Jakarta (ANTARA) - Politikus Golkar Markus Nari yang juga anggota DPR 2009-2014 didakwa mendapat keuntungan 1,4 juta dolar AS dari proyek KTP elektronik (KTP-e).
"Terdakwa Markus Nari selaku anggota DPR 2009-2014 melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum yaitu mempengaruhi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP elektronik) Tahun Anggaran 2011-2013 sehingga memperkaya terdakwa sebesar 1,4 juta dolar AS dan merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ahmad Burhanuddin di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPK sita Toyota Land Cruiser milik Markus Nari
Pada 2011, Kementerian Dalam Negeri melaksanakan proyek KTP-e yang dikerjakan konsorsium PNRI yang beranggotakan Perum Percetakan Negara RI (PNRI), PT Sandipala Artha Putra, PT LEN Industri, PT Sucofindo dan PT Quadra Solution.
Namun, pelaksanaan proyek tersebut dilakukan secara melawan hukum yaitu pada Juni 2010-Februari 2011 dilaksaknakan pertemuan untuk mempersiapkan proyek tersebut baik secara teknis maupun non-teknis meski belum ada persetujuan anggaran.
Pertemuan itu dilakukan oleh Andi Agustinus Als Andi Narogong, Husni Fahmi (tim Teknis dari BPPT) dan para Vendor yang kemudian disebut sebagai Tim Fatmawati terkait spesifikasi teknis dan price list dengan perkiraan harga merujuk pada produk-produk tertentu.
Selanjutnya disepakati pula akan dibentuk Konsorsium PNRI, Konsorsium Astragraphia, dan Konsorsium Murakabi serta proses pelelangan akan diarahkan untuk memenangkan salah satu konsorsium yaitu Konsorsium PNRI.
Panitia Pengadaan tetap meluluskan konsorsium yang terafiliasi dengan Andi Agustinus yakni Konsorsium PNRI dan Konsorsium Astaprahpia dalam tahap evaluasi administrasi meskipun tidak dapat melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 dalam dokumen penawarannya.
"Terdapatnya komitmen pemberian fee sebagaimana disepakati oleh Andi Agustinus Als Andi Narogong dengan Setya Novanto agar dibantu dalam pengurusan anggaran proyek KTP elektronik, dengan besaran 5 persen untuk anggota DPR RI diambil dari PT Quadra Solution milik Anang Sugiana Sudiharjo dan 5 persen untuk pejabat Kemendagri diambil dari Perum PNRI," ungkap jaksa Burhanuddin.
Baca juga: KPK Periksa Elza Syarief Sebagai Saksi Tersangka Markus Nari
Akibat dari proyek KTP-e secara melawan hukum itu mengakibatkan Konsorsium PNRI tidak dapat melaksanakan kewajiban sesuai kontrak, yakni sampai dengan akhir 2011 konsorsium PNRI tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak yakni belum merealisasikan pekerjaan pengadaan blangko KTP elektronik sebanyak 65.340.367 keping dengan nilai Rp1,045 triliun dari target 67.015.400 keping KTP elektronik.
"Oleh karena itu untuk menyelesaikan kekurangan pekerjaan tersebut dibutuhkan penganggaran kembali sebesar Rp1,045 triliun dan diperlukan adanya perpanjangan waktu," tambah jaksa.
Pada akhir Maret 2012, Markus bersama timnya melakukan kunjungan kerja ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Kalibata terkait pelaksanaan KTP-e yang sedang berjalan.
Rombongan menemui Dirjen Dukcapil saat itu Irman dan mengingatkan agar KTP elektronik bersifat multifungsi sehingga dapat terkoneksi dengan perbankan, Imigrasi, KPU dan lainnya.
"Beberapa hari kemudian terdakwa datang kembali menemui Irman di Kantor Ditjen Dukcapil Kemendagri meminta fee proyek KTP elektronik sebesar Rp5 miliar. Irman lalu memanggil Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Sugiharto ke ruang kerjanya meminta agar Sugiharto memberikan uang sebagaimana diminta oleh terdakwa," kata jaksa Burhanuddin.
Uang tersebut kemudian didapat dari Direktur Umum PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo yang memberikan uang 400 ribu dolar AS.
"Keesokan harinya sekitar pukul 09.00 WIB di dekat stasiun TVRI Senayan Jakarta, Sugiharto menyerahkan uang sebesar 400 ribu dolar AS kepada terdakwa, sambil meminta maaf hanya sejumlah itu yang sanggup disediakan. Setelah menyerahkan uang tersebut Sugiharto melaporkan kepada Irman," ungkap jaksa.
Ketika masih dalam pembahasan penganggaran kembali proyek KTP-e sekitar bulan April 2012, Direktur Operasional PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo ditelepon oleh Andi Agustinus untuk datang ke Kafe Pandor Jalan Wijaya Jakarta Selatan.
Pada pertemuan itu Andi Agustinus Als Andi Narogong menyerahkan uang sebesar 1 juta dolar AS kepada Irvanto untuk diberikan kepada Markus Nari dan Melchias Markus Mekeng yang sedang menunggu di ruang kerja Setya Novanto pada Gedung DPR RI guna memuluskan proses usul penganggaran kembali proyek KTP elektronik tersebut.
"Selanjutnya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa bertempat di ruang kerja Setya Novanto pada Gedung DPR RI," tambah jaksa Burhanuddin.
Markus Nari dalam rapat kerja Komisi II DPR pada 27 Juni 2012 lalu ikut menyetujui anggaran proyek KTP-e senilai Rp1,045 triliun, namun ternyata belum dialokasikan pada RAPBN-P Tahun Anggaran 2012
"Karena terdakwa telah menerima fee proyek KTP-e sebesar 1,4 juta dolar AS, terdakwa menyetujui usulan itu untuk ditampung dalam APBN Tahun 2013 meskipun R-APBN tahun 2013 belum disusun dan alokasi anggaran tersebut belum tercantum dalam pagu indikatif tahun anggaran 2013, terlebih lagi saat itu belum ada Rencana Kerja Anggaran-Kementerian Lembaga (RKA-KL) tahun 2013 serta belum ada revisi Peraturan Presiden terkait perpanjangan waktu pelaksanaan KTP-e," ungkap jaksa.
Bahwa setelah melalui tahapan-tahapan pembahasan di DPR RI, pada tanggal 16 November 2012 DPR RI mengesahkan anggaran lanjutan pelaksanaan KTP elektronik sebesar Rp1,045 triliun
Karena adanya praktik-praktik melawan hukum tersebut, Konsorsium PNRI yang diketuai oleh Isnu Edhi Wijaya tetap dapat memperoleh pembayaran proyek KTP elektronik setelah dipotong pajak seluruhnya berjumlah Rp4,917 triliun meskipun tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam kontrak sampai dengan 31 Desember 2013.
"Bahwa uang yang diterima oleh Terdakwa sebesar 400 ribu dolar AS dari Anang Sugiana Sudihardjo melalui Sugiharto dan sebesar 1 juta dolar AS dari Andi Agustinus melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo merupakan bagian dari keuangan negara yang seharusnya untuk membiayai proyek penerapan KTP-e tahun 2011-2013," tambah jaksa.
Atas perbuatannya, Markus Nari juga memperkaya 26 orang dan korporasi lainnya.
Terhadap perbuatan tersebut, Markus Nari didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain didakwa melakukan korupsi, Markus Nari juga didakwa mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Saksi Miryam S. Haryani dan Sugiharto dalam perkara KTP-e.
"Terdakwa Markus Nari selaku anggota DPR 2009-2014 melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum yaitu mempengaruhi proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP elektronik) Tahun Anggaran 2011-2013 sehingga memperkaya terdakwa sebesar 1,4 juta dolar AS dan merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ahmad Burhanuddin di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPK sita Toyota Land Cruiser milik Markus Nari
Pada 2011, Kementerian Dalam Negeri melaksanakan proyek KTP-e yang dikerjakan konsorsium PNRI yang beranggotakan Perum Percetakan Negara RI (PNRI), PT Sandipala Artha Putra, PT LEN Industri, PT Sucofindo dan PT Quadra Solution.
Namun, pelaksanaan proyek tersebut dilakukan secara melawan hukum yaitu pada Juni 2010-Februari 2011 dilaksaknakan pertemuan untuk mempersiapkan proyek tersebut baik secara teknis maupun non-teknis meski belum ada persetujuan anggaran.
Pertemuan itu dilakukan oleh Andi Agustinus Als Andi Narogong, Husni Fahmi (tim Teknis dari BPPT) dan para Vendor yang kemudian disebut sebagai Tim Fatmawati terkait spesifikasi teknis dan price list dengan perkiraan harga merujuk pada produk-produk tertentu.
Selanjutnya disepakati pula akan dibentuk Konsorsium PNRI, Konsorsium Astragraphia, dan Konsorsium Murakabi serta proses pelelangan akan diarahkan untuk memenangkan salah satu konsorsium yaitu Konsorsium PNRI.
Panitia Pengadaan tetap meluluskan konsorsium yang terafiliasi dengan Andi Agustinus yakni Konsorsium PNRI dan Konsorsium Astaprahpia dalam tahap evaluasi administrasi meskipun tidak dapat melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 dalam dokumen penawarannya.
"Terdapatnya komitmen pemberian fee sebagaimana disepakati oleh Andi Agustinus Als Andi Narogong dengan Setya Novanto agar dibantu dalam pengurusan anggaran proyek KTP elektronik, dengan besaran 5 persen untuk anggota DPR RI diambil dari PT Quadra Solution milik Anang Sugiana Sudiharjo dan 5 persen untuk pejabat Kemendagri diambil dari Perum PNRI," ungkap jaksa Burhanuddin.
Baca juga: KPK Periksa Elza Syarief Sebagai Saksi Tersangka Markus Nari
Akibat dari proyek KTP-e secara melawan hukum itu mengakibatkan Konsorsium PNRI tidak dapat melaksanakan kewajiban sesuai kontrak, yakni sampai dengan akhir 2011 konsorsium PNRI tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak yakni belum merealisasikan pekerjaan pengadaan blangko KTP elektronik sebanyak 65.340.367 keping dengan nilai Rp1,045 triliun dari target 67.015.400 keping KTP elektronik.
"Oleh karena itu untuk menyelesaikan kekurangan pekerjaan tersebut dibutuhkan penganggaran kembali sebesar Rp1,045 triliun dan diperlukan adanya perpanjangan waktu," tambah jaksa.
Pada akhir Maret 2012, Markus bersama timnya melakukan kunjungan kerja ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Kalibata terkait pelaksanaan KTP-e yang sedang berjalan.
Rombongan menemui Dirjen Dukcapil saat itu Irman dan mengingatkan agar KTP elektronik bersifat multifungsi sehingga dapat terkoneksi dengan perbankan, Imigrasi, KPU dan lainnya.
"Beberapa hari kemudian terdakwa datang kembali menemui Irman di Kantor Ditjen Dukcapil Kemendagri meminta fee proyek KTP elektronik sebesar Rp5 miliar. Irman lalu memanggil Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Sugiharto ke ruang kerjanya meminta agar Sugiharto memberikan uang sebagaimana diminta oleh terdakwa," kata jaksa Burhanuddin.
Uang tersebut kemudian didapat dari Direktur Umum PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo yang memberikan uang 400 ribu dolar AS.
"Keesokan harinya sekitar pukul 09.00 WIB di dekat stasiun TVRI Senayan Jakarta, Sugiharto menyerahkan uang sebesar 400 ribu dolar AS kepada terdakwa, sambil meminta maaf hanya sejumlah itu yang sanggup disediakan. Setelah menyerahkan uang tersebut Sugiharto melaporkan kepada Irman," ungkap jaksa.
Ketika masih dalam pembahasan penganggaran kembali proyek KTP-e sekitar bulan April 2012, Direktur Operasional PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo ditelepon oleh Andi Agustinus untuk datang ke Kafe Pandor Jalan Wijaya Jakarta Selatan.
Pada pertemuan itu Andi Agustinus Als Andi Narogong menyerahkan uang sebesar 1 juta dolar AS kepada Irvanto untuk diberikan kepada Markus Nari dan Melchias Markus Mekeng yang sedang menunggu di ruang kerja Setya Novanto pada Gedung DPR RI guna memuluskan proses usul penganggaran kembali proyek KTP elektronik tersebut.
"Selanjutnya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa bertempat di ruang kerja Setya Novanto pada Gedung DPR RI," tambah jaksa Burhanuddin.
Markus Nari dalam rapat kerja Komisi II DPR pada 27 Juni 2012 lalu ikut menyetujui anggaran proyek KTP-e senilai Rp1,045 triliun, namun ternyata belum dialokasikan pada RAPBN-P Tahun Anggaran 2012
"Karena terdakwa telah menerima fee proyek KTP-e sebesar 1,4 juta dolar AS, terdakwa menyetujui usulan itu untuk ditampung dalam APBN Tahun 2013 meskipun R-APBN tahun 2013 belum disusun dan alokasi anggaran tersebut belum tercantum dalam pagu indikatif tahun anggaran 2013, terlebih lagi saat itu belum ada Rencana Kerja Anggaran-Kementerian Lembaga (RKA-KL) tahun 2013 serta belum ada revisi Peraturan Presiden terkait perpanjangan waktu pelaksanaan KTP-e," ungkap jaksa.
Bahwa setelah melalui tahapan-tahapan pembahasan di DPR RI, pada tanggal 16 November 2012 DPR RI mengesahkan anggaran lanjutan pelaksanaan KTP elektronik sebesar Rp1,045 triliun
Karena adanya praktik-praktik melawan hukum tersebut, Konsorsium PNRI yang diketuai oleh Isnu Edhi Wijaya tetap dapat memperoleh pembayaran proyek KTP elektronik setelah dipotong pajak seluruhnya berjumlah Rp4,917 triliun meskipun tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam kontrak sampai dengan 31 Desember 2013.
"Bahwa uang yang diterima oleh Terdakwa sebesar 400 ribu dolar AS dari Anang Sugiana Sudihardjo melalui Sugiharto dan sebesar 1 juta dolar AS dari Andi Agustinus melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo merupakan bagian dari keuangan negara yang seharusnya untuk membiayai proyek penerapan KTP-e tahun 2011-2013," tambah jaksa.
Atas perbuatannya, Markus Nari juga memperkaya 26 orang dan korporasi lainnya.
Terhadap perbuatan tersebut, Markus Nari didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain didakwa melakukan korupsi, Markus Nari juga didakwa mencegah atau merintangi secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Saksi Miryam S. Haryani dan Sugiharto dalam perkara KTP-e.