Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha mempertanyakan sumber data 110 juta warganet yang setuju penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Agak mustahil ada 110 juta big data warganet yang setuju penundaan pemilu, dari mana sumber datanya?" kata Pratama via percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Senin malam.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo sudah menegaskan bahwa tidak ada penundaan pemilu, atau tetap akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024.
Pratama mengemukakan hal itu sekaligus menjawab polemik penundaan pemilu yang muncul setelah klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan bahwa 110 juta warga menginginkan penundaan pemilu. Informasi ini diketahui lewat big data.
Namun, lanjut Pratama, sampai sekarang dari pihak Luhut Binsar Pandjaitan belum membuka data tersebut, padahal banyak pihak mendorong agar LBP membuka data tersebut.
Dikatakan pula oleh Pratama bahwa harus jelas proses bagaimana dan dari mana data ini diambil sehingga tidak timbulkan polemik di tengah masyarakat.
Menurut dia, secara teknis ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya.
Baca juga: Pasang surut di tengah gelombang kepentingan tiga periode
Oleh karena itu, kata dia, perlu bertanya 110 juta warganet yang disampaikan Luhut Binsar Pandjaitan ini mengambil data dari platform apa? Bagaimana metodologinya?
"Hal ini perlu disampaikan ke publik agar semua pihak bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi," ujar Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) bertransformasi menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Bila mengambil dari Twitter, pemakai aktif media sosial ini di Tanah Air hanya di angka 15 jutaan saja. Selain itu, juga masih banyak akun anonim.
Menurut Pratama, tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.
Ia menyebutkan hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode di kisaran 117.746 (tweet, reply, retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan daring (online).
Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60 persen dan pro 16,40 persen. Sementara itu, pada media daring dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen.
"Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu," tutur Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC.
Baca juga: Titi: Wajar pembahasan anggaran dikaitkan isu penundaan pemilu
Baca juga: Hasto minta wacana penundaan Pemilu 2024 dihentikan
Baca juga: Muhammadiyah minta elite setop wacana penundaan pemilu
Hasil riset CISSReC terkait dengan perpanjangan jabatan dan tiga periode. ANTARA/HO-CISSReC
"Agak mustahil ada 110 juta big data warganet yang setuju penundaan pemilu, dari mana sumber datanya?" kata Pratama via percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Senin malam.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo sudah menegaskan bahwa tidak ada penundaan pemilu, atau tetap akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024.
Pratama mengemukakan hal itu sekaligus menjawab polemik penundaan pemilu yang muncul setelah klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan bahwa 110 juta warga menginginkan penundaan pemilu. Informasi ini diketahui lewat big data.
Namun, lanjut Pratama, sampai sekarang dari pihak Luhut Binsar Pandjaitan belum membuka data tersebut, padahal banyak pihak mendorong agar LBP membuka data tersebut.
Dikatakan pula oleh Pratama bahwa harus jelas proses bagaimana dan dari mana data ini diambil sehingga tidak timbulkan polemik di tengah masyarakat.
Menurut dia, secara teknis ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya.
Baca juga: Pasang surut di tengah gelombang kepentingan tiga periode
Oleh karena itu, kata dia, perlu bertanya 110 juta warganet yang disampaikan Luhut Binsar Pandjaitan ini mengambil data dari platform apa? Bagaimana metodologinya?
"Hal ini perlu disampaikan ke publik agar semua pihak bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi," ujar Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) bertransformasi menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Bila mengambil dari Twitter, pemakai aktif media sosial ini di Tanah Air hanya di angka 15 jutaan saja. Selain itu, juga masih banyak akun anonim.
Menurut Pratama, tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.
Ia menyebutkan hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode di kisaran 117.746 (tweet, reply, retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan daring (online).
Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60 persen dan pro 16,40 persen. Sementara itu, pada media daring dengan kontra sebesar 76,90 persen dan pro 23,10 persen.
"Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu," tutur Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC.
Baca juga: Titi: Wajar pembahasan anggaran dikaitkan isu penundaan pemilu
Baca juga: Hasto minta wacana penundaan Pemilu 2024 dihentikan
Baca juga: Muhammadiyah minta elite setop wacana penundaan pemilu