Semarang (ANTARA) -
"Soal kawin nanti saja setelah cita-cita tercapai," katanya saat menjadi salah seorang pembicara pada Workshop dengan tema "Jo Kawin Bocah" yang digelar Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah, dan Forum Anak Jateng, serta didukung UNICEF secara daring, Sabtu (20/3).
Menurut Ganjar, jika setiap anak-anak mempunyai cita-cita yang tinggi pasti akan mencegah yang bersangkutan untuk tidak menikah pada usia dini.
Saat berdialog secara daring dengan
sejumlah anak peserta "workshop", Ganjar mengaku senang karena yang bersangkutan mempunyai berbagai cita-cita.
"Cita-cita mereka mulai menjadi dokter, kowad, pengusaha, gubernur, hingga presiden," ujarnya.
Siti Wahyuni dari Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jateng mengungkapkan jumlah anak Jateng yang menikah di usia anak pada tahun 2019 tercataada 2.049 anak yang terdiri dari 1.377 laki-laki dan 672 perempuan.
"Jumlah itu meningkat pada 2020 menjadi 12.972 anak dengan rincian 1.671 anak laki-laki dan 11.301 anak perempuan," ujarnya.
Menurut dia, adanya perubahan di UU Perkawinan yang membatasi usia nikah minimal 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan berdasar UU 16/2019.
"Perkawinan anak berdampak buruk bagi anak yang harus menjadi ibu misalnya terjadi kasus lahir prematur, gizi buruk, stunting, penelantaran, dan pengabaian pengasuhan yang layak," katanya.
Dampak nikah bocah itu, lanjut dia, antara lain sebanyak 73,01 persen hak pendidikan mereka terenggut, 61,67 persen berakhir cerai, dan 47,91 persen mengalami keguguran lebih tinggi.
Sementara itu, hasil jajak pendapat yang dilakukan Forum Anak Jateng bersama U-Report pada periode 3-13 Maret 2021, mayoritas anak yang menjadi responden memgaku tidak tertarik menikah dini dan alasan utama mereka masih ingin mengejar cita-cita.
Sebanyak 77,5 persen responden tidak tahu tentang UU Perkawinan dan 77,3 persen juga tidak tahu harus melapor terkait perkawinan anak.
Dampak dari pernikahan anak itu 73,01 persen hak pendidikan anak-anak terenggut, 61,67 persen berakhir cerai, dan 47,91 persen mengalami keguguran lebih tinggi.
Milen Kidane selaku Kepala Perlindungan Anak UNICEF Indonesia menambahkan, satu tahun lalu pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan Kementerian Permbadayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dilengkapi analisis data 10 tahun perkawinan anak di Indonesia atas dukungan UNICEF.
Analisis itu menunjukkan dalam 10 tahun terakhir ada penurunan angka perkawinan anak di pedesaan, pada 2018 tercatat ada 11,2 persen anak perempuan yang dinikahkan dan pada tahun 2019 telah menurun menjadi 10,82 persen.
"Kita harus memastikan semua orang tahu arti penting pencegahan pernikahan anak. Memberi mereka kecakapan hidup dan agar mereka memiliki kemampuan memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa semua pihak perlu bekerja sama membuat anak-anak tetap bersekolah dan terhindar dari perkawinan anak.
"Langkah itu juga akan menciptakan dunia bagi anak perempuan dan kaum perempuan diberdayakan dan mampu bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri," katanya.
Di sisi lain, anggota Komisi E DPRD Jateng Tazkiyatul Muthmainnah menyebutkan pihaknya saat ini sedang menyusun peraturan daerah perlindungan anak.
"Kami berharap perda ini bisa menjadi komperehensif agar permasalahan di Jateng bisa di-cover di sini. Kami memasukkan beberapa poin yang di perda sebelumnya tidak ada. Kami membuat draft, poin perkawinan anak jadi bab tersendiri. Jika jadi bab tersendiri kami bisa lebih detil dan lengkap membahas pencegahan perkawinan anak," ujarnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengimbau anak-anak agar fokus meraih cita-citanya masing-masing untuk mencegah terjadinya pernikahan dini yang jumlahnya meningkat tiap tahun.
"Soal kawin nanti saja setelah cita-cita tercapai," katanya saat menjadi salah seorang pembicara pada Workshop dengan tema "Jo Kawin Bocah" yang digelar Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah, dan Forum Anak Jateng, serta didukung UNICEF secara daring, Sabtu (20/3).
Menurut Ganjar, jika setiap anak-anak mempunyai cita-cita yang tinggi pasti akan mencegah yang bersangkutan untuk tidak menikah pada usia dini.
Saat berdialog secara daring dengan
sejumlah anak peserta "workshop", Ganjar mengaku senang karena yang bersangkutan mempunyai berbagai cita-cita.
"Cita-cita mereka mulai menjadi dokter, kowad, pengusaha, gubernur, hingga presiden," ujarnya.
Siti Wahyuni dari Dinas Perempuan dan Anak Provinsi Jateng mengungkapkan jumlah anak Jateng yang menikah di usia anak pada tahun 2019 tercataada 2.049 anak yang terdiri dari 1.377 laki-laki dan 672 perempuan.
"Jumlah itu meningkat pada 2020 menjadi 12.972 anak dengan rincian 1.671 anak laki-laki dan 11.301 anak perempuan," ujarnya.
Menurut dia, adanya perubahan di UU Perkawinan yang membatasi usia nikah minimal 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan berdasar UU 16/2019.
"Perkawinan anak berdampak buruk bagi anak yang harus menjadi ibu misalnya terjadi kasus lahir prematur, gizi buruk, stunting, penelantaran, dan pengabaian pengasuhan yang layak," katanya.
Dampak nikah bocah itu, lanjut dia, antara lain sebanyak 73,01 persen hak pendidikan mereka terenggut, 61,67 persen berakhir cerai, dan 47,91 persen mengalami keguguran lebih tinggi.
Sementara itu, hasil jajak pendapat yang dilakukan Forum Anak Jateng bersama U-Report pada periode 3-13 Maret 2021, mayoritas anak yang menjadi responden memgaku tidak tertarik menikah dini dan alasan utama mereka masih ingin mengejar cita-cita.
Sebanyak 77,5 persen responden tidak tahu tentang UU Perkawinan dan 77,3 persen juga tidak tahu harus melapor terkait perkawinan anak.
Dampak dari pernikahan anak itu 73,01 persen hak pendidikan anak-anak terenggut, 61,67 persen berakhir cerai, dan 47,91 persen mengalami keguguran lebih tinggi.
Milen Kidane selaku Kepala Perlindungan Anak UNICEF Indonesia menambahkan, satu tahun lalu pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan Kementerian Permbadayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dilengkapi analisis data 10 tahun perkawinan anak di Indonesia atas dukungan UNICEF.
Analisis itu menunjukkan dalam 10 tahun terakhir ada penurunan angka perkawinan anak di pedesaan, pada 2018 tercatat ada 11,2 persen anak perempuan yang dinikahkan dan pada tahun 2019 telah menurun menjadi 10,82 persen.
"Kita harus memastikan semua orang tahu arti penting pencegahan pernikahan anak. Memberi mereka kecakapan hidup dan agar mereka memiliki kemampuan memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa semua pihak perlu bekerja sama membuat anak-anak tetap bersekolah dan terhindar dari perkawinan anak.
"Langkah itu juga akan menciptakan dunia bagi anak perempuan dan kaum perempuan diberdayakan dan mampu bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri," katanya.
Di sisi lain, anggota Komisi E DPRD Jateng Tazkiyatul Muthmainnah menyebutkan pihaknya saat ini sedang menyusun peraturan daerah perlindungan anak.
"Kami berharap perda ini bisa menjadi komperehensif agar permasalahan di Jateng bisa di-cover di sini. Kami memasukkan beberapa poin yang di perda sebelumnya tidak ada. Kami membuat draft, poin perkawinan anak jadi bab tersendiri. Jika jadi bab tersendiri kami bisa lebih detil dan lengkap membahas pencegahan perkawinan anak," ujarnya.