Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pendapatan negara dari PPh Badan berpotensi hilang sebesar Rp1,26 triliun akibat aturan "diskon rokok".
Aturan "diskon rokok" diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017 yaitu harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen diperbolehkan 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai.
“Jika perusahaan jual 85 persen ada potensi penerimaan PPh Badan hilang Rp1,26 triliun,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Tauhid mengatakan melalui peraturan tersebut konsumen bisa mendapatkan harga yang lebih murah hingga 15 persen dari tarif yang tertera dalam banderol.
Tak hanya itu, ia menuturkan produsen juga dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol dengan syarat dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh DJBC.
“HJE di bawah ini praktiknya banyak terjadi di kota-kota jadi tentu akan merugikan pabrik kecil dan merusak pasar antar golongan terutama golongan bawah akan merusak pasar di bawahnya,” jelasnya.
Terlebih lagi, menurut Tauhid, keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif cukai rokok dengan rata-rata naik 23 persen serta HJE naik 35 persen pada awal 2020 tidak akan menutup potensi kerugian negara itu.
“Kita memang baru menggunakan baseline 2019 tapi kenaikan harga rokok pada 2020 tidak menjamin potensi kerugian negara dari PPh ini diselesaikan,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mengatakan potensi hilangnya penerimaan PPh Badan akibat "diskon rokok" dengan tarif HJE 2020 adalah Rp2,6 triliun.
Perkiraan itu berdasarkan hitungan stimulasi menggunakan data kajian Indef pada 2019 yang menyatakan potensi hilangnya PPh Badan dari kebijakan diskon rokok Rp1,73 triliun ditambah kenaikan rata-rata HJE segmen SKM dan SPM sebesar 52,1 persen.
“Ini baseline perhitungan Indef ditambah kenaikan rata-rata HJE untuk segmen rokok SPM (Sigaret Putih Mesin) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin),” ujarnya.
Ia menyatakan jika hal tersebut tidak segera ditangani maka akan menurunkan jumlah industri beserta tenaga kerjanya yang pada akhirnya penerimaan cukai terus merosot.
“Jumlah industri turun drastis dan tenaga kerja kurang sehingga penerimaan cukai semakin berkurang,” katanya.
Di sisi lain, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Oka Kusumawardani menegaskan pemerintah tidak mengeluarkan aturan terkait ‘diskon rokok’.
"Setelah produksi ada distribusi ke wholesales, ritel, baru konsumen. Ini perlu biaya jadi agar berjalan dengan baik harus ada ruang gerak di dalamnya sehingga pemerintah memperbolehkan 85 persen dari HJE,” jelasnya.
Baca juga: Kenaikan cukai rokok tidak efektif tekan jumlah perokok
Baca juga: Bea dan Cukai Kudus ungkap peredaran rokok ilegal
Aturan "diskon rokok" diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017 yaitu harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen diperbolehkan 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai.
“Jika perusahaan jual 85 persen ada potensi penerimaan PPh Badan hilang Rp1,26 triliun,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Tauhid mengatakan melalui peraturan tersebut konsumen bisa mendapatkan harga yang lebih murah hingga 15 persen dari tarif yang tertera dalam banderol.
Tak hanya itu, ia menuturkan produsen juga dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol dengan syarat dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh DJBC.
“HJE di bawah ini praktiknya banyak terjadi di kota-kota jadi tentu akan merugikan pabrik kecil dan merusak pasar antar golongan terutama golongan bawah akan merusak pasar di bawahnya,” jelasnya.
Terlebih lagi, menurut Tauhid, keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif cukai rokok dengan rata-rata naik 23 persen serta HJE naik 35 persen pada awal 2020 tidak akan menutup potensi kerugian negara itu.
“Kita memang baru menggunakan baseline 2019 tapi kenaikan harga rokok pada 2020 tidak menjamin potensi kerugian negara dari PPh ini diselesaikan,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mengatakan potensi hilangnya penerimaan PPh Badan akibat "diskon rokok" dengan tarif HJE 2020 adalah Rp2,6 triliun.
Perkiraan itu berdasarkan hitungan stimulasi menggunakan data kajian Indef pada 2019 yang menyatakan potensi hilangnya PPh Badan dari kebijakan diskon rokok Rp1,73 triliun ditambah kenaikan rata-rata HJE segmen SKM dan SPM sebesar 52,1 persen.
“Ini baseline perhitungan Indef ditambah kenaikan rata-rata HJE untuk segmen rokok SPM (Sigaret Putih Mesin) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin),” ujarnya.
Ia menyatakan jika hal tersebut tidak segera ditangani maka akan menurunkan jumlah industri beserta tenaga kerjanya yang pada akhirnya penerimaan cukai terus merosot.
“Jumlah industri turun drastis dan tenaga kerja kurang sehingga penerimaan cukai semakin berkurang,” katanya.
Di sisi lain, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Oka Kusumawardani menegaskan pemerintah tidak mengeluarkan aturan terkait ‘diskon rokok’.
"Setelah produksi ada distribusi ke wholesales, ritel, baru konsumen. Ini perlu biaya jadi agar berjalan dengan baik harus ada ruang gerak di dalamnya sehingga pemerintah memperbolehkan 85 persen dari HJE,” jelasnya.
Baca juga: Kenaikan cukai rokok tidak efektif tekan jumlah perokok
Baca juga: Bea dan Cukai Kudus ungkap peredaran rokok ilegal