Itu adalah sepenggal cerita Pak Coro--panggilan akrab Sucoro--tentang Artidjo Alkostar yang sekitar enam jam setelah peristiwa "Bom Borobudur" pada tanggal 21 Januari 1983, dengan angkutan umum tiba di rumahnya, dekat candi Buddha terbesar di dunia itu.

Pak Coro yang kala itu masih menjadi Ketua Forum Lintas Masyarakat Borobudur (1982--1989), tinggal di Jalan Medang Kamolan Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di luar pagar Taman Wisata Candi Borobudur.

"Gimana kejadian semalam?" tanya Artidjo seperti dikutip Pak Coro yang waktu itu sekitar pukul 08.00 WIB, sedang mencuci mobil di depan rumahnya. Pak Coro pun seketika malah balik bertanya singkat, "Apa?"

"Candinya dibom," kata Artidjo yang waktu itu menjadi Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, sebagaimana dikutip Pak Coro.

"Ah nggak ah. Nggak ada ledakan. Semalam itu suara ledakan dari tentara latihan di Plempungan (tempat para taruna Akademi Militer latihan menembak di Kecamatan Salaman berbatasan dengan wilayah Borobudur, red.)," katanya.

Ia mengakui bahwa jawabannya itu membuat Artidjo yang ketika itu bersama Erwin Syah (Wakil Ketua LBH Yogyakarta) tertawa dan mengejeknya dengan menggunakan kalimat berbahasa Jawa.

"'Sing duwe Borobudur malah ora ngerti. (Yang punya Borobudur malah tidak tahu, red.)," kata Artidjo seperti ditirukan Pak Coro.

Pak Coro baru percaya bahwa ledakan semalam itu benar-benar dentuman bom di Candi Borobudur setelah bersama mereka memasuki Taman Wisata Candi Borobudur dan melihat cukup banyak orang berkumpul di tempat itu dengan penjagaan ketat aparat kepolisian dan tentara.

Sekitar pukul 13.00 WIB, Artidjo meninggalkan Borobudur untuk kembali ke Yogyakarta dengan menumpang angkutan umum lagi. Beberapa waktu kemudian, dia juga mengetahui kabar bahwa Pak Coro sempat ditangkap jajaran polisi dan sempat diinterogasi beberapa kali, termasuk oleh TNI, ketika aparat mencari pelaku peledakan bom di Candi Borobudur.

Hubungan antara Pak Coro dan Artidjo telah terjalin sejak awal era 1980-an terkait dengan perkara panjang pembebasan tanah warga sekitar Borobudur karena proyek pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur.

Setelah perkara pembebasan tanah itu rampung, Pak Coro sesekali menjadi penghubung dengan LBH Yogyakarta untuk kepentingan warga setempat yang sedang berhadapan dengan perkara hukum.

Relasi dekat dan informal antara Pak Coro dan Artidjo terus terjalin hingga saat ini. Artidjo saat ini menjabat hakim agung di Mahkamah Agung, sedangkan Pak Coro memimpin komunitas masyarakat kawasan Borobudur dalam wadah Warung Info Jagad Cleguk.

Ia menyebut Artidjo sebagai sosok cerdas dan disiplin dalam menangani perkara hukum, berpijak kepada landasan hukum, tetapi bukan hukum yang direkayasa.

"Kalau sedang ke Jakarta saya sekali-sekali memberi tahu Pak Artidjo, sesekali kami juga saling mengirim SMS (layanan pesan singkat, red.) sekadar bertanya keadaan masing-masing. 'Tingkatan e wis gojek'. (Relasi Pak Coro-Artidjo sudah sampai tataran riang, red.)," katanya.

Reses
Jejaring Pak Coro baik secara pribadi maupun kelompoknya dengan berbagai pihak, terutama masyarakat desa-desa sekitar Candi Borobudur dan luar daerah itu, agaknya memang cukup luas.

Barangkali karena sikap kritis Pak Coro dan kekayaan catatan ingatannya atas perjalanan sosial masyarakat Borobudur terkait dengan pengelolaan Candi Borobudur dengan kawasannya, didukung kehidupan hariannya yang sederhana, antara lain sebagai penjual koran, bersama istrinya membuka warung makan, dan jasa parkir kendaraan wisata itu, menjadi satu jalan menarik pihak lain menjalin relasi dengan dirinya.

Salah satu lainnya relasi dengan Pak Coro yang pernah terjalin, adalah Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angie) ketika menjadi anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat RI. Angie duduk di kursi dewan itu setelah mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 2004 dari Daerah Pemilihan IV Jateng, meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan Purworejo.

Reses pertama Angie sebagai legislator setelah terpilih melalui Pemilu 2004, antara lain memanfaatkan peranan kritis komunitas WIJC. Pada tanggal 12 April 2005, dia mengunjungi Sekretariat WIJC yang juga rumah Pak Coro. Pertemuan Angie dengan komunitas itu berlangsung malam hari, hingga sekitar pukul 22.00 WIB, dalam acara bertajuk "Sarasehan Rembuk Warga Borobudur".

Berbagai persoalan Borobudur seperti dikatakan Pak Coro, disampaikan anggota komunitas kepada Angie, antara lain masalah Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Candi Borobudur, realitas perubahan visi konservasi menjadi pariwisata atas pengelolaan Borobudur, dan pemberdayaan masyarakat kawasan.

Dalam berbagai kesempatan berikutnya, terutama saat kunjungan Angie ke Borobudur, Pak Coro juga menemuinya.

"Perjuangan untuk menjadi lebih baik pengelolaan Borobudur memang tidak sederhana. Apa yang diperjuangkan Bu Angie memang jalur politis. Hasilnya tidak terlalu signifikan. Namun, kami percaya Bu Angie sudah bekerja keras untuk Borobudur," katanya.

Terutama setelah Angie tersangkut perkara korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga, kontak Pak Coro dengan dia terputus. Pak Coro pun terkesan maklum atas ihwal itu dan menyebut dalam dialek Jawa bahwa Angie yang Putri Indonesia 2001 itu, "leno" atau terlena dengan posisinya.

Kabar melalui media massa bahwa kasus hukum Angie di tingkat kasasi berhadapan dengan Artidjo sebagai hakim agung, juga disimak oleh Pak Coro di Borobudur.

Mahkamah Agung dengan ketua majelis hakim perkara itu, Artidjo dan dua anggota, yakni Mohammad Askin dan M.S. Lumme pada hari Kamis (21/11) mengumumkan putusan kasasi Angie dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider enam bulan kurungan.

Selain itu, mewajibkan Angie mengembalikan uang suap Rp12,58 miliar ditambah 2,350 juta dolar AS. Jika kewajiban itu tidak dibayar, harus diganti dengan kurungan selama lima tahun. Hakim agung menerapkan Pasal 12 A Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap perkara Angie.

Pada pengadilan tingkat bawah sebelumnya, yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Angie divonis empat tahun enam bulan penjara, tanpa pembayaran denda.

"Bu Angie orang pintar, genius, tetapi salah tempat. Dia 'leno' dan jatuh di ruang korupsi. Koruptor memang perlu dihukum berat. Tapi Bu Angie dengan kecerdasannya, saya yakin merenungi keadaan ini, kalimat 'penjara', 'hukuman' tentu menjadi satu renungan pentingnya dan pembelajaran diri," katanya.

Pak Coro pun bercerita keadaan sulit dihadapinya ketika dituduh terlibat peledakan bom di Borobudur pada tahun 1983, sebagai jalan perenungan. Ia mendapatkan perlakuan kasar aparat yang menginterogasinya di markas kepolisian wilayah setempat, waktu itu. Tuduhan yang akhirnya mentah itu, sempat membuat darah mengucur dari tubuhnya.

Bisa dipastikan bahwa Pak Coro yang saat ini berumur 61 tahun dan organik Borobudur itu, tidak tahu apakah sebelum perkara kasasi tersebut, ada relasi antara Artidjo dan Angie. Namun, keduanya dengan kurun waktu yang berbeda-beda, telah menapakkan jejak di Borobudur.

"Siapa pun yang pernah menjejakkan kaki di Borobudur. Entah Pak Artidjo atau Bu Angie, atau siapa saja, tentu pernah memasuki ruang renungan Borobudur. Entah waktu panjang ataupun hanya sekejap. Renungan tentang apa saja," katanya.

Akan tetapi, Borobudur bukan penjara.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024