini menguntungkan lawan-lawan politik. Jadi, persaingan memperebutkan RI 1 dan RI 2 periode 2014-2019 masih tetap seru.
PDIP melalui Ketua Umum Megawawi Soekarnoputri memberi mandat kepada eks Wali Kota Surakarta itu menjadi bakal calon presiden. Sebelumnya memang ada yang meramal Megawati bakal maju sebagai capres.
Alasannya, kelompok konservatif memberi dukungan kepada putri Bung Karno itu. Pemilu 2014, juga merupakan kesempatan terakhir dan terbaik bagi Mega untuk menduduki kursi presiden karena saat ini PDIP, terutama Jokowi yang kader PDIP, mendapat simpati luas dari masyarakat. Kapan lagi bagi Megawati kalau tidak sekarang ini. Akan tetapi Mega mengambil keputusan senapas dengan arus bawah yang menginginkan Jokowi sebagai bakal capres.
Benarkah Jokowi bakal dengan mudah mendulang suara dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014? Kalau merunut hasil survei, mungkin iya. Namun, politik adalah seni mengelola kemungkinan. Oleh karena itu pesaing yang sepada dengan Jokowi, misalnya, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, tentu tidak mau duduk manis menerima nasibnya.
Prabowo, misalnya, di Sragen dalam kampanye perdana pada 16 Maret 2014, menyatakan jangan memilih capres yang menjadi boneka. Ini memang tidak langsung ditujukan kepada Jokowi. Namun, sulit membantah bahwa ucapan itu tidak ditujukan kepada Jokowi yang dalam konteks persepsi dan relasi politik, Jokowi di bawah kekuasaan Mega sebagai pemimpin partai. Apa pun, langkah Megawati mengusung Jokowi juga patut dibaca sebagai kelegawaan Mega memberikan kursi tertinggi bagi kader terbaik PDIP.
Penetapan Jokowi sebagai bakal capres juga bakal memberi keuntungan bagi PDIP dalam perolehan kursi pada Pemilu 2014. Ada semacam hipotesis bahwa bila ingin Jokowi menjadi presiden maka pemilih harus mencoblos caleg yang diusung PDIP. Fans Jokowi memang lebih lintas partai ketimbang tokoh-tokoh lain yang hendak bertarung dalam pilpres mendatang. Penetapan Jokowi prapemilu itu pula yang membuat was-was pengurus partai di tingkat bawah. Apalagi selama ini media memberi porsi kelewat berlebihan kepada Jokowi selama ia menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi memang perkasa dan dicintai media. Meskipun selama satu setengah tahun memimpin DKI Jakarta banyak tugas yang belum tuntas, ia sukses menjadikan dirinya sebagai sosok pemimpin yang sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Ia sukses memberi harapan kepada banyak orang.
Namun, masih banyak janji yang harus dibuktikan. Misalnya, mengatasi kemacetan dan banjir di Jakarta. Kita pun masih menunggu penyelesaian hukum kasus dugaan penyelewengan dalam pengadaan bus dari China untuk armada Transjakarta.Ini kasus besar, namun Jokowi dan Ahok, wakilnya, berhasil mengelola isu ini dengan piawai sehingga tidak mencemari reputasi kedua tokoh ini.
Jokowi boleh dibilang sosok "can do no wrong". Simaklah ribuan komentar di media sosial atau di situs berita. Barang siapa yang berani mengkritik Jokowi, mereka akan di-"bully" ramai-ramai oleh "Jokowi lovers". Sepertinya, Jokowi tidak pernah bisa melakukan kesalahan. Itu bukan kesalahan Jokowi, tentunya.
Rakyat sudah terlalu lama menunggu pemimpin yang bukan saja bersih, tapi juga mau blusukan atau menyapa langsung rakyatnya. Jokowi memiliki itu, setidaknya selama menjadi Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta selama 1,5 tahun.
Apakah kelak ketika menjadi presiden Jokowi tetap rajin blusukan? ***