Semarang (ANTARA) - Langkah untuk membentuk masyarakat pembelajar yang unggul dan berakhlak mulia memerlukan tata kelola pendidikan yang tepat.
"Visi bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintah, yang antara lain bertujuan membentuk masyarakat yang berdaya saing, berkarakter dan berakhlak mulia, memerlukan keterlibatan guru yang berkualitas untuk mewujudkannya," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Polemik Guru Honorer dan Tata Kelola Pendidikan Nasional, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (20/1).
Diskusi dipandu Dr. Irwansyah, S.Sos.,M.A.(Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, menghadirkan Prof. Dr. Unifah Rosidi (Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia/PGRI), Prof. Yohannes Surya (Guru Besar Surya University), Dr. Eduart Wolok, ST, MT.(Rektor Universitas Negeri Gorontalo), dan Ahmad Baedowi (Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Butet Manurung (pemerhati pendidikan) dan Yovita Arika (jurnalis senior Kompas) sebagai panelis.
Menurut Lestari, "Bila kita membebankan semua upaya untuk mewujudkan visi pendidikan itu kepada guru, kita harus menakar apakah saat ini kita sudah memiliki tata kelola pendidikan yang tepat untuk mencetak guru-guru yang berkualitas."
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, kondisi kualitas guru saat ini yang dinilai belum memadai untuk mewujudkan visi pendidikan tersebut juga harus segera dicari akar masalahnya.
"Apakah hanya karena tidak adanya tata kelola yang baik sehingga kualitas guru rendah atau ada faktor lain yang mempengaruhinya," ujar anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang.
Ketua Umum PGRI, Unifah Rosidi berpendapat kondisi kualitas pendidikan yang belum memadai saat ini tidak bisa dibebankan tanggung jawabnya kepada guru semata. Karena untuk mewujudkan visi pendidikan nasional tersebut guru tidak bisa berdiri sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan saat ini, menurut Unifah, antara lain data yang tidak akurat terkait jumlah guru yang ada.
Secara nasional Kementerian Pendidikan menggunakan perbandingan guru dan jumlah siswa saat ini 1 guru berbanding 16 siswa, dengan dasar jumlah guru sekitar 3,2 juta.
Padahal, jelasnya, dari jumlah guru tersebut 52,5 persen adalah guru honorer yang masih menghadapi banyak kendala dalam menjalankan aktivitas mengajar.
Di tengah euforia bonus demografi, menurut Unifah, sektor pendidikanlah yang seharusnya diberi peran penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Agar bonus demografi itu bisa terwujud, jelasnya, upaya peningkatan kapasitas dan kualitas guru memegang peran penting.
Guru Besar Surya University, Prof. Yohannes Surya berpendapat, di masa pandemi Covid-19 ini sebenarnya merupakan saat yang tepat untuk mengurangi kesenjangan kualitas guru yang terjadi saat ini, lewat pelatihan pengajaran untuk guru secara daring atau digital.
Lewat konsep training of trainer terhadap sekelompok guru dengan kualitas yang baik, menurut Yohannes, peningkatan kualitas guru bisa dilakukan secara berkelanjutan.
Antara lain, jelas Yohannes, dengan cara, teknik pengajaran sejumlah mata ajar kepada guru direkam untuk kemudian disebarkan kepada guru-guru lain di sejumlah daerah.
Pada kesempatan itu, Rektor Universitas Negeri Gorontalo Eduart Wolok menyoroti problem yang dihadapi guru honorer di sejumlah daerah.
Diakui Eduart ada ketidakadilan yang dialami para guru honorer di banyak daerah. Dengan tugas dan fungsi yang sama, ujarnya, penghargaan terhadap guru honorer jauh di bawah guru yang berstatus ASN.
Eduart mendorong upaya pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dengan tetap menerapkan standarisasi rekrutmen guru yang memadai.
Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa, Ahmad Baedowi berpendapat, untuk mengakhiri keruwetan dalam pengelolaan guru di Tanah Air upaya yang harus segera dilakukan adalah merevisi UU Aparatur Sipil Negara, UU Otonomi Daerah dan UU Sistem Pendidikan Nasional, yang saat ini sejumlah UU tersebut ikut menjadi bagian yang mengatur tata kelola guru di Tanah Air.
Melihat kenyataan itu, Ahmad Baedowi berpendapat, perlu omnibus law di bidang pendidikan untuk mengakhiri kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan yang membawahi tata kelola guru selama ini.
Pemerhati pendidikan, Butet Manurung juga menilai ada ketidakadilan terhadap para guru honorer selama ini. Padahal, tegas Butet, masih banyak wilayah di Tanah Air yang belum mendapatkan alokasi guru, seperti masyarakat di wilayah hutan dan daerah terluar.
Butet juga menilai kurikulum pendidikan yang bersifat nasional saat ini tidak cukup adaptif untuk diaplikasikan di daerah dengan kondisi yang berbeda-beda.***
"Visi bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintah, yang antara lain bertujuan membentuk masyarakat yang berdaya saing, berkarakter dan berakhlak mulia, memerlukan keterlibatan guru yang berkualitas untuk mewujudkannya," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Polemik Guru Honorer dan Tata Kelola Pendidikan Nasional, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (20/1).
Diskusi dipandu Dr. Irwansyah, S.Sos.,M.A.(Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, menghadirkan Prof. Dr. Unifah Rosidi (Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia/PGRI), Prof. Yohannes Surya (Guru Besar Surya University), Dr. Eduart Wolok, ST, MT.(Rektor Universitas Negeri Gorontalo), dan Ahmad Baedowi (Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Butet Manurung (pemerhati pendidikan) dan Yovita Arika (jurnalis senior Kompas) sebagai panelis.
Menurut Lestari, "Bila kita membebankan semua upaya untuk mewujudkan visi pendidikan itu kepada guru, kita harus menakar apakah saat ini kita sudah memiliki tata kelola pendidikan yang tepat untuk mencetak guru-guru yang berkualitas."
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, kondisi kualitas guru saat ini yang dinilai belum memadai untuk mewujudkan visi pendidikan tersebut juga harus segera dicari akar masalahnya.
"Apakah hanya karena tidak adanya tata kelola yang baik sehingga kualitas guru rendah atau ada faktor lain yang mempengaruhinya," ujar anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang.
Ketua Umum PGRI, Unifah Rosidi berpendapat kondisi kualitas pendidikan yang belum memadai saat ini tidak bisa dibebankan tanggung jawabnya kepada guru semata. Karena untuk mewujudkan visi pendidikan nasional tersebut guru tidak bisa berdiri sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan saat ini, menurut Unifah, antara lain data yang tidak akurat terkait jumlah guru yang ada.
Secara nasional Kementerian Pendidikan menggunakan perbandingan guru dan jumlah siswa saat ini 1 guru berbanding 16 siswa, dengan dasar jumlah guru sekitar 3,2 juta.
Padahal, jelasnya, dari jumlah guru tersebut 52,5 persen adalah guru honorer yang masih menghadapi banyak kendala dalam menjalankan aktivitas mengajar.
Di tengah euforia bonus demografi, menurut Unifah, sektor pendidikanlah yang seharusnya diberi peran penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Agar bonus demografi itu bisa terwujud, jelasnya, upaya peningkatan kapasitas dan kualitas guru memegang peran penting.
Guru Besar Surya University, Prof. Yohannes Surya berpendapat, di masa pandemi Covid-19 ini sebenarnya merupakan saat yang tepat untuk mengurangi kesenjangan kualitas guru yang terjadi saat ini, lewat pelatihan pengajaran untuk guru secara daring atau digital.
Lewat konsep training of trainer terhadap sekelompok guru dengan kualitas yang baik, menurut Yohannes, peningkatan kualitas guru bisa dilakukan secara berkelanjutan.
Antara lain, jelas Yohannes, dengan cara, teknik pengajaran sejumlah mata ajar kepada guru direkam untuk kemudian disebarkan kepada guru-guru lain di sejumlah daerah.
Pada kesempatan itu, Rektor Universitas Negeri Gorontalo Eduart Wolok menyoroti problem yang dihadapi guru honorer di sejumlah daerah.
Diakui Eduart ada ketidakadilan yang dialami para guru honorer di banyak daerah. Dengan tugas dan fungsi yang sama, ujarnya, penghargaan terhadap guru honorer jauh di bawah guru yang berstatus ASN.
Eduart mendorong upaya pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dengan tetap menerapkan standarisasi rekrutmen guru yang memadai.
Direktur Eksekutif Sekolah Sukma Bangsa, Ahmad Baedowi berpendapat, untuk mengakhiri keruwetan dalam pengelolaan guru di Tanah Air upaya yang harus segera dilakukan adalah merevisi UU Aparatur Sipil Negara, UU Otonomi Daerah dan UU Sistem Pendidikan Nasional, yang saat ini sejumlah UU tersebut ikut menjadi bagian yang mengatur tata kelola guru di Tanah Air.
Melihat kenyataan itu, Ahmad Baedowi berpendapat, perlu omnibus law di bidang pendidikan untuk mengakhiri kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan yang membawahi tata kelola guru selama ini.
Pemerhati pendidikan, Butet Manurung juga menilai ada ketidakadilan terhadap para guru honorer selama ini. Padahal, tegas Butet, masih banyak wilayah di Tanah Air yang belum mendapatkan alokasi guru, seperti masyarakat di wilayah hutan dan daerah terluar.
Butet juga menilai kurikulum pendidikan yang bersifat nasional saat ini tidak cukup adaptif untuk diaplikasikan di daerah dengan kondisi yang berbeda-beda.***