Semarang (ANTARA) - Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Hadi Santoso mengatakan pembelian LPG 3 kg dengan menggunakan KTP merupakan langkah tepat untuk memastikan agar subsidi lebih tepat sasaran yakni diperuntukkan untuk masyarakat miskin. Menurutnya pengumpulan KTP dinilai sudah cukup tepat dan berjalan cukup baik di masyarakat.
"Ini bagian dari kebijakan agar subsidi yang diberikan ke masyarakat menjadi tepat sasaran. Saya kira ini sudah cukup baik, namun pendataan jangan hanya dilakukan di tingkat pangkalan, tapi juga perlu di tingkat agen dan pengecer. Hal ini di dilakukan dengan melibatkan perangkat pemerintah hingga ke tingkat kelurahan, dan RT/RW yang mengetahui secara pasti kondisi di wilayah tersebut," katanya.
Menurut Hadi sebaiknya ada juga data dari pemerintah, sehingga tinggal dicocokkan melalui kelurahan atau RT/RW yang mengetahui kondisi warganya. Sementara untuk pelaku Usaha Kecil Mikro Menengah (UMKM ) juga perlu ada perhatian khusus, sehingga mereka tetap bisa mendapatkan LPG bersubsidi untuk usaha mereka.
"Jadi jangan sampai pengetatan penyaluran LPG subsidi justru memberikan dampak negatif kepada usaha mereka. Perlu ada penentuan titik khusus bagi pelaku UMKM untuk mendapatkan LPG subsidi 3 kg," kata Hadi.
Hadi mendukung penuh pemberian sanksi kepada para oknum yang terbukti melakukan penyimpangan penyaluran LPG bersubsidi. Untuk itu, pengawasan juga sangat diperlukan oleh stakeholder terkait hingga ke tingkat pengecer.
"Kalau memang terbukti melakukan penyimpangan harus ditindak tegas. Pengawasan memang harus dilakukan bisa dengan melibatkan kepala desa atau kelurahan juga," tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Negeri Semarang Bayu Bagas Hapsoro mengatakan pengendalian penyaluran LPG 3 kg dengan pendataan KTP sudah berjalan cukup baik di masyarakat. Sosialisasi juga berjalan cukup baik, sehingga penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak.
"Memang perlu lebih intens lagi informasinya, bukan hanya perlu tidaknya pengumpulan KTP, tapi juga urgensi sistem ini, bukan sekadar jadi syarat administrasi," katanya.
Selain menjaga penyaluran LPG 3kg tepat sasaran, lanjut Bayu, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana disparitas harga LPG non-subsidi dan subsidi diperkecil. Selama ini, disparitas harga keduanya cukup jauh, sehingga membuat masyarakat enggan menggunakan LPG non-subsidi. Selain itu, selisih Harga Eceran Tertinggi (HET) pada LPG 3 kg antar-provinsi juga bisa menjadi celah untuk oknum.
"Kalau selisih harga antara produk subsidi dengan non-subsidi terlalu jauh, minat masyarakat untuk berpindah intensinya tentu akan kurang. Jadi, perlu dilakukan kajian lagi untuk harga subsidi LPG 3 kg. Begitu pun selisih HET antar-provinsi perlu dievaluasi lagi," katanya.
Bayu menilai pembatasan pembelian LPG 3 kg ke depan dinilai tidak akan berpengaruh banyak terhadap inflasi. Pasalnya, selama ini faktor penyumbang inflasi lebih banyak disebabkan oleh faktor makro.
"Saya berkeyakinan pembatasan LPG tidak akan berpengaruh pada inflasi. Dari pengalaman yang terjadi belakangan ini inflasi justru lebih banyak dipengaruhi oleh daya beli dan rupiah yang melemah," tutup Bayu.
"Ini bagian dari kebijakan agar subsidi yang diberikan ke masyarakat menjadi tepat sasaran. Saya kira ini sudah cukup baik, namun pendataan jangan hanya dilakukan di tingkat pangkalan, tapi juga perlu di tingkat agen dan pengecer. Hal ini di dilakukan dengan melibatkan perangkat pemerintah hingga ke tingkat kelurahan, dan RT/RW yang mengetahui secara pasti kondisi di wilayah tersebut," katanya.
Menurut Hadi sebaiknya ada juga data dari pemerintah, sehingga tinggal dicocokkan melalui kelurahan atau RT/RW yang mengetahui kondisi warganya. Sementara untuk pelaku Usaha Kecil Mikro Menengah (UMKM ) juga perlu ada perhatian khusus, sehingga mereka tetap bisa mendapatkan LPG bersubsidi untuk usaha mereka.
"Jadi jangan sampai pengetatan penyaluran LPG subsidi justru memberikan dampak negatif kepada usaha mereka. Perlu ada penentuan titik khusus bagi pelaku UMKM untuk mendapatkan LPG subsidi 3 kg," kata Hadi.
Hadi mendukung penuh pemberian sanksi kepada para oknum yang terbukti melakukan penyimpangan penyaluran LPG bersubsidi. Untuk itu, pengawasan juga sangat diperlukan oleh stakeholder terkait hingga ke tingkat pengecer.
"Kalau memang terbukti melakukan penyimpangan harus ditindak tegas. Pengawasan memang harus dilakukan bisa dengan melibatkan kepala desa atau kelurahan juga," tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Negeri Semarang Bayu Bagas Hapsoro mengatakan pengendalian penyaluran LPG 3 kg dengan pendataan KTP sudah berjalan cukup baik di masyarakat. Sosialisasi juga berjalan cukup baik, sehingga penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak.
"Memang perlu lebih intens lagi informasinya, bukan hanya perlu tidaknya pengumpulan KTP, tapi juga urgensi sistem ini, bukan sekadar jadi syarat administrasi," katanya.
Selain menjaga penyaluran LPG 3kg tepat sasaran, lanjut Bayu, pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana disparitas harga LPG non-subsidi dan subsidi diperkecil. Selama ini, disparitas harga keduanya cukup jauh, sehingga membuat masyarakat enggan menggunakan LPG non-subsidi. Selain itu, selisih Harga Eceran Tertinggi (HET) pada LPG 3 kg antar-provinsi juga bisa menjadi celah untuk oknum.
"Kalau selisih harga antara produk subsidi dengan non-subsidi terlalu jauh, minat masyarakat untuk berpindah intensinya tentu akan kurang. Jadi, perlu dilakukan kajian lagi untuk harga subsidi LPG 3 kg. Begitu pun selisih HET antar-provinsi perlu dievaluasi lagi," katanya.
Bayu menilai pembatasan pembelian LPG 3 kg ke depan dinilai tidak akan berpengaruh banyak terhadap inflasi. Pasalnya, selama ini faktor penyumbang inflasi lebih banyak disebabkan oleh faktor makro.
"Saya berkeyakinan pembatasan LPG tidak akan berpengaruh pada inflasi. Dari pengalaman yang terjadi belakangan ini inflasi justru lebih banyak dipengaruhi oleh daya beli dan rupiah yang melemah," tutup Bayu.