Purwokerto (ANTARA) - Penegakan hukum merupakan hal yang penting untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan memberikan kepastian hukum. Negara melalui organ-organnya membentuk suatu aparat penegak hukum yang berwenang, bertugas, dan bertanggung jawab melakukan penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum. Dua institusi yang menjadi pintu gerbang proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana adalah polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum. 

Penegakan hukum dalam pengertian makro meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro penegakan hukum terbatas dalam proses litigasi di pengadilan, dalam perkara pidana termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Proses penegakan hukum harus mengacu pada hukum pidana formal, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menentukan prosedur yang harus diikuti ketika menegakkan hukum pidana materil. Sayangnya, pengaturan dalam KUHAP masih belum sempurna sehingga menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak maksimal. Hal tersebut menjadi salah satu faktor perlunya dilakukan reformasi hukum dengan merevisi KUHAP guna menjamin tercapainya tujuan hukum sehingga penegakan hukum menjadi lebih maksimal. 

Dari sekian banyak isu norma yang akan diatur dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP), salah satu hal yang menjadi isu adalah mengenai apakah status quo asas diferensiasi fungsional masih perlu dipertahankan. Asas diferensiasi fungsional pada sistem peradilan pidana terpadu awalnya diniatkan untuk mengatur secara lebih tegas peran dan fungsi masing-masing aparat penegak hukum, yakni:
1.    Penyelidikan (tindak pidana umum) menjadi kewenangan Penyelidik (Polisi) yang bertujuan mencari informasi tentang suatu peristiwa pidana;
2.    Penyidikan (tindak pidana umum) menjadi kewenangan Penyidik (Polisi) yang bertujuan mengumpulkan alat bukti dan menetapkan tersangka;
3.    Penuntutan menjadi kewenangan Jaksa setelah menerima berkas dari penyidik yang berfungsi sebagai penuntut umum di pengadilan;
4.    Peradilan menjadi kewenangan Hakim yang berperan sebagai pemutus perkara di pengadilan; dan
5.    Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) menjadi kewenangan Jaksa yang berperan sebagai pelaksana putusan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Perumusan asas diferensiasi fungsional dalam KUHAP tidak terlepas dari unsur politis dan bagian dari strategi pemerintahan pada masa penyusunan KUHAP waktu itu. Pada saat pembahasan RKUHAP tahun 1981, rencana penerapan asas diferensiasi fungsional telah menimbulkan reaksi penentangan karena dapat menyebabkan tidak adanya sinergi antar penegak hukum. Selain itu, hal ini juga dapat berakibat pada tidak berkesinambungannya proses peradilan suatu perkara dan menimbulkan akibat negatif terhadap seorang tersangka dan terlanggarnya hak asasi seorang pencari keadilan karena adanya celah penyalahgunaan kewenangan.

Asas diferensiasi fungsional mengakibatkan tidak adanya mekanisme checks and balances dalam proses penegakan hukum pidana. Alih-alih dapat memperjelas batas kewenangan dan tanggung jawab setiap aparat penegak hukum serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana, asas ini justru telah menghilangkan interdependensi antar institusi yang seharusnya terpadu (integrated) dan menyebabkan penyidikan minim pengawasan karena terisolasi dari sub sistem peradilan lainnya. Alhasil, dalam proses penegakan hukum mungkin saja terjadi penyimpangan seperti pelanggaran ham atau pengaburan alat bukti.

Berkaca pada pengaturan dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR) (hukum acara yang berlaku sebelum diberlakukannya KUHAP) bahwa penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Hal ini mempertegas bahwa fungsi Jaksa dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) tidak terbatas pada penuntutan dan eksekutor saja, melainkan juga memberi ruang bagi Jaksa melakukan penyidikan. Dalam sistem hukum pidana dikenal asas Dominus Litis, yang berarti "penguasa perkara" atau "pihak yang mengendalikan jalannya perkara". Asas ini merujuk pada Jaksa sebagai pihak yang memiliki kewenangan utama dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilanjutkan ke pengadilan dan menjadi dasar kewenangan Jaksa melakukan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

KUHAP tidak menerapkan asas Dominus Litis secara utuh dalam proses penanganan perkara pidana, melainkan sebatas proses koordinasi antara penyidik dan Jaksa berupa persuratan berdasarkan berkas perkara yang dikirimkan penyidik. Hal ini mengakibatkan peran Jaksa dalam penyidikan tidak berfungsi secara maksimal karena hanya memeriksa berkas perkara secara formal, tidak mengetahui proses penyidikan termasuk penyusunan berkas perkara dan tata cara perolehan alat bukti. Dampaknya, proses penanganan perkara menjadi tidak efektif dan efisien karena berkas perkara harus berkali-kali diperiksa dan diteliti oleh jaksa kemudian dikembalikan kepada penyidik karena berkas perkara masih perlu untuk dilengkapi, bahkan dalam beberapa kesempatan Jaksa tidak mengetahui secara riil perkara yang diajukan padanya dan hanya berdasarkan berkas perkara yang dikirimkan penyidik serta menentukan sikap dalam waktu yang singkat. 

Momentum reformasi hukum melalui rencana penerbitan KUHAP baru oleh Pemerintah harus dimanfaatkan untuk memutus rantai kegagalan asas diferensiasi fungsional dengan menerapkan asas Dominus Litis secara utuh sehingga proses penegakan hukum menjadi lebih efektif dan efisien serta dapat lebih memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan (justiabellen) dalam memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

*) Sarimonang Beny Sinaga, mahasiswa Program Doktor

Baca juga: Akademisi Unsoed: Penonaktifan anggota DPR ranah internal partai
Baca juga: Unsoed Purwokerto perkuat ekosistem halal melalui inovasi dan pelatihan
Baca juga: Pakar: Pemerintah harus serius tangani ketimpangan sosial pemicu demo
Baca juga: Jaksa: Perlu adanya aturan baru untuk perluas keadilan restoratif


Pewarta : Sarimonang Beny Sinaga *)
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2025