Semarang (ANTARA) - Lonjakan konsumsi Pertalite yang merupakan komoditas BBM subsidi sebagai imbas penyesuaian harga Pertamax dinilai hanya bersifat sementara, pasalnya kesadaran masyarakat menggunakan BBM ramah lingkungan sudah sangat baik.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) Jawa Tengah Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan kenaikan harga Pertamax memang berdampak pada permintaan, namun kondisi tersebut diperkirakan hanya bersifat sementara, seperti halnya yang terjadi pada kenaikan harga LPG non-subsidi beberapa waktu lalu.

"Perubahan harga memang selalu mendorong pergerakan permintaan barang, tapi dari pengalaman LPG non-PSO yang naik dua kali, eksesnya hanya sementara, sekitar 1 persen dan sekarang sudah kembali normal," katanya.

Sujarwanto menilai meski terjadi kenaikan permintaan Pertalite, namun pihaknya memastikan stok Pertalite untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat mencukupi.

Berdasarkan koordinasi dengan Pertamina, saat ini stok Pertalite di Jawa Tengah masih mencukupi hingga 10,6 hari ke depan.

"Kami sudah koordinasi dengan Pertamina untuk penguatan di SPBU – SPBU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Sujarwanto.

Harga Pertamax saat ini, lanjutnya, masih lebih rendah dibandingkan dengan operator lain dan itu menunjukkan jika pemerintah masih menjaga daya beli masyarakat untuk tetap bisa mendapatkan BBM berkualitas.

"Kalau kita lihat, Shell menjual BBM sekelas Pertamax sudah Rp16.000 per liter. Jadi, pemerintah masih memperhatikan permintaan masyarakat untuk Pertamax ini," jelas Sujarwanto.

Sujarwanto meyakini kesadaran masyarakat terhadap BBM berkualitas semakin baik, dimana kondisi tersebut ditunjukkan dengan permintaan Pertamax yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan permintaan Pertalite tercatat tidak meningkat signifikan.

"Permintaan Pertamax dan Pertamax Turbo di masyarakat saat ini naik cukup tajam. Ini menunjukkan jika menggunakan BBM berkualitas itu penting bagi kendaraannya," katanya.

Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah Abdul Mufid menambahkan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga Pertamax bisa dimengerti, mengingat Indonesia hingga saat ini masih menjadi negara importir BBM.

Meskipun begitu, katanya, pemerintah harus tetap mengantisipasi efek domino dari kenaikan Pertamax terhadap komoditas lainnya, sehingga tidak membebani masyarakat, khususnya menengah ke bawah.

"Harus ada langkah pemerintah untuk mengantisipasi efek domino kenaikan. Jangan sampai Pertamax naik, kemudian masyarakat juga sulit mencari Pertalite," katanya.

Mufid mengatakan pemerintah juga harus meninjau ulang sistem subsidi  yang diberikan untuk BBM, sehingga lebih  tepat sasaran. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih tegas, agar masyarakat yang mampu, tidak menggunakan Pertalite yang saat ini sudah menjadi BBM penugasan.

"Mungkin bisa diterapkan sistem pengawasan di SPBU agar kendaraan untuk masyarakat menengah ke atas tidak menggunakan Pertalite," katanya.

Mufid juga mengusulkan penegakan kembali larangan penggunaan BBM subsidi untuk instansi pemerintah.

"Dulu sudah ada aturan itu agar kendaraan instansi pemerintah tidak pakai BBM subsidi. Sekarang harus diperketat lagi," katanya.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan  Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan Premium. Aturan ini ditetapkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang JBKP.

Dengan keputusan itu, Pertalite resmi berstatus sebagai BBM subsidi, sehingga penyalurannya dibatasi sesuai dengan kuota yang ditetapkan pemerintah.

Data dari kementerian ESDM menyebutkan secara keseluruhan jatah Pertalite pada tahun 2022 adalah 23.050.091 KL per tahun.

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Mugiyanto
Copyright © ANTARA 2024