Magelang (ANTARA) - Pandemi virus corona jenis baru (CODID-19) menjangkiti berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan memakan korban yang tidak sedikit.

Tepat satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu telah membunuh jutaan orang.

Di Hindia Belanda (kini Indonesia), pandemi itu kemungkinan besar terbawa melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang ataupun kargo.

Pemerintah Hindia Belanda mencatat virus ini pertama kali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura lalu menyebar lewat Sumatera Utara.

Mengutip Historia.id, ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan. Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu, perhatian pemerintah terfokus penanganan penyakit-penyakit menular lain, seperti kolera, pes, dan cacar.

Beberapa surat kabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya. Aneta misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya.

Sin Po menulis, "Ini penyakit lagi sedang hebatnya mengamuk di seantero negeri, sekalipun tiada begitu berbahaya seperti kolera atau pes". Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda, bahkan sempat salah kaprah  menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera.

Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD mengadakan vaksinasi kolera di setiap daerah. Kesalahan penanganan itu, menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.

Pewarta Soerabaia mencatat, hingga pertengahan Juli 1918, Flu Spanyol menjangkiti 70 polisi di Jawa dan membunuh 10 orang Tionghoa di Medan.

Beberapa perusahaan di Surabaya harus mengurangi produksi karena lebih dari separuh jumlah karyawannya tidak dapat masuk kerja karena terkena Flu Spanyol.  

Seluruh rumah sakit mendadak kebanjiran pasien sampai harus menolak banyak pasien karena keterbatasan kamar.

Para dokter tidak mampu berbuat banyak lantaran mayoritas dari mereka belum pernah melihat gejala penyakit seperti itu. Mereka hanya bisa merekomendasikan kina dan aspirin untuk menurunkan panas sang pasien.

Laporan BGD pada 1920 menyebutkan, “Seluruh desa di Hindia Olanda hampir tidak ada yang tidak terinfeksi oleh penjakit flu."

Laporan itu menggambarkan tentang pintu rumah tertutup. Jalan-jalan begitu lengang. Anak-anak menangis di dalam rumah karena merasa lapar dan haus. Banyak binatang bahkan meninggal kelaparan. Hari-hari tersebut sangat penuh dengan kesengsaraan.

Menurut data mortalitas dalam Handelingen van den Volksraad pada 1918, pada November 1918 sebanyak 9.956 orang meninggal karena kolera, 909 karena cacar, 733 karena pes. Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah korban Flu Spanyol pada bulan yang sama, 402.163 jiwa.

Di Magelang wabah Flu Spanyol mulai merebak pada Oktober 1918 di Onderafdeeling Krasak (sekitar Salaman) lalu terus masuk menjangkiti Afdeeling Magelang pada November 1918.
  Bekas Kantor Pengendalian Penyakit Pes Kotapraja Magelang di Jln. Pahlawan Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang. (ANTARA/HO-Koleksi Bagus Priyana)

Chandra Gusta Wisnuwardana mencatat berdasarkan kisah R. Slamet Iman Santoso, saksi mata pecahnya pagebluk Flu Spanyol, puncak wabah berlangsung selama tiga minggu dengan ratusan orang sakit dan puluhan meninggal dunia.

Total korban jiwa di Afdeeling Magelang selama tujuh minggu Flu Spanyol mencapai 947 orang, sedangkan di Onderafdeeling Krasak 1.788 korban.

Evakuasi dan perpindahan warga dari pusat pemerintahan ke pinggiran bukan satu-satunya dampak yang dirasakan masyarakat dan pemerintah kolonial di Magelang.

Bidang pelayanan masyarakat pun ikut terkena imbasnya. Jumlah pegawai pemerintahan, baik dari korps Indlandsch Bestuur (pegawai pangreh praja) maupun Binnenlandsch Bestuur (pegawai Eropa) yang cuti bekerja karena terpapar virus Flu Spanyol, kian bertambah antara 1919-1920. Tak kurang 406 pegawai pemerintah cuti karena pagebluk.

Surat kabar De Preanger Bode yang terbit 19 November 1918 melaporkan korban meninggal pertama di Kotapraja Magelang adalah seorang ajudan letnan Eropa bernama Van der Goes. Ia meninggal secara mendadak pada 17 November.

Flu ini kemudian menyebar dengan cepat ke tempat-tempat di mana banyak orang tinggal dalam satu lingkungan yang sama, termasuk di Panti Asuhan Johannes van der Steur di Meteseh.

Ratusan anak dilaporkan terpapar virus H1N1 ini dan beberapa dari mereka meninggal dunia. Bahkan, Johannes van der Steur terkena juga, namun bisa pulih.

Laporan surat kabar Het niews van den dag voor Nederlandsch-Indie pada 9 Juli 1919 menyebutkan keuangan panti asuhan ini sudah sangat menipis. Yayasan ini tidak sanggup lagi membiayai 532 anak yang tinggal di panti serta 49 anak yang tinggal di luar panti.

Flu Spanyol yang merenggut banyak korban di panti asuhan milik van der Steur membuat pengeluaran membengkak sehingga subsidi dari pemerintah tidak mencukupi lagi.

Wabah pes pernah terjadi di Magelang pada 1933 meskipun kasus pertama kali di Hindia Belanda terjadi pada 2 Juli menimpa kuli asal Tiongkok di perkebunan Deli, Sumatera Utara pada 1905 dan mewabah di Jawa pada 1911-1916.

Pes atau sampar adalah zoonosis, penyakit yang penyebarannya dari hewan ke manusia. Penyakit ini berasal dari bakteri yang hidup di kutu-kutu tikus. Bakteri dari tikus inilah yang menular ke manusia.

Mengutip majalah Magelang Vooruit edisi November 1935 bahwa pada 1933 terjadi 21 kasus, pada 1934 terjadi 42 kasus di antara 50-55 ribu jiwa. Para penderita diperiksa di laboratorium dengan dua mantri.

Wabah pneumonia juga pernah terjadi. Penyakit ini pernah didiagnosis terjadi tujuh kasus pada 1933 dan tiga kasus pada 1934. Pada 1935 juga ada kasus kecil tetapi di luar Kotapraja Magelang, yakni di Mertoyudan.

Untuk pengontrolan wabah pes, pihak Kotapraja Magelang melalui dinas terkait melakukan pemeriksaan ke semua rumah di kampung-kampung, baik yang sudah ada atau sedang dibangun.

Tuntutan yang dibuat oleh Layanan Pengendalian Hama --salah satu tugas Layanan Kesehatan Masyarakat-- didasarkan pada pengalaman selama 20 tahun dan pada penelitian eksperimental.

Sebelumnya, pada 1920-an, pemerintah Gemeente Magelang mendirikan barak pes (pest-barakken) di Kampung Beliksari Potrobangsan. Barak ini untuk mengarantina para penderita penyakit pes.

Dari peta Stadskaart Magelang pada 1924 didapatkan adanya 11 barak yang didirikan. Saat ini, tempat tersebut sudah menjadi pemukiman padat. Yang tersisa sebuah bangunan yang menjadi bekas kantor pengendalian penyakit pes di Jalan Pahlawan Kelurahan Potrobangsan.

Berawal dengan maraknya wabah di wilayah Staadsgemeente Magelang pada awal 1930-an, pemerintah kota mulai memberi perhatian lebih kepada tata perumahan warga. Langkah itu untuk menghentikan pandemi pes akibat buruknya sanitasi lingkungan dan padatnya pemukiman.

Antara 1936-1937, seorang arsitek yang sudah banyak berkarya di kota-kota besar lain di Jawa, Ir. Herman Thomas Karsten membantu pemerintah kota menata kawasan barat kota Magelang untuk dijadikan kawasan perumahan murah dan sehat yang bernama “Kewarasan” atau “Kawarasan” yang berasal dari kata “waras”, artinya sehat.

Di lain pihak, menyikapi kondisi masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan, pihak Zending membuka layanan klinik kesehatan.

Dikutip dari Zendingsziekenhuis te Magelang Verslag tahun 1932-1933, klinik ini didirikan di bekas rumah seorang Mayor Cina yang kemudian diubah menjadi klinik Eropa.

Setelah beroperasi selama beberapa tahun, dilakukanlah beberapa renovasi sebelum dapat digunakan sebagai rumah sakit.

Di semua bangunan tersedia saluran air, sanitasi, dan listrik. Secara resmi rumah sakit ini beroperasi pada 26 Mei 1932. Kini tempat itu dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Daerah Tidar.

Sekitar 200 tahun sebelumnya, di Magelang ditempatkan mantri cacar, dokter bedah, dan ahli kesehatan yang melayani masyarakat se-wilayah Kedu.

Hal ini dikarenakan pada 1817 di wilayah Kedu pernah terjadi wabah cacar. Dari jumlah penduduk sekitar 280.000 jiwa, yang meninggal akibat cacar 2.152 orang.

Pada 1821 di daerah Kedu timbul wabah kolera morbus dari Semarang, tetapi masyarakat Magelang telah mendapatkan vaksinasi untuk pencegahan.

Berbagai wabah dari masa ke masa membuktikan bahwa penyakit tidak mengenal zaman, wilayah, golongan, strata sosial, jenis kelamin, dan lainnya.

Penyakit bisa menyerang siapa saja, bahkan dokter dan petugas kesehatan. Hal yang diperlukan adalah kewaspadaan diri dan lingkungan dengan menjaga kesehatan sebaik mungkin. (hms).

*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
 
Baca juga: Kota Magelang bentuk satgas pencegahan COVID-19 hingga RT/RW
Baca juga: Tangani COVID-19, Pemkot Magelang alokasikan Rp45 miliar
Baca juga: Pemerintah Kota Magelang perpanjang masa siswa belajar di rumah
 

Pewarta : Bagus Priyana *)
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024