Semarang (ANTARA) - SMK Negeri (SMKN) Jateng menerapkan pendidikan yang disiplin kepada para siswa, namun tidak ada perundungan (bullying) baik dari guru ke siswa atau antarsiswa.

Tidak adanya bullying tersebut disampaikan oleh para siswa di antaranya oleh Romie Zainurrokhman dan Aningtyas yang bersekolah di SMKN Jateng Kampus I Semarang.

Baca juga: Lulusan SMKN Jateng langsung kerja dan diangkat jadi pegawai tetap

"Di sini disiplin sekali, namun tidak ada bullying. Waktu pertama kali jauh orang tua, saya merasa kangen. Apalagi pertama disuruh bangun pagi-pagi sekali, saya belum biasa. Saya nangis, tapi saya samarkan saat mandi. Biar tidak ketahuan," kenang Romie, siswa asal Banyumas itu sambil tersenyum.

Baca juga: Kepala SMKN & camat jadi pejabat eselon II Pemprov Jateng

Romie mengaku sempat berpikir untuk berhenti, namun karena keinginan untuk menaikkan perekonomian keluarga dengan berhasil lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan, menjadikannya terus bertahan apalagi bersekolah di SMK Negeri Jateng tidak membayar sepeser pun.

"Dulu sempat berpikir berhenti. Tapi saya ingat, tujuan saya kemari untuk sekolah dan membantu orang tua saya yang hanya buruh. Maka dari itu saya lanjut sampai kelas XII. Sekarang sudah mau lulus," kata Romie.

Kini, tambah Romie, dirinya tengah fokus belajar dan bersungguh-sungguh untuk mengikuti seleksi untuk tes masuk perusahaan agar cita-citanya membantu perekonomian orang tua dapat terwujud. 

Baca juga: 2020, Jateng gratiskan SPP SMAN/SMKN/SLBN

Hal sama disampaikan Aningtyas yang menilai pendidikan disiplin di SMKN Jateng memiliki tujuan mulia yakni melatih kedisiplinan dan melatih jiwa korsa atau kebersamaan.

"Sekolah menerapkan sistem semimiliter tentu ada tujuannya yakni untuk melatih kedisiplinan siswa dan melatih jiwa korsa," kata Tyas.

Tyas mengaku bersyukur bisa sekolah di SMKN Jateng karena harus bersaing dengan ribuan pendaftar sedangkan, murid yang diterima di Kampus I Semarang hanya 120 orang per tahun ajar. Selain itu, calon siswa mesti melalui serangkaian seleksi, termasuk tes tertulis dan kunjungan rumah untuk menentukan yang bersangkutan benar-benar warga tak mampu.

"Awalnya saya pesimistis karena yang mendaftar kan ribuan. Bayangkan saingan dengan orang sebanyak itu. Tapi Alhamdulillah, berkat dukungan dari orang tua dan belajar terus, saya bisa masuk ke sini (SMK Negeri Jateng),"kata Tyas.

Rasa bersyukur Tyas dapat sekolah di SMKN Jateng karena sekolah gratis, sehingga tidak menjadi beban orang tuanya yang penghasilan per bulannya Rp1,4 juta dan uang tersebut untuk biaya hidup serta sekolah adiknya.

"Ayah buruh tani, ibu cuma bantu-bantu ayah. Kalau penghasilannya sebulan itu cuma sekitar Rp1,4 juta sebulan. Kalau buat makan saja cukup. Tapi jika ditambah kebutuhan sekolah ya mungkin ngepas," cerita Tyas.(Kom)

 

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024