Semarang (ANTARA) - Pemerintah Kota Semarang dalam waktu dekat membentuk tim untuk menginventarisasi penyebab kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi, sehingga bisa dicari solusi yang tepat dalam penanggulangannya.
"Saya langsung memerintahkan DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) membuat inventarisasi (KDRT), seperti stunting dan kemiskinan ekstreim," kata Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu di Semarang, Selasa.
Ita, sapaan akrab Hevearita, mengaku prihatin dengan kasus KDRT, terutama yang baru saja terjadi mengakibatkan perempuan muda warga Sendangguwo, Semarang, harus meregang nyawa di tangan suaminya.
Menurut dia, faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu terjadinya KDRT, merujuk pada kasus yang banyak terjadi di Kelurahan Sendangguwo dan Kemijen yang menimpa masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
"Nanti dibedah, mungkin kalau memang sama (polanya). Dia tidak miskin secara ekstrem, tetapi di bawah standar kemiskinan. Pengeluaran lebih dari Rp10.000 (per hari), tetapi masih ada yang kurang," katanya.
Sebagaimana diketahui, salah satu standar ukuran kemiskinan ekstrem adalah pengeluaran keluarga tidak lebih dari Rp10 ribu per hari.
"Nanti kami inventarisasi, kenapa terjadi KDRT. Pasti terjadi berbagai macam kasus, mungkin ekonomi, cemburu juga bisa, atau mungkin hal lain, sehingga nanti diinventarisasi satu per satu," katanya.
"Saya enggak mau (penanganannya) setengah-setengah, tapi dari hulu ke hilir," kata perempuan pertama yang jadi Wali Kota Semarang itu.
Diakuinya, persoalan ekonomi biasanya memiliki efek berantai dengan sejumlah persoalan sosial dan kesehatan, seperti KDRT, stunting, dan pernikahan anak.
"Kembali lagi kayak rantai, satu circle. Umpamanya, orang dengan ekonomi rendah, kemiskinan, ada stunting, ada KDRT, dan pernikahan anak. Semua menyambung," katanya.
Karena itu, kata dia, penguatan ekonomi akan dilakukan, terutama untuk perempuan dengan memberdayakan mereka, sehingga bisa mandiri dan memiliki penghasilan.
"Mungkin juga suaminya enggak kerja. Bagaimana kemudian mencarikan pekerjaan, kan ada Disnaker (Dinas Tenaga Kerja)," katanya.
Ita mengingatkan bahwa penyelesaian KDRT tidak bisa hanya diselesaikan Pemkot Semarang melalui DP3A, tetapi seluruh pemangku kebijakan, termasuk pemangku wilayah, seperti lurah dan camat.
Sementara itu, Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki menambahkan bahwa pihaknya juga berusaha untuk memberdayakan ibu rumah tangga agar memiliki keahlian wirausaha.
"Yang menjadi trigger KDRT mayoritas kan ekonomi. Kalau ibu-ibu punya keahlian kewirausahaan bisa punya pendapatan, punya pemasukan untuk keluarga, ada ketahanan keluarga," katanya.
Selain faktor ekonomi, kata dia, pernikahan anak juga menjadi pemicu terjadinya KDRT, sebab secara emosional pasangan tersebut belum siap untuk mengarungi kehidupan berumah tangga.
"Makanya, ada pencegahan pernikahan anak. Banyak juga pernikahan anak menimbulkan KDRT, karena lemah secara psikologi," katanya.
"Saya langsung memerintahkan DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) membuat inventarisasi (KDRT), seperti stunting dan kemiskinan ekstreim," kata Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu di Semarang, Selasa.
Ita, sapaan akrab Hevearita, mengaku prihatin dengan kasus KDRT, terutama yang baru saja terjadi mengakibatkan perempuan muda warga Sendangguwo, Semarang, harus meregang nyawa di tangan suaminya.
Menurut dia, faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu terjadinya KDRT, merujuk pada kasus yang banyak terjadi di Kelurahan Sendangguwo dan Kemijen yang menimpa masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
"Nanti dibedah, mungkin kalau memang sama (polanya). Dia tidak miskin secara ekstrem, tetapi di bawah standar kemiskinan. Pengeluaran lebih dari Rp10.000 (per hari), tetapi masih ada yang kurang," katanya.
Sebagaimana diketahui, salah satu standar ukuran kemiskinan ekstrem adalah pengeluaran keluarga tidak lebih dari Rp10 ribu per hari.
"Nanti kami inventarisasi, kenapa terjadi KDRT. Pasti terjadi berbagai macam kasus, mungkin ekonomi, cemburu juga bisa, atau mungkin hal lain, sehingga nanti diinventarisasi satu per satu," katanya.
"Saya enggak mau (penanganannya) setengah-setengah, tapi dari hulu ke hilir," kata perempuan pertama yang jadi Wali Kota Semarang itu.
Diakuinya, persoalan ekonomi biasanya memiliki efek berantai dengan sejumlah persoalan sosial dan kesehatan, seperti KDRT, stunting, dan pernikahan anak.
"Kembali lagi kayak rantai, satu circle. Umpamanya, orang dengan ekonomi rendah, kemiskinan, ada stunting, ada KDRT, dan pernikahan anak. Semua menyambung," katanya.
Karena itu, kata dia, penguatan ekonomi akan dilakukan, terutama untuk perempuan dengan memberdayakan mereka, sehingga bisa mandiri dan memiliki penghasilan.
"Mungkin juga suaminya enggak kerja. Bagaimana kemudian mencarikan pekerjaan, kan ada Disnaker (Dinas Tenaga Kerja)," katanya.
Ita mengingatkan bahwa penyelesaian KDRT tidak bisa hanya diselesaikan Pemkot Semarang melalui DP3A, tetapi seluruh pemangku kebijakan, termasuk pemangku wilayah, seperti lurah dan camat.
Sementara itu, Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki menambahkan bahwa pihaknya juga berusaha untuk memberdayakan ibu rumah tangga agar memiliki keahlian wirausaha.
"Yang menjadi trigger KDRT mayoritas kan ekonomi. Kalau ibu-ibu punya keahlian kewirausahaan bisa punya pendapatan, punya pemasukan untuk keluarga, ada ketahanan keluarga," katanya.
Selain faktor ekonomi, kata dia, pernikahan anak juga menjadi pemicu terjadinya KDRT, sebab secara emosional pasangan tersebut belum siap untuk mengarungi kehidupan berumah tangga.
"Makanya, ada pencegahan pernikahan anak. Banyak juga pernikahan anak menimbulkan KDRT, karena lemah secara psikologi," katanya.