Purwokerto (ANTARA) - Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto menilai program pencetakan sawah baru, yang dilaksanakan pemerintah di Merauke, Papua Selatan, seharusnya berhasil dengan mempelajari kegagalan proyek sebelumnya.
"Perluasan tanaman padi di Indonesia itu memang sangat penting karena data 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi padi nasional berfluktuasi yang ditentukan oleh luas area tanam, bukan ditentukan oleh produktivitas," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dengan demikian, ketika produksi nasional meningkat, kata dia, itu karena ada luas tanam atau luas panen yang meningkat.
Akan tetapi, jika ke depan luas panen menurun lagi, lanjut dia, maka produksi nasional bakal menurun.
"Oleh karena itu, kebijakan perluasan area tanam itu menjadi penting walaupun itu bukan satu-satunya," kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Menurut dia, bangsa Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam perluasan area tanam padi di antaranya proyek satu juta hektare lahan gambut pada masa orde baru, proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan program Food Estate di Kalimantan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan dicoba kembali pencetakan sawah baru di Merauke.
Ia mengatakan suatu program kerja atau kegiatan yang dilakukan berulang dan secara kebetulan belum berhasil secara maksimal, hal itu bukan berarti bahwa ke depan akan gagal lagi.
"Bisa saja besok yang terakhir ini (pencetakan sawah baru di Merauke) akan berhasil. Nah, yang penting bagaimana kita itu fokus pada kajian, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan program-program terdahulu," katanya.
Ia menilai dalam kegiatan-kegiatan sebelumnya, orientasinya dilakukan dengan pendekatan program, sehingga ke depan sebaiknya diganti dengan pendekatan kesejahteraan dan pemberdayaan.
Dengan demikian, kata dia, harus dikaji mengenai persoalan-persoalan apa yang menyebabkan ketidakberhasilan program sebelumnya.
Menurut dia, dari kajian tersebut selanjutnya disusun sebuah analisis dan strategi baru agar persoalan-persoalan yang dulu ada dan menyebabkan ketidakberhasilan program itu bisa diantisipasi.
"Jika itu sudah dilakukan, makan program 1 juta hektare sawah di Merauke harusnya berhasil. Kalau masih tidak berhasil lagi, itu sama dengan kebodohan kita semuanya, keledai tidak akan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, jadi harus dikaji betul persoalan-persoalan apa yang dulu menghambat," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan perlu ditekankan bahwa pertanian bukan persoalan teknologi karena secanggih apa pun teknologi dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas, hal itu belum tentu menyejahterakan petani.
"Dalam pertanian, teknologi memang penting, tapi bukan yang utama, karena yang utama di dalam pertanian itu adalah kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pendekatan untuk membangun 1 juta sawah baru di Merauke perlu mempertimbangkan aspek budaya karena pertanian bukan agriteknologi melainkan agrikultur.
Dengan demikian, lanjut dia, perlu dilakukan melalui pendekatan budaya agar masyarakat lokal bisa lebih siap lagi menerima budaya pertanian tersebut.
"Kita patut bersyukur bahwa masyarakat Merauke dengan adanya transmigrasi yang diprogramkan oleh pemerintah zaman dulu itu sudah ada masyarakat petani sawah di sana. Ini yang mudah-mudahan menjadi daya dukung keberhasilan program pencetakan lahan sawah di Merauke," katanya.
Selain itu, kata dia, dalam melaksanakan program tersebut juga perlu melibatkan aktor-aktor lokal seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena LSM cukup bagus dalam pendekatan kepada masyarakat.
Oleh karena persoalan sawah berkaitan dengan irigasi, lanjut dia, tanaman padi yang paling bagus untuk ditanam di luar Jawa adalah tanaman padi ladang atau gogo karena dapat menghemat penggunaan air.
"Walaupun ditanam di sawah, pada awalnya menggunakan sistem tanam benih langsung atau tabela pada lahan kering, airnya tidak usah digenang, sehingga tidak ada tahap pembibitan dan tidak ada tahap pindah tanam," katanya.
Ketika tinggi tanaman padi itu sudah mencapai kisaran 15 sentimeter, kata dia, airnya dimasukkan ke lahan untuk dijadikan sawah, sehingga akan terjadi penghematan penggunaan air.
Menurut Prof Totok, padi ladang atau gogo tidak harus ditanam di lahan cetak sawah karena bisa ditanam di ladang-ladang yang memang sudah ada di Merauke.
Baca juga: Expo dan Hong Festival 2024, wadah kreativitas mahasiswa vokasi Unsoed
"Perluasan tanaman padi di Indonesia itu memang sangat penting karena data 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi padi nasional berfluktuasi yang ditentukan oleh luas area tanam, bukan ditentukan oleh produktivitas," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dengan demikian, ketika produksi nasional meningkat, kata dia, itu karena ada luas tanam atau luas panen yang meningkat.
Akan tetapi, jika ke depan luas panen menurun lagi, lanjut dia, maka produksi nasional bakal menurun.
"Oleh karena itu, kebijakan perluasan area tanam itu menjadi penting walaupun itu bukan satu-satunya," kata Guru Besar Bidang Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Menurut dia, bangsa Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam perluasan area tanam padi di antaranya proyek satu juta hektare lahan gambut pada masa orde baru, proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan program Food Estate di Kalimantan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan dicoba kembali pencetakan sawah baru di Merauke.
Ia mengatakan suatu program kerja atau kegiatan yang dilakukan berulang dan secara kebetulan belum berhasil secara maksimal, hal itu bukan berarti bahwa ke depan akan gagal lagi.
"Bisa saja besok yang terakhir ini (pencetakan sawah baru di Merauke) akan berhasil. Nah, yang penting bagaimana kita itu fokus pada kajian, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan program-program terdahulu," katanya.
Ia menilai dalam kegiatan-kegiatan sebelumnya, orientasinya dilakukan dengan pendekatan program, sehingga ke depan sebaiknya diganti dengan pendekatan kesejahteraan dan pemberdayaan.
Dengan demikian, kata dia, harus dikaji mengenai persoalan-persoalan apa yang menyebabkan ketidakberhasilan program sebelumnya.
Menurut dia, dari kajian tersebut selanjutnya disusun sebuah analisis dan strategi baru agar persoalan-persoalan yang dulu ada dan menyebabkan ketidakberhasilan program itu bisa diantisipasi.
"Jika itu sudah dilakukan, makan program 1 juta hektare sawah di Merauke harusnya berhasil. Kalau masih tidak berhasil lagi, itu sama dengan kebodohan kita semuanya, keledai tidak akan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, jadi harus dikaji betul persoalan-persoalan apa yang dulu menghambat," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan perlu ditekankan bahwa pertanian bukan persoalan teknologi karena secanggih apa pun teknologi dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas, hal itu belum tentu menyejahterakan petani.
"Dalam pertanian, teknologi memang penting, tapi bukan yang utama, karena yang utama di dalam pertanian itu adalah kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pendekatan untuk membangun 1 juta sawah baru di Merauke perlu mempertimbangkan aspek budaya karena pertanian bukan agriteknologi melainkan agrikultur.
Dengan demikian, lanjut dia, perlu dilakukan melalui pendekatan budaya agar masyarakat lokal bisa lebih siap lagi menerima budaya pertanian tersebut.
"Kita patut bersyukur bahwa masyarakat Merauke dengan adanya transmigrasi yang diprogramkan oleh pemerintah zaman dulu itu sudah ada masyarakat petani sawah di sana. Ini yang mudah-mudahan menjadi daya dukung keberhasilan program pencetakan lahan sawah di Merauke," katanya.
Selain itu, kata dia, dalam melaksanakan program tersebut juga perlu melibatkan aktor-aktor lokal seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) karena LSM cukup bagus dalam pendekatan kepada masyarakat.
Oleh karena persoalan sawah berkaitan dengan irigasi, lanjut dia, tanaman padi yang paling bagus untuk ditanam di luar Jawa adalah tanaman padi ladang atau gogo karena dapat menghemat penggunaan air.
"Walaupun ditanam di sawah, pada awalnya menggunakan sistem tanam benih langsung atau tabela pada lahan kering, airnya tidak usah digenang, sehingga tidak ada tahap pembibitan dan tidak ada tahap pindah tanam," katanya.
Ketika tinggi tanaman padi itu sudah mencapai kisaran 15 sentimeter, kata dia, airnya dimasukkan ke lahan untuk dijadikan sawah, sehingga akan terjadi penghematan penggunaan air.
Menurut Prof Totok, padi ladang atau gogo tidak harus ditanam di lahan cetak sawah karena bisa ditanam di ladang-ladang yang memang sudah ada di Merauke.
Baca juga: Expo dan Hong Festival 2024, wadah kreativitas mahasiswa vokasi Unsoed