Purwokerto (ANTARA) - Di balik toga hitam yang membalut tubuhnya pada wisuda ke-158 , Fuad Kamaludin membawa kisah unik. Lulusan Fakultas Biologi ini justru meraih panggung prestasi internasional bukan di laboratorium, melainkan melalui bidikan lensa kamera.
Perjalanan Fuad bermula jauh sebelum dirinya mengenakan jas almamater cokelat khas . Saat teman-teman sebayanya sibuk bermain atau berolahraga, remaja asal Kuningan, Jawa Barat, itu menemukan kebahagiaan lain. Ia gemar memotret, merekam, dan mengedit video meski hanya dengan peralatan seadanya.
Ketertarikan itu berkembang menjadi gairah ketika ia duduk di bangku SMP. Kamera saku sederhana menjadi saksi awal bagaimana Fuad berusaha menangkap momen dari sudut pandang berbeda. Apa yang bagi orang lain tampak biasa, justru bisa ia rangkai menjadi karya visual yang memikat. Dari sinilah tumbuh tekad untuk terus mengasah keterampilan fotografi dan videografi.
Kegemarannya semakin kuat saat ia mengenal dunia digital. Fuad mulai mengunggah karya ke media sosial, bereksperimen dengan platform seperti YouTube dan TikTok. Aktivitas itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga membuka peluang untuk dikenal lebih luas sekaligus menghasilkan pendapatan.
Dunia lomba menjadi ruang baru bagi Fuad untuk menguji kemampuan. Ia mengikuti berbagai ajang fotografi, dari tingkat lokal hingga nasional. Keberanian mengikuti lomba berbuah hasil: satu demi satu prestasi ia raih.
Hingga kini, total 14 gelar juara sudah ia kumpulkan, dengan rincian 12 di tingkat nasional dan dua di level internasional. Dari sekian capaian, salah satu yang paling membanggakan adalah saat ia meraih posisi Second Runner Up dalam ajang Photography FMI International Competition 2022.
Lomba tersebut mengangkat tema “Perekonomian di Tengah Pandemi”, sebuah isu yang menantang untuk divisualisasikan. Lewat bidikan lensanya, Fuad mampu mengalahkan karya dari berbagai universitas ternama, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di sejumlah perguruan tinggi di kawasan ASEAN.
Prestasi itu menegaskan bahwa jalannya sebagai fotografer tidak sekadar hobi, melainkan potensi serius yang bisa mengantarkannya ke panggung dunia.
Namun perjalanan itu bukan tanpa hambatan. Pada awalnya, Fuad bahkan tidak memiliki kamera DSLR, tripod, atau drone sebagaimana umumnya fotografer pemula. Ia hanya mengandalkan semangat dan kreativitas, sembari mencari jalan agar bisa terus berkompetisi.
Alih-alih menyerah, ia memilih bekerja keras. Dengan mengikuti lomba, menghasilkan karya, dan perlahan menabung, Fuad akhirnya mampu membeli perlengkapan fotografi dari hasil jerih payahnya sendiri.
Setiap perangkat baru yang berhasil ia miliki terasa seperti pencapaian tersendiri. Bukan sekadar alat, melainkan simbol dari konsistensi, doa orang tua, dan keyakinan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Meski dunia fotografi tampak jauh dari ilmu biologi, perjalanan Fuad tidak sepenuhnya berjalan sendiri. Ia merasakan dukungan nyata dari lingkungan kampus, terutama para dosen. Hubungan yang semula hanya sebatas akademis, lambat laun berkembang menjadi ikatan moral dan motivasi.
Para dosen tidak hanya mendorong mahasiswa untuk berprestasi di laboratorium, tetapi juga mendukung kiprah di luar kelas. Dalam kasus Fuad, apresiasi itu membuatnya semakin yakin untuk menyeimbangkan tanggung jawab kuliah dengan dunia lomba.
Menjaga ritme antara jadwal kuliah, praktikum, dan persiapan kompetisi memang tidak mudah. Ada kalanya ia harus rela begadang demi menyelesaikan editan video, lalu pagi harinya tetap hadir dalam kelas praktikum yang penuh tuntutan. Namun dari tekanan itu lahir disiplin, kemandirian, sekaligus kedekatan dengan para pendidik yang memahami perjuangan mahasiswanya.
Jika ditelusuri lebih dalam, ada satu alasan kuat yang selalu menjadi energi utama Fuad: keluarga. Dukungan dan doa orang tua menjadi pondasi di setiap langkahnya.
Sejak awal, keluarganya tidak pernah memaksakan pilihan. Mereka justru memberikan ruang bagi Fuad untuk mencoba hal-hal baru. Ketika ia terjun ke dunia fotografi, dukungan itu hadir dalam bentuk kepercayaan, doa, dan semangat agar terus berusaha meski peralatan terbatas.
Alih-alih menyerah, ia mencari jalan keluar. Ia meminjam peralatan dari teman, memanfaatkan gawai seadanya, dan terus melatih kepekaan mata serta rasa artistik. Hingga akhirnya, berkat kemenangan dalam beberapa lomba, ia mampu membeli perlengkapan satu per satu dari hasil jerih payahnya sendiri.
Bagi Fuad, setiap gelar juara bukan hanya kemenangan pribadi, melainkan juga persembahan untuk orang tuanya. Ia ingin membuat mereka bangga sekaligus membuktikan bahwa kerja keras, doa, dan restu keluarga mampu mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.
Pengalaman Fuad memberi pesan berharga bagi mahasiswa lain, terutama mereka yang sedang mencari jati diri. Tidak semua orang harus berjalan di jalur yang sama dengan bidang studinya. Ada kalanya, passion justru membawa seseorang menuju panggung yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Ia percaya bahwa menjadi diri sendiri adalah kunci. Penilaian orang lain tidak boleh menjadi penghalang untuk mengeksplorasi potensi. Menurutnya, masa muda adalah waktu yang tepat untuk mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin. Apa pun hasilnya, pengalaman itu akan menjadi investasi berharga untuk masa depan.
Wisuda ke-158 menjadi penanda akhir satu babak perjalanan Fuad sebagai mahasiswa biologi. Namun, di saat bersamaan, ia juga sedang membuka babak baru sebagai fotografer yang karyanya sudah menembus panggung internasional.
Dari Purwokerto, kampus tempat ia menimba ilmu, karya-karyanya sudah melintasi batas negara. Kisah ini menegaskan bahwa kreativitas bisa tumbuh dari mana saja, termasuk dari seorang mahasiswa biologi yang tekun bermain dengan lensa kamera.
Fuad adalah potret generasi muda Indonesia yang berani menembus batas. Ia menunjukkan bahwa dunia sains tidak harus berseberangan dengan seni, dan bahwa kampus bisa menjadi ruang tumbuh yang memfasilitasi keduanya.
Kisahnya menyiratkan pesan: peluang selalu terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha, tidak takut mencoba, dan tidak berhenti belajar. Dengan 14 gelar juara yang sudah dikantongi, masa depan Fuad masih terbentang luas, entah sebagai ilmuwan, fotografer profesional, atau bahkan keduanya sekaligus.
Di tengah sorak sorai wisuda, kisah Fuad menjadi inspirasi tersendiri. Dari Kuningan ke Purwokerto, dari ruang kuliah biologi ke panggung fotografi internasional, ia membuktikan bahwa mimpi bisa terwujud lewat kerja keras, doa, dan keberanian untuk berbeda.
Baca juga: Pakar Unsoed nilai wajar pemerintah tayangkan capaian di bioskop
Baca juga: Pakar Unsoed : Gunakan pembuktian terbalik untuk RUU Perampasan Aset
Baca juga: Pakar: Transformasi pemasyarakatan dorong reintegrasi sosial napi
Baca juga: PLN-Unsoed gelar WATT NEXT 2025 ajak generasi muda berinovasi