Cilacap (ANTARA) - Mantan Amir Jamaah Islamiyah (JI) Para Wijayanto mengajak narapidana kasus terorisme (napiter) yang menjalani pidana di Pulau Nusakambangan kembali ke jalan moderat dan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia secara utuh berdasarkan ilmu, bukan sekadar kepentingan.

Dalam wawancara khusus dengan ANTARA di Cilacap, Jawa Tengah, Jumat sore, Para Wijayanto mengatakan ajakan tersebut dia sampaikan dalam rangkaian kegiatan Rumah Wasathiyah di empat lembaga pemasyarakatan (lapas) yang ada di Nusakambangan secara bergilir selama dua hari, yakni Lapas Besi dan Lapas Gladakan pada hari Kamis (31/7) serta Lapas Ngaseman dan Lapas Permisan pada hari Jumat (1/8).

"Rumah Wasathiyah ini didirikan untuk memastikan transformasi ideologi yang ada di eks JI pascapembubaran JI dan kembali ke NKRI," kata mantan napiter itu.

Oleh karena waktu sosialisasi pembubaran JI di seluruh wilayah Indonesia sangat singkat, sehingga setelah bebas dari hukuman, dia mencoba memastikan bahwa para napiter di lapas secara ilmu sudah ada transformasi ideologis dari sebelumnya tatharruf atau bersikap ekstrem berlebih-lebihan, kemudian menjadi wasathiyah atau bersikap moderat.

Menurut dia, kegiatan tersebut sebenarnya menyasar napiter eks JI yang menjalani pidana di Nusakambangan karena mereka merupakan yang paling keras dan paling sulit, namun dalam pelaksanaannya juga diikuti napiter lainnya.

"Program ini merupakan terapi ideologi untuk menyembuhkan sikap tatharruf atau ekstremisme, baik yang bersifat berlebih-lebihan (ifrath) maupun yang mengurang-urangi (tafrith)," katanya menjelaskan.

Ia mengatakan kegiatan tersebut bukan sekadar ceramah biasa, melainkan pemaparan mendalam dengan pendekatan keilmuan berbasis turats atau kitab klasik karya para ulama abad ke-7 Hijriyah seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Katsir.

"Kenapa harus kitab-kitab lama? Karena itu yang mereka akui sebagai rujukan. Kami dekati mereka dengan kitab yang biasa mereka pakai, agar mereka tidak resisten," katanya.

Dalam penyampaian materi, pihaknya menggunakan LCD proyektor untuk menayangkan teks asli dalam bahasa Arab, agar napiter melihat langsung bahwa pesan moderasi dan kecintaan pada NKRI bukanlah hasil tafsir baru, tetapi memiliki dasar kuat dalam khazanah Islam klasik.

"Saya tekankan, perubahan ideologi tidak boleh karena taqiyah (pura-pura) demi remisi atau pembebasan. Harus karena ilmu, karena memahami bahwa Islam itu agama wasathiyah, moderat," katanya menegaskan.

Menurut dia, antusiasme para napiter selama mengikuti kegiatan tersebut sangat luar biasa, bahkan, sebagian menangis karena merasa baru menemukan pencerahan setelah menjalani hukuman bertahun-tahun.

"Mereka bilang, ‘kenapa tidak dari dulu kami diberi penjelasan seperti ini, sehingga kami tak harus masuk penjara?’ Itu sangat menyentuh," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan transformasi ideologis di kalangan eks JI (eks Jamaah Islamiyah) berangkat dari 42 pertimbangan syar’i yang terangkum dalam buku "JI: The Untold Story", termasuk di dalamnya konsep siyasah syar’iyyah (politik yang syar’i) sebagai dasar legitimasi bagi penerimaan sistem politik modern seperti NKRI.

“Banyak yang dulu menolak politik karena menganggapnya tidak ada dalilnya. Padahal dalam kitab-kitab siasah disebutkan, politik itu apa pun yang mendekatkan pada maslahat dan menjauhkan mudarat, selama tidak bertentangan dengan syariat, itu boleh," katanya menjelaskan

Dengan definisi tersebut, kata dia, sistem negara republik dapat diterima sebagai maslahah mu’allaqah --kemaslahatan yang tinggi-- bagi umat Islam Indonesia.

Ia mengatakan Rumah Wasathiyah bukan hanya menyasar narapidana kasus terorisme meskipun pada tahun pertama, 70 persen program difokuskan kepada eks JI dan 30 persen untuk masyarakat umum. 

Namun ke depan, ia mengharapkan metode yang dikembangkan bisa menjadi solusi umum bagi siapa pun yang terpapar ideologi ekstrem, bahkan untuk pencegahan sejak dini di kalangan remaja dan pelajar.

"Kami ingin memberikan semacam imunisasi wasathiyah, agar generasi muda tidak sampai terkena virus ekstremisme," kata Para Wijayanto.

Saat dihubungi dari Cilacap, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan Provinsi Jawa Tengah Mardi Santoso menyambut positif safari dakwah yang dilakukan oleh Ustasz Para Wijayanto di Nusakambangan karena memiliki nilai strategis dalam membangun kesadaran ideologis para napiter agar kembali setia kepada NKRI

"Budaya kita membutuhkan figur dan keteladanan. Ustadz Para Wijayanto adalah sosok yang sangat tepat karena merupakan tokoh dengan latar belakang yang pernah terpapar dan kini berkomitmen kembali ke NKRI," katanya.

Ia menilai pendekatan figuratif seperti itu efektif karena menyesuaikan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peran tokoh dan panutan.
 


Pewarta : Sumarwoto
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2025