Jakarta (ANTARA) - Institut Gamaleya, pengembang vaksin COVID-19 dari Rusia, membantah kabar bahwa vaksin Sputnik V yang dikembangkan dengan basis human adenovirus mempunyai risiko lebih tinggi terhadap infeksi virus penyerang kekebalan tubuh, HIV.
Menurut dr. Denis Logunov, Wakil Direktur Kinerja Ilmiah di Institut Gamaleya, pihaknya telah mendengar komentar tersebut, namun menyebut bahwa tidak ada alasan ilmiah atas hal itu.
"Riset tersebut tak lain hanyalah berita bohong," kata Logunov yang berbicara dari Moskow, Rusia, dalam pemaparan media secara virtual yang diikuti ANTARA di Jakarta, Jumat malam."Manusia memang terinfeksi oleh adenovirus, tetapi tidak ada satu pihak pun yang dapat membuktikan bahwa orang yang terinfeksi adenovirus sebelumnya menjadi lebih sensitif terhadap HIV. Vektor adenovirus sangat aman," ujar dia menambahkan.
Rusia mengembangkan Sputnik V berdasarkan platform human adenovirus--virus penyebab penyakit infeksi mirip flu--dengan menggunakan dua komponen, yaitu serotipe adenovirus 26 (Ad26) dan serotipe adenovirus 5 (Ad5).
Dikutip dari laporan Reuters akhir Agustus lalu, sejumlah ilmuwan Barat mengkhawatirkan bahwa vaksin dengan basis Ad5 dapat meningkatkan kemungkinan infeksi HIV.
Baca juga: Rusia publikasikan data riset vaksin Sputnik V
Baca juga: Vaksin COVID-19 Rusia berfungsi selama dua tahun pada manusia
Baca juga: Meksiko bakal uji 2.000 dosis vaksin COVID-19 buatan Rusia
Dalam sebuah riset pengujian vaksin berbasis Ad5 oleh perusahaan Merck pada 2004, orang dengan imunitas yang sudah terbentuk menjadi lebih rentan terhadap HIV -- virus penyebab sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS).
"Saya akan merasa khawatir tentang penggunaan vaksin-vaksin itu di negara manapun, atau masyarakat manapun, yang mempunyai risiko HIV, dan itu termasuk pula negara ini," kata dr. Larry Corey, pimpinan Jaringan Pencegahan Vaksin Virus Corona di Amerika Serikat, yang juga pemimpin riset Merck 2004.
Bagaimanapun, Rusia berulang kali meyakinkan bahwa Sputnik V--yang merupakan vaksin COVID-19 pertama di dunia yang mengantongi izin dari otoritas kesehatan negaranya--terbukti aman, setidaknya berdasarkan hasil dua tahapan uji klinis.
Pemimpin Eksekutif Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) Kirill Dmitriev, dalam pemaparan media yang sama pada Jumat, balik mempertanyakan vaksin COVID-19 negara-negara Barat yang dikembangkan dengan basis MMR (gondong, campak, rubella) dan chimpanzee adenovirus (ChAd).
"Sekarang kami menanyakan satu hal kepada perusahaan farmasi Barat: dapatkah anda menunjukkan kepada masyarakat riset jangka panjang mengenai keamanan ... efek samping dari platform vaksin yang sepenuhnya baru anda kembangkan?" ujar Dmitriev.
Baca juga: Pejabat Rusia: Barat akui persetujuan vaksin COVID-19 Rusia tepat
Baca juga: Dubes: Lembaga Dana Investasi Rusia tawarkan Sputnik V ke Indonesia
Menurut dr. Denis Logunov, Wakil Direktur Kinerja Ilmiah di Institut Gamaleya, pihaknya telah mendengar komentar tersebut, namun menyebut bahwa tidak ada alasan ilmiah atas hal itu.
"Riset tersebut tak lain hanyalah berita bohong," kata Logunov yang berbicara dari Moskow, Rusia, dalam pemaparan media secara virtual yang diikuti ANTARA di Jakarta, Jumat malam."Manusia memang terinfeksi oleh adenovirus, tetapi tidak ada satu pihak pun yang dapat membuktikan bahwa orang yang terinfeksi adenovirus sebelumnya menjadi lebih sensitif terhadap HIV. Vektor adenovirus sangat aman," ujar dia menambahkan.
Rusia mengembangkan Sputnik V berdasarkan platform human adenovirus--virus penyebab penyakit infeksi mirip flu--dengan menggunakan dua komponen, yaitu serotipe adenovirus 26 (Ad26) dan serotipe adenovirus 5 (Ad5).
Dikutip dari laporan Reuters akhir Agustus lalu, sejumlah ilmuwan Barat mengkhawatirkan bahwa vaksin dengan basis Ad5 dapat meningkatkan kemungkinan infeksi HIV.
Baca juga: Rusia publikasikan data riset vaksin Sputnik V
Baca juga: Vaksin COVID-19 Rusia berfungsi selama dua tahun pada manusia
Baca juga: Meksiko bakal uji 2.000 dosis vaksin COVID-19 buatan Rusia
Dalam sebuah riset pengujian vaksin berbasis Ad5 oleh perusahaan Merck pada 2004, orang dengan imunitas yang sudah terbentuk menjadi lebih rentan terhadap HIV -- virus penyebab sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS).
"Saya akan merasa khawatir tentang penggunaan vaksin-vaksin itu di negara manapun, atau masyarakat manapun, yang mempunyai risiko HIV, dan itu termasuk pula negara ini," kata dr. Larry Corey, pimpinan Jaringan Pencegahan Vaksin Virus Corona di Amerika Serikat, yang juga pemimpin riset Merck 2004.
Bagaimanapun, Rusia berulang kali meyakinkan bahwa Sputnik V--yang merupakan vaksin COVID-19 pertama di dunia yang mengantongi izin dari otoritas kesehatan negaranya--terbukti aman, setidaknya berdasarkan hasil dua tahapan uji klinis.
Pemimpin Eksekutif Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) Kirill Dmitriev, dalam pemaparan media yang sama pada Jumat, balik mempertanyakan vaksin COVID-19 negara-negara Barat yang dikembangkan dengan basis MMR (gondong, campak, rubella) dan chimpanzee adenovirus (ChAd).
"Sekarang kami menanyakan satu hal kepada perusahaan farmasi Barat: dapatkah anda menunjukkan kepada masyarakat riset jangka panjang mengenai keamanan ... efek samping dari platform vaksin yang sepenuhnya baru anda kembangkan?" ujar Dmitriev.
Baca juga: Pejabat Rusia: Barat akui persetujuan vaksin COVID-19 Rusia tepat
Baca juga: Dubes: Lembaga Dana Investasi Rusia tawarkan Sputnik V ke Indonesia