Semarang (ANTARA) - Keluarga masih diyakini sebagai salah satu pilar penting dalam membangun bangsa. Apalagi di negara yang masih menempatkan keluarga sebagai institusi utama dalam pembentukan nilai-nilai sosial dan moral anggotanya.

Sungguh mengejutkan ketika mendapati angka perceraian di Jawa Tengah pada 2020 sangat tinggi, mencapai 37 persen. Artinya, dari 100 pernikahan 37 pasangan berakhir dengan perceraian.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin menyebutkan pada 2020 provinsi ini menduduki peringkat pertama perkara perceraian, yakni mencapai 65.755 kasus. Melihat fakta memilukan tersebut, Taj Yasin minta Badan Penasihat, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Jateng turun tangan.

Baca juga: Kasus perceraian di Jateng tinggi, BP4 diminta turun tangan

Tantangan hidup berumah tangga pada awal abad 21 ini memang kompleks. Penyebab perceraian juga beragam. Mulai dari masalah ekonomi, perselingkuhan, hingga usia dini pasangan sehingga kurang matang ketika menghadapi persoalan rumah tangga.

Faktor kurang matang ketika memasuki usia perkawinan memang layak disorot. Menurut data dikutip dari jatengprov.go.id, kasus dispensasi nikah di Jateng pada 2019 sebanyak 3.865 kasus, lalu pada 2020 melesat menjadi 12.972 kasus nikah anak di bawah umur. 

Mayoritas yang mengajukan dispensasi usia nikah adalah orang tua dari calon pengantin perempuan yang umurnya belum mencapai 19 tahun, yakni sebanyak 11.972, sisanya 1.671 diajukan oleh orang tua calon pengantin laki-laki. 

Meningkatnya kasus menikah anak adalah dampak dari diterapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengubah usia menikah dari 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, menjadi umur 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. 

Pademi COVID-19 yang makin terasakan dampaknya pada 2020-2021, bisa menjadi penyulut perceraian setelah banyak keluarga kehilangan pekerjaan atau pendapatannya turun drastis. 

Begitu banyak perusahaan atau pemberi kerja yang tidak tahan dengan tekanan pandemi yang tidak kunjung surut sehingga akhirnya mereka memutus hubungan kerja. Ini bukan hanya melanda perusahaan kecil dan menengah. Korporasi dengan pendapatan triliunan rupiah pun banyak yang merasionalisasi karyawannya sembari menunggu iklim usaha kembali pulih.

Beberapa kepala rumah tangga yang di-PHK mampu bangkit dengan membuka usaha sendiri, namun banyak pula yang gagal mendapatkan penghasilan baru. Ketika pilar ekonomi keluarga muda itu runtuh, sebagian memilih pulang ke rumah orang tua.

Tanpa kematangan mental, pasangan bisa dengan mudah memilih jalan berpisah ketika mereka menghadapi tekanan berat, misalnya, kehilangan penghasilan. 

Faktor perselingkuhan juga bisa menjadi penyulut perceraian. Kemudahan komunikasi dan godaan visual di zaman digital ini bisa juga pemicu keretakan rumah tangga pasangan muda. 

Apa pun penyebabnya, membangun rumah tangga menuntut setiap pasangan memiliki kematangan mental agar ketika terjadi badai, rumah tangga masih bisa tegak berdiri. 

Permasalahan menjadi kian rumit ketika mereka sudah memiliki anak.

Dalam banyak kasus perceraian, anak selalu menjadi korban. Mereka bukan saja kehilangan salah satu orang tua, melainkan juga kehilangan masa-masa sangat penting dalam pertumbuhan fisik, mental, dan sosial.

Padahal dari anak-anak itulah bangsa ini mengharapkan generasi tangguh di tengah makin tingginya kompleksitas hidup pada masa mendatang.

Melihat banyaknya kasus anak menikah, langkah terpenting yang bisa dilakukan segera adalah membatasi secara ketat surat dispensasi tersebut. 

Kemudahan memberikan dispensasi sama saja menjadikan peraturan seperti "macan kertas". ***

Baca juga: Angka pernikahan dini meningkat di masa pandemi, Program KB digiatkan
Baca juga: Cegah pernikahan dini, anak-anak di Jateng diimbau fokus raih cita-cita
Baca juga: Tangani pernikahan dini, Pemprov Jateng gandeng 5 unsur

Pewarta : Zaenal
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024