Semarang (ANTARA) - Pada tanggal 23 September 2020, tercatat 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) bakal menggelar pemilihan kepala daerah. Hajatan demokrasi tentunya memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
Jika menilik naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), biaya untuk memilih pemimpin secara langsung oleh rakyat kurang lebih Rp10 triliun. Belum lagi, persoalan keamanan. Dalam hal ini Pemerintah ekstra keras menjaga stabilitas keamanan agar menumbuhkan rasa aman masyarakat di tengah kontestasi pilkada.
Belakangan ini muncul wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Masalahnya, pilkada selama ini tidak saja menghabiskan anggaran yang besar dalam penyelenggaraannya, tetapi juga menimbulkan biaya politik yang relatif besar bagi peserta pilkada. Bahkan, tidak jarang setelah beberapa bulan menjabat sebagai kepala daerah, terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Iqbal Wibisono: Pemilihan kepala daerah via DPRD tak langgar UUD
Wacana itu mengandung konsekuensi bahwa DPR bersama Presiden perlu merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Namun, sebaiknya tidak semua daerah melalui lembaga legislatif ketika memilih kepala daerah/wakil kepala daerah. Ada pula daerah yang tetap bisa melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dengan istilah "pemilihan umum kepala daerah" atau disingkat "pemilukada".
Dengan demikian, ada daerah yang rakyatnya bisa langsung memilih calon pemimpin, ada pula daerah yang menyerahkan pemilihan pimpinan daerah kepada wakil rakyat di lembaga legislatif di masing-masing daerah. Apalagi, pemilihan melalui DPRD ini tidak melanggar konstitusi.
Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Secara eksplisit tidak menyebutkan harus pemilihan langsung oleh rakyat.
Dalam revisi UU Pilkada kelak perlu ada ketentuan mengenai daerah mana saja yang memenuhi syarat menyelenggarakan pemilukada atau sebaliknya melalui DPRD. Di sinilah perlu pemetaan daerah mana yang rawan konflik atau daerah mana yang aman dalam pelaksanaan pemilukada.
Oleh karena itu, Polri dan Kementerian Dalam Negeri perlu memetakan daerah mana saja yang berpotensi rawan konflik seawal mungkin. Data ini sangat penting guna menentukan daerah mana saja yang layak menyelenggarakan pemilukada atau pemilihan pimpinan daerah melalui DPRD atau frasanya "pemilihan kepala daerah" disingkat pilkada.
Agar usia UU Pilkada kelak ini relevan sepanjang masa, perlu klausul yang menganulir daerah yang pelaksanaan pemilukada rusuh. Sebaliknya, daerah yang semula rawan, bisa menyelenggarakan pemilukada atau rakyat yang akan menentukan pemimpinnya.
Baca juga: Presiden: Pilkada tetap melalui pemilihan langsung
Jika menilik naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), biaya untuk memilih pemimpin secara langsung oleh rakyat kurang lebih Rp10 triliun. Belum lagi, persoalan keamanan. Dalam hal ini Pemerintah ekstra keras menjaga stabilitas keamanan agar menumbuhkan rasa aman masyarakat di tengah kontestasi pilkada.
Belakangan ini muncul wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Masalahnya, pilkada selama ini tidak saja menghabiskan anggaran yang besar dalam penyelenggaraannya, tetapi juga menimbulkan biaya politik yang relatif besar bagi peserta pilkada. Bahkan, tidak jarang setelah beberapa bulan menjabat sebagai kepala daerah, terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Iqbal Wibisono: Pemilihan kepala daerah via DPRD tak langgar UUD
Wacana itu mengandung konsekuensi bahwa DPR bersama Presiden perlu merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Namun, sebaiknya tidak semua daerah melalui lembaga legislatif ketika memilih kepala daerah/wakil kepala daerah. Ada pula daerah yang tetap bisa melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dengan istilah "pemilihan umum kepala daerah" atau disingkat "pemilukada".
Dengan demikian, ada daerah yang rakyatnya bisa langsung memilih calon pemimpin, ada pula daerah yang menyerahkan pemilihan pimpinan daerah kepada wakil rakyat di lembaga legislatif di masing-masing daerah. Apalagi, pemilihan melalui DPRD ini tidak melanggar konstitusi.
Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyebutkan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Secara eksplisit tidak menyebutkan harus pemilihan langsung oleh rakyat.
Dalam revisi UU Pilkada kelak perlu ada ketentuan mengenai daerah mana saja yang memenuhi syarat menyelenggarakan pemilukada atau sebaliknya melalui DPRD. Di sinilah perlu pemetaan daerah mana yang rawan konflik atau daerah mana yang aman dalam pelaksanaan pemilukada.
Oleh karena itu, Polri dan Kementerian Dalam Negeri perlu memetakan daerah mana saja yang berpotensi rawan konflik seawal mungkin. Data ini sangat penting guna menentukan daerah mana saja yang layak menyelenggarakan pemilukada atau pemilihan pimpinan daerah melalui DPRD atau frasanya "pemilihan kepala daerah" disingkat pilkada.
Agar usia UU Pilkada kelak ini relevan sepanjang masa, perlu klausul yang menganulir daerah yang pelaksanaan pemilukada rusuh. Sebaliknya, daerah yang semula rawan, bisa menyelenggarakan pemilukada atau rakyat yang akan menentukan pemimpinnya.
Baca juga: Presiden: Pilkada tetap melalui pemilihan langsung