Cilacap (ANTARA) - Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Polisi Ahmad Luthfi mengatakan Direktorat Kriminal Umum Polda Jateng bersama Kepolisian Resor Kota Cilacap berhasil mengungkap dua kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Kasus TPPO yang pertama melibatkan dua orang tersangka," katanya saat konferensi pers terkait kasus TPPO di Markas Polresta Cilacap, Selasa.
Ia mengatakan modus dua tersangka yang terdiri atas Sun (51), warga Indramayu, Jawa Barat, dan Tar (43), warga Cilacap, itu berupa menjanjikan untuk memproses dan memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ke Korea Selatan.
Menurut dia, jumlah korban CPMI yang berhasil diperdayai oleh kedua tersangka mencapai 165 orang dengan kerugian hampir mencapai Rp2,5 miliar.
"Para korban yang direkrut dibawa ke Indramayu yang merupakan lokasi LPK (Lembaga Pendidikan Keterampilan). Kami telah lakukan penyelidikan dan ternyata LPK tersebut tidak berizin," jelasnya.
Setelah dua tersangka tersebut ditangkap, kata dia, pihaknya melakukan pengembangan ke PT AI di Jakarta.
Jika ternyata perusahaan tersebut tidak berizin, lanjut dia, pihaknya juga akan menjerat PT AI dengan pasal TPPO.
"Kasus TPPO yang kedua melibatkan saudari S. Kami tidak melakukan penahanan terhadap saudari S karena masih punya bayi," kata Kapolda.
Menurut dia, tersangka S terlibat dalam TPPO jaringan Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Belanda.
Dalam melakukan aksinya, kata dia, S bekerja sama dengan seorang pria berinisial Tan yang telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) karena yang bersangkutan saat ini berada di Jepang.
"Para korban membayar Rp70 juta, tetapi tidak berangkat. Bahkan beberapa korbannya sudah berangkat ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, tetapi gaji yang diperoleh pun tidak sesuai dengan yang dijanjikan," tegasnya.
Oleh karena itu, kata dia, para korban membuat laporan ke Polda Jateng yang ditindaklanjuti dengan penangkapan terhadap S pada Selasa (6/6) pagi.
Menurut dia, para tersangka dalam kasus TPPO tersebut bakal dijerat Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun.
"Imbauan saya bagi masyarakat yang ingin bekerja sebagai pekerja migran, satu, lakukan pengecekan kepada agen-agen pemberangkatan pekerja migran secara resmi," katanya.
Imbauan yang kedua, kata dia, bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan setempat agar terhindar dari penipuan.
Lebih lanjut, Kapolda mengatakan sesuai dengan petunjuk Presiden Republik Indonesia, TPPO harus diberantas tuntas dari hulu sampai hilir.
Menurut dia, hal itu menjadi landasan kerja bagi kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan tindak pidana perdagangan orang di luar negeri.
"Bapak Kapolri telah mengimbau kami untuk bertindak tegas siapa pun yang terlibat di dalamnya karena ini (TPPO, red.) sangat meresahkan masyarakat," ucapnya menegaskan.
Baca juga: Bareskrim Polri naikkan status laporan TPPO Myanmar ke tahap penyidikan
"Kasus TPPO yang pertama melibatkan dua orang tersangka," katanya saat konferensi pers terkait kasus TPPO di Markas Polresta Cilacap, Selasa.
Ia mengatakan modus dua tersangka yang terdiri atas Sun (51), warga Indramayu, Jawa Barat, dan Tar (43), warga Cilacap, itu berupa menjanjikan untuk memproses dan memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ke Korea Selatan.
Menurut dia, jumlah korban CPMI yang berhasil diperdayai oleh kedua tersangka mencapai 165 orang dengan kerugian hampir mencapai Rp2,5 miliar.
"Para korban yang direkrut dibawa ke Indramayu yang merupakan lokasi LPK (Lembaga Pendidikan Keterampilan). Kami telah lakukan penyelidikan dan ternyata LPK tersebut tidak berizin," jelasnya.
Setelah dua tersangka tersebut ditangkap, kata dia, pihaknya melakukan pengembangan ke PT AI di Jakarta.
Jika ternyata perusahaan tersebut tidak berizin, lanjut dia, pihaknya juga akan menjerat PT AI dengan pasal TPPO.
"Kasus TPPO yang kedua melibatkan saudari S. Kami tidak melakukan penahanan terhadap saudari S karena masih punya bayi," kata Kapolda.
Menurut dia, tersangka S terlibat dalam TPPO jaringan Eropa seperti Inggris, Spanyol, dan Belanda.
Dalam melakukan aksinya, kata dia, S bekerja sama dengan seorang pria berinisial Tan yang telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) karena yang bersangkutan saat ini berada di Jepang.
"Para korban membayar Rp70 juta, tetapi tidak berangkat. Bahkan beberapa korbannya sudah berangkat ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, tetapi gaji yang diperoleh pun tidak sesuai dengan yang dijanjikan," tegasnya.
Oleh karena itu, kata dia, para korban membuat laporan ke Polda Jateng yang ditindaklanjuti dengan penangkapan terhadap S pada Selasa (6/6) pagi.
Menurut dia, para tersangka dalam kasus TPPO tersebut bakal dijerat Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun.
"Imbauan saya bagi masyarakat yang ingin bekerja sebagai pekerja migran, satu, lakukan pengecekan kepada agen-agen pemberangkatan pekerja migran secara resmi," katanya.
Imbauan yang kedua, kata dia, bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan setempat agar terhindar dari penipuan.
Lebih lanjut, Kapolda mengatakan sesuai dengan petunjuk Presiden Republik Indonesia, TPPO harus diberantas tuntas dari hulu sampai hilir.
Menurut dia, hal itu menjadi landasan kerja bagi kepolisian untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan tindak pidana perdagangan orang di luar negeri.
"Bapak Kapolri telah mengimbau kami untuk bertindak tegas siapa pun yang terlibat di dalamnya karena ini (TPPO, red.) sangat meresahkan masyarakat," ucapnya menegaskan.
Baca juga: Bareskrim Polri naikkan status laporan TPPO Myanmar ke tahap penyidikan