"Undang-Undang No. 4/2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Perpu MK) memang pantas ditolak karena menyalahi prinsip demokrasi," katanya ketika dihubungi dari Semarang, Kamis malam.

Eva K. Sundari yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI mempertanyakan kenapa kedaulatan rakyat dengan tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di bawah panel ahli yang akan menyeleksi bakal calon hakim konstitusi.

Untuk perbaikan, kata Eva K. Sundari, kode etik "content"-nya harus detail dan ketat, terutama mencegah kecurangan dan menutup ruang konflik kepentingan.

"Kayak SOP (standar operasional prosedur) lah. Contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kode etiknya hingga saling mematai dan bisa melaporkan jika terkait dengan kecurangan," kata Eva K. Sundari yang juga calon tetap anggota DPR RI periode 2014--2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI.

Perbaikan kedua, lanjut dia, via revisi UU No. 24/2003 tentang MK, setidaknya dua hal, yakni pengawasan eksternal. Hal ini mengingat mereka yang duduk di kursi hakim konstitusi bukan malaikat yang tanpa nafsu dan steril.

Ia lantas mencontohkan kasus Akil Mochtar (mantan Ketua MK) menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak bisa mengawasi dirinya sendiri.

"Kedua, mekanisme untuk banding atau menyoal jika putusannya cacat, misalnya ada suapnya. Masak harus diterima walau ketahuan salah, seperti trauma Gunung Mas, bagi PDI Pertjuangan soal Pilgub Bali. Bikin fatwa yang bertentangan dengan norma pemilu universal, 'mosok' kualitas pemilu dimundurkan demi mengamankan putusan, dan berlaku Bali 'doang'. Bohong banget kan?" ungkapnya.

Sebelumnya, MK dalam putusannya telah membatalkan UU No. 4/2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

"UU Penetapan Perpu MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membaca amar putusan di Jakarta, Kamis.

Dengan dibatalkannya UU Perpu MK tertsebut, kata Hamdan, UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8/2011 berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Batalnya UU No. 4/2014 ini berarti telah membatalkan adanya panel ahli yang akan menyeleksi bakal calon hakim konstitusi, pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), dan syarat hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan partai politik.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024