Semarang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menggandeng lima unsur dalam menangani kasus pernikahan dini dengan menerapkan konsep pentahelix yang melibatkan unsur pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media.
"Dari lima unsur tersebut harus gerak bersama, karena tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Semua kegiatan harus melibatkan lima unsur itu tadi supaya gerakan bisa berjalan dengan optimal," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng Retno Sudewi pada peringatan puncak Hari Ibu ke-92, di Semarang, Selasa.
Dewi, panggilan akrab Retno Sudewi menilai ada sejumlah faktor pernikahan dini di antaranya ketidaktahuan atas peraturan baru UU 16/2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur usia minimal bagi perempuan menikah menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dari sebelumnya 16 tahun untuk perempuan.
Permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah masih tinggi dan data dari Pengadilan Tinggi Agama Semarang sejak Januari sampai dengan September tahun 2020, sudah terdapat sebanyak 9.443 anak yang menikah.
Baca juga: Ganjar: Perempuan harus berdaya termasuk di sektor politik
Menurutnya, selain sosialisasi yang belum merata, faktor ekonomi, budaya, dan hamil di luar nikah biasa menjadi penyebab pernikahan dini yang secara kesehatan sangat berisiko bagi perempuan karena organ reproduksi belum siap sehingga dapat menyebabkan kematian bayi dan ibu.
Dampak lain dengan pernikahan dini, lanjut Dewi, yakni sektor pendidikan karena banyak yang enggan sekolah begitu menikah dan dari sisi ekonomi bisa menjadikan pekerja anak semakin banyak.
"Upayanya dengan keterlibatan lima unsur tadi, karena tidak hanya pencegahan tetapi kami juga melakukan penanganan bagi mereka yang sudah 'kadung' (terlanjur) menikah," kata Dewi.
Langkah lain, kata Dewi, Pemprov Jateng menerapkan Progam Jo Kawin Bocah yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pemenuhan hak dan perlindungan dalam mencegah perkawinan.
Baca juga: Hari Ibu, Jateng berkomitmen genjot kualitas perempuan
Ditambahkan, tujuan lain Jo Kawin Bocah, terpenuhinya hak anak bagi kelompok rentan agar tidak dinikahkan, serta mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan bagi anak yang sudah dinikahkan.
Gerakan tersebut, tambah Dewi, diharapkan mampu mendorong berbagai upaya dalam mengurangi faktor risiko terjadinya pernikahan anak dan dari lima unsur tersebut masuk di dalamnya adalah Forum Anak yang diharapkan sosialisasi bisa lebih mengena.
"Dari lima unsur tersebut harus gerak bersama, karena tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Semua kegiatan harus melibatkan lima unsur itu tadi supaya gerakan bisa berjalan dengan optimal," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng Retno Sudewi pada peringatan puncak Hari Ibu ke-92, di Semarang, Selasa.
Dewi, panggilan akrab Retno Sudewi menilai ada sejumlah faktor pernikahan dini di antaranya ketidaktahuan atas peraturan baru UU 16/2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur usia minimal bagi perempuan menikah menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dari sebelumnya 16 tahun untuk perempuan.
Permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah masih tinggi dan data dari Pengadilan Tinggi Agama Semarang sejak Januari sampai dengan September tahun 2020, sudah terdapat sebanyak 9.443 anak yang menikah.
Baca juga: Ganjar: Perempuan harus berdaya termasuk di sektor politik
Menurutnya, selain sosialisasi yang belum merata, faktor ekonomi, budaya, dan hamil di luar nikah biasa menjadi penyebab pernikahan dini yang secara kesehatan sangat berisiko bagi perempuan karena organ reproduksi belum siap sehingga dapat menyebabkan kematian bayi dan ibu.
Dampak lain dengan pernikahan dini, lanjut Dewi, yakni sektor pendidikan karena banyak yang enggan sekolah begitu menikah dan dari sisi ekonomi bisa menjadikan pekerja anak semakin banyak.
"Upayanya dengan keterlibatan lima unsur tadi, karena tidak hanya pencegahan tetapi kami juga melakukan penanganan bagi mereka yang sudah 'kadung' (terlanjur) menikah," kata Dewi.
Langkah lain, kata Dewi, Pemprov Jateng menerapkan Progam Jo Kawin Bocah yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pemenuhan hak dan perlindungan dalam mencegah perkawinan.
Baca juga: Hari Ibu, Jateng berkomitmen genjot kualitas perempuan
Ditambahkan, tujuan lain Jo Kawin Bocah, terpenuhinya hak anak bagi kelompok rentan agar tidak dinikahkan, serta mendorong terpenuhinya hak dan perlindungan bagi anak yang sudah dinikahkan.
Gerakan tersebut, tambah Dewi, diharapkan mampu mendorong berbagai upaya dalam mengurangi faktor risiko terjadinya pernikahan anak dan dari lima unsur tersebut masuk di dalamnya adalah Forum Anak yang diharapkan sosialisasi bisa lebih mengena.