Semarang (ANTARA) - Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengajak perempuan yang menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk berani melaporkan kekerasan yang dialami.
"Kami berharap perempuan berani menyuarakan ya. Karena kemarin saya lihat (KDRT di Sendangguwo), korban lebam-lebam dan sepertinya sudah berlangsung lama," katanya di Semarang, Selasa.
Sebelumnya kasus KDRT menimpa AA (22), warga Sendangguwo, Semarang, di rumahnya, yang membuatnya meregang nyawa setelah dianiaya suaminya, YB.
Korban ditemukan meninggal oleh dua saksi yang masih merupakan kerabatnya. Dari pemeriksaan awal didapati luka lebam pada beberapa bagian tubuh korban, namun polisi belum bisa memastikan penyebab kematian korban.
Saat ini polisi juga sudah meringkus YB untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melakukan KDRT yang menewaskan sang istri.
"Kebetulan, kemarin saya sudah di jalan, masih nututi si korban sebelum dibawa untuk diotopsi ke RS. Miris rasanya, saya lihat ditemukan macam-macam (luka). Ayo, perempuan berani bersuara," ajaknya.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, ia menyebutkan setidaknya tercatat sudah 142 kasus KDRT yang terjadi di Kota Atlas pada tahun ini.
"Saya melihat sekarang ada 142 kasus (KDRT), tetapi (realitasnya) pasti lebih. Pasti ada yang enggak berani lapor. Kami sudah memiliki Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) juga, ada semacam call centre," katanya.
Diakuinya, faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu terbanyak terjadinya kasus KDRT. Apalagi pascapandemi COVID-19 yang membuat seluruh aktivitas kehidupan kembali seperti sedia kala.
"Kemarin COVID-19 mungkin agak landai, tapi begitu sekarang anak-anak mulai sekolah, kebutuhan meningkat. Dulu kan masih di rumah enggak ngapa-ngapain, enggak ada kegiatan," katanya.
Sementara itu Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki menyebutkan kasus KDRT di wilayah tersebut tercatat pada 2021 sebanyak 156 kasus dan naik menjadi 228 kasus pada 2022.
"Ada kenaikan 40 persen. Kami anggap kenaikan itu tinggi. Untuk tahun ini saja, sudah ada 142 kasus. Kan bisa dilihat. Kami berharap angkanya tidak melebihi kasus di 2022 yang sampai 228 kasus ya," katanya.
Ulfi menyampaikan bahwa DP3A memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di tingkat kecamatan untuk menangani laporan KDRT, termasuk RDRM yang dilengkapi dengan tim psikolog dan layanan hukum.
"Di RDRM itu ada pendampingan, ada psikolognya, ada lawyer-nya juga kalau dibutuhkan. Ada pendampingan korban karena trauma, layanan medis juga ada, visum, luka fisik, kami kerja sama dengan RS," katanya.
Baca juga: Pemkot bentuk tim inventarisasi kasus KDRT
"Kami berharap perempuan berani menyuarakan ya. Karena kemarin saya lihat (KDRT di Sendangguwo), korban lebam-lebam dan sepertinya sudah berlangsung lama," katanya di Semarang, Selasa.
Sebelumnya kasus KDRT menimpa AA (22), warga Sendangguwo, Semarang, di rumahnya, yang membuatnya meregang nyawa setelah dianiaya suaminya, YB.
Korban ditemukan meninggal oleh dua saksi yang masih merupakan kerabatnya. Dari pemeriksaan awal didapati luka lebam pada beberapa bagian tubuh korban, namun polisi belum bisa memastikan penyebab kematian korban.
Saat ini polisi juga sudah meringkus YB untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melakukan KDRT yang menewaskan sang istri.
"Kebetulan, kemarin saya sudah di jalan, masih nututi si korban sebelum dibawa untuk diotopsi ke RS. Miris rasanya, saya lihat ditemukan macam-macam (luka). Ayo, perempuan berani bersuara," ajaknya.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, ia menyebutkan setidaknya tercatat sudah 142 kasus KDRT yang terjadi di Kota Atlas pada tahun ini.
"Saya melihat sekarang ada 142 kasus (KDRT), tetapi (realitasnya) pasti lebih. Pasti ada yang enggak berani lapor. Kami sudah memiliki Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) juga, ada semacam call centre," katanya.
Diakuinya, faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu terbanyak terjadinya kasus KDRT. Apalagi pascapandemi COVID-19 yang membuat seluruh aktivitas kehidupan kembali seperti sedia kala.
"Kemarin COVID-19 mungkin agak landai, tapi begitu sekarang anak-anak mulai sekolah, kebutuhan meningkat. Dulu kan masih di rumah enggak ngapa-ngapain, enggak ada kegiatan," katanya.
Sementara itu Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki menyebutkan kasus KDRT di wilayah tersebut tercatat pada 2021 sebanyak 156 kasus dan naik menjadi 228 kasus pada 2022.
"Ada kenaikan 40 persen. Kami anggap kenaikan itu tinggi. Untuk tahun ini saja, sudah ada 142 kasus. Kan bisa dilihat. Kami berharap angkanya tidak melebihi kasus di 2022 yang sampai 228 kasus ya," katanya.
Ulfi menyampaikan bahwa DP3A memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di tingkat kecamatan untuk menangani laporan KDRT, termasuk RDRM yang dilengkapi dengan tim psikolog dan layanan hukum.
"Di RDRM itu ada pendampingan, ada psikolognya, ada lawyer-nya juga kalau dibutuhkan. Ada pendampingan korban karena trauma, layanan medis juga ada, visum, luka fisik, kami kerja sama dengan RS," katanya.
Baca juga: Pemkot bentuk tim inventarisasi kasus KDRT