Cilacap (ANTARA) - Hamparan pohon kelapa di Desa Sarwadadi, Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tidak hanya menjadikannya sebagai pemandangan khas, juga sebagai sumber nira dan potensial untuk dijadikan produk gula kelapa oleh mayoritas penduduknya yang berstatus pengrajin gula.

Salah satu potret nyata pengrajin gula itu adalah Ibrahim, warga Dusun Cigebret RT 02 RW 005, Desa Sarwadadi, yang sudah 5 tahun menggeluti usahanya. 

Berbeda dengan lainnya, Ibrahim memilih untuk membuat gula kelapa kristal atau biasa disebut juga dengan gula semut. Gula semut asal Cilacap dikenal karena kualitasnya sudah standar ekspor dan banyak dikirim ke negara-negara Timur Tengah maupun Eropa.

Masuknya Ibrahim di bisnis ini berawal dari keanggotaannya di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP NU) Cabang Kroya. 

Waktu itu, ia diminta oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Cilacap, agar mencari penderes (pemetik nira, red.) untuk mengikuti pelatihan cara membuat gula kelapa kristal. Ia pun dengan sigap berupaya mengajak para penderes di desanya.

Semangatnya mengembangkan usaha membuat Ibrahim berkeinginan agar teman-teman di desanya yang kebanyakan perajin gula merah tertarik dan beralih memroduksi gula kelapa murni, namun sayang upayanya tidak berhasil. 

"Belum ada yang tertarik mengikuti jejak saya," ujarnya. Dengann demikian, pelatihan yang ditawarkan Dishutbun akhirnya sepi peminat.

Menurut Ibrahim, bahan baku pembuatan gula merah dan gula semut memang sama, yakni nira. 

"Bisa nira kelapa maupun nira aren atau kawung, bedanya gula semut hanya dibuat dari nira, sedangkan gula merah bahan bakunya nira dicampur dengan gula pasir atau gula rafinasi, mungkin untuk kesehatan dampaknya juga berbeda," ungkapnya.

Bagi masyarakat umum, agak sulit memang membedakan mana gula kelapa asli dan gula merah. Di lain pihak, penampilan gula merah lebih menarik dibandingkan dengan gula kelapa. 

Baca juga: Pertamina Cilacap tingkatkan kemampuan mitigasi dan anatomi kapal

Alasan inilah yang membuat sejumlah perajin gula kelapa mengeluh, karena kalah bersaing dengan gula merah. 

"Cara pengolahan gula kelapa asli memang masih tradisional, sehingga warna gula yang dihasilkan sangat tergantung dari kualitas nira dan proses pemasakannya," katanya.

Ibrahim yang membangun usaha gula semut sejak tahun 2018, sekarang memiliki dua tempat usaha yang berlokasi di Desa Bojong dan Rawa Apu. "Belum besar sih, cuma punya 6 orang pekerja," katanya. 

Bapak berusia 60 tahun dengan 8 anak ini, semula adalah guru honorer di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTS) Kawunganten setelah mengenyam pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta.

Alih-alih memberdayakan warga sekitar, Ibrahim lalu mendirikan koperasi. "Koperasi Nelayan Nurul Bahari Abadi, kali ini di bawah bimbingan LPPNU Kecamatan Kawunganten," ujarnya. 

Meskipun merupakan koperasi nelayan, bidang usaha koperasi ini melebar hingga mampu menjaring keanggotan sebanyak 245 orang. Anggotanya juga tidak melulu nelayan. 

"Ada petani, petambak ikan, penderes, peternak, dan lain-lain, harapannya agar mereka bisa saling komunikasi dalam satu wadah," jelasnya.

Baca juga: Pertamina Cilacap salurkan bantuan untuk korban tanah longsor

Melalui koperasi, Ibrahim melanjutkan niatnya mengajak para perajin gula untuk mengikuti pelatihan membuat gula semut. “Ternyata masih juga sulit, dari 60 penderes di sini, sampai sekarang belum ada yang mau diajak memproduksi gula asli," keluhnya. 

Akan tetapi Ibrahim tak patah arang, "Saya masih harus berjuang," ungkapnya.

Menjalani masa pandemi, tentu menjadi cerita tersendiri bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) seperti Ibrahim. 

"Usaha menurun, produksi juga berkurang karena permintaan nyaris sepi," ujarnya. Ibrahim pantang menyerah dengan mempertahankan produksi yang hanya 8 ton dari target semula yang bisa mencapai 20 ton per bulan.

Pemasaran produknya hanya sebatas Jakarta dan Kota Solo. Dikerjakan dengan pembagian dua tim, masing-masing terdiri tiga orang pekerja, kini dia hanya mampu memproduksi sebanyak tujuh cetakan per hari. "Setara dengan 7 kuintal sehari, dengan upah borongan," jelasnya. 

Itu pun harus ditebus dengan pembayaran yang tidak sesuai kesepakatan dari pihak pembeli. "Awalnya lancar, tapi pada permintaan berikutnya macet," keluhnya. 

Ibrahim pun hanya bisa memaklumi hal ini. "Mau gimana lagi ya, wong situasi memang sedang serba susah," ujarnya pasrah. 

Di saat sulit mencari terobosan baru untuk mengembangkan usaha, Ibrahim dipertemukan dengan Program Kemitraan Pertamina RU IV Cilacap, sebuah program pinjaman modal lunak bagi pelaku UMKM. 

Merasa mendapat angin segar, ia pun berharap melalui Pertamina impiannya untuk bisa ekspor produk bisa terwujud. "Saat ini saya sedang mencari jalan agar bisa membuat label halal, agar dapat membantu bagaimana supaya jualan saya bisa diekspor," ujarnya. 

Memang tidak banyak pelaku UKM yang berhasil menembus pasar ekspor, namun tidak sedikit pula yang sudah berhasil dilirik eksportir asing saat mengikuti pameran.

"Karena Pertamina konsisten mendukung pengembangan UMKM, di antaranya melalui pelatihan dan keikutsertaan mereka dalam pameran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri agar bisa menjadi pelaku UMKM yang tangguh dan mandiri," kata Area Manager Communication, Relations, and CSR Pertamina RU IV Cilacap, Sub-Holding Refining and Petrochemical, Hatim Ilwan.

Baca juga: Pertamina RU IV Cilacap ajak UMKM binaannya naik kelas
Baca juga: Pertamina bersama Kejari dan IAD Daerah Cilacap serahkan bantuan bagi borban banjir di Tarisi

Pewarta : KSM
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024