Purwokerto (ANTARA) - Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, meluncurkan buku untuk mengenang mantan Rektor UMP yang juga mantan Hakim Agung Mahkamah Agung RI, yakni almarhum Syamsuhadi Irsyad.

Buku berjudul "Hakim Agung Dr. H. Syamsuhadi Irsyad,  M.H. Pengabdiannya di Dunia Peradilan dan Pendidikan" yang merupakan edisi revisi itu disusun oleh H. Soediro, S.H., LL.M. dan Guntur Yanuar Mukti Wibowo.

Saat memberi sambutan peluncuran buku yang digelar di Aula A.K. Anshori, Kantor Pusat UMP, Sabtu siang, Rektor UMP Dr. Anjar Nugroho mengaku memiliki banyak kenangan selama almarhum Syamsuhadi Irsyad memimpin Perguruan Tinggi Muhammadiyah tersebut.

Terkait dengan hal itu, dia pun mengutip tulisan Dale Carnegie dalam bukunya yang berjudul Enhance Your Life By Becoming an Effective Leader.

"Seorang pemikir dan penulis manajemen hebat, Peter Drucker, sebagaimana ditulis oleh Dale Carnegie, dalam bukunya, Enhance Your Life By Becoming an Effective Leader, menyatakan 'Sebagian besar dari apa yang kita sebut manajemen terdiri dari hal-hal yang membuat orang sulit mengerjakan pekerjaan mereka'. Mengapa bisa demikian?
Drucker menjelaskan, banyak orang pada posisi pemimpin atau manajer menghadapi karyawan seakan-akan mereka adalah robot atau alat otomatis, mengharap mereka mengikuti prosedur dengan tepat serta tidak menggunakan inisiatif, kreativitas, dan kekuatan otak mereka sendiri ketika bekerja," katanya. 

Baca juga: Sosok almarhum Syamsuhadi Irsyad di mata wartawan

Menurut dia, para pemimpin begitu terpatok untuk mengikuti peraturan, regulasi, prosedur dan rutinitas, sehingga mereka mengabaikan potensi setiap orang yang bekerja di bawah kepemimpinan mereka. 

"Inilah pemimpin yang akan sulit mengembangkan organisasi karena unsur-unsur dalam organisasi itu tidak berkembang secara humanistik, tapi cenderung mekanik. Akan ada banyak keterpaksaan yang dilakukan oleh sebagian orang dalam melaksanakan perintah-perintah kepemimpinan.
Berbeda dengan apa yang dikatakan Dale Carnegie sebagai pemimpin sejati," katanya. 

Ia mengatakan pemimpin yang demikian memberdayakan orang-orang mereka, bukan mematikan kreativitas mereka. 

Menurut dia, pemimpin mendorong kreativitas dengan cara mengumpulkan gagasan-gagasan orang, baik secara informal melalui kontak sehari-hari maupun secara formal dalam rapat atau kegiatan serupa. 

"Inilah pemimpin yang banyak mendengar daripada memerintah, pemimpin yang banyak mendorong orang untuk mengeluarkan banyak ide kreatif dan melaksanakan idenya sendiri itu dengan sukarela," katanya.

Lebih lanjut, Anjar mengaku kurang lebih 12 tahun bersama Syamsuhadi Irsyad, delapan tahun di antaranya mendampingi sebagai Wakil Rektor UMP memberikan cacatan tersendiri. 

Menurut dia, apa yang secara teoritis disampaikan Dale Carnegie, secara faktual muncul dalam keseharian almarhum saat sebagai Rektor. 

Baca juga: Ketum PP Muhammadiyah kehilangan sosok Syamsuhadi Irsyad

"Pemimpin yang dituntut untuk menggerakkan seluruh potensi dan kekuatan dalam universitas, beliau lakukan dengan tidak memberi perintah langsung. Yang disentuh oleh beliau adalah kesadaran individu masing-masing komponen untuk bergerak, sehingga kami dalam melakukan sesuatu, apapun itu, merasa sangat ringan dan tanpa beban," katanya.

Ia mengatakan menggerakkan tanpa memberi perintah seolah telah menjadi bagian yang menyatu dalam gaya kepemimpinan mendiang Syamsuhadi Irsyad. 

"Kata-kata 'silakan saja' setiap kali kami memberi usulan dan saran kepada beliau bukan sekadar kata basa-basi, tapi secara tidak langsung inilah pendelegasian tugas yang efektif, sehingga siapa pun yang mendapat arahan 'silakan saja' dari beliau, memperoleh energi yang besar untuk melaksanakan tugas sesuai yang diusulkan atau disarankan. 'Silakan saja' itu maknanya bagi kami adalah kami mendapat kepercayaan untuk melaksanakan tugas karena kami dianggap mampu dan bertanggung jawab," katanya.

Ia mengatakan sebagian orang mungkin awalnya salah paham dengan kebiasaan mendiang Syamsuhadi mengatakan "silakan saja" sehingga seolah dianggap sebagai pimpinan yang selalu mengikuti usul apa pun atau pimpinan yang tidak punya pendirian. 

Akan tetapi, kata dia, di sinilah poin tertinggi dalam ranah kepemimpinan, banyak mendengarkan dan mendelegasikan. 

"Siapa pun orangnya akan melakukan apa saja dengan senang hati jika apa yang dilakukan itu adalah berasal dari usul dia. Berbeda keadaan jika yang terjadi adalah pimpinan banyak memberi perintah, hampir bisa dipastikan siapa pun yang mendapat perintah, apalagi dengan kata-kata yang instruktif, akan melaksanakan perintah dengan setengah hati. Perintah yang dilaksanakan dengan setengah hati hasilnya tentu tidak maksimal," katanya.

Anjar kembali mengutip pendapat Hildan Carol yang merupakan ahli tentang kepemimpinan, bahwa seorang pemimpinan adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendorong sejumlah orang untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah atau mencapai tujuan bersama. 

Ia mengatakan dari pengertian tersebut dan berdasarkan implementasinya di lapangan akan terlihat dua dimensi fungsi, yaitu pertama, dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan dalam mengarahkan (direction ability), dan kedua, berkenaan tingkat dukungan atau support atau keterlibatan orang yang dipimpin. 

"Dimensi dalam direction ability dapat dilihat pada kemampuan pemimpin untuk mendorong orang lain agar bekerja. Sementara dimensi support bawahan (dukungan dari orang yang dipimpin) sangat berguna dalam melaksanakan tugas pokok dan ini terlihat dari bentuk kerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah demi mencapai tujuan bersama," katanya.

Ia mengatakan dalam operasionalnya bahwa dimensi kepemimpinan akan terlihat dalam bentuk fungsi dari seorang pemimpin, antara lain fungsi instruktif (memberi perintah), fungsi konsultatif (tempat bertukar pendapat), fungsi partisipatif (pemberian kontribusi untuk mencapai tujuan), fungsi delegasi (pelimpahan beberapa kewenangan kepada anggota), dan fungsi pengendalian. 

Menurut dia, strategi adalah langkah-langkah khusus untuk mencapai sasaran. 

"Seorang pemimpin perlu memiliki strategi untuk mencapai sasarannya. Sekali lagi menurut Carol, bahwa seorang pemimpin perlu peduli untuk membangun 'keterpautan (jembatan) hati' antarsesama anggota. Seorang pemimpin perlu memiliki strategi yang tepat untuk mewujudkan tujuan organisasi. Kesalahan dalam menempatkan strategi akan menimbulkan kegagalan dalam memimpin," katanya.

Anjar mengatakan dari berbagai pengalaman dalam berorganisasi, baik semasa aktif di organisasi saat pelajar/mahasiswa maupun saat menjabat struktural di UMP, mulai dari Pembantu Dekan sampai Wakil Rektor, bahwa "pemimpin yang lebih dominan menggunakan" fungsi instruktif, yaitu serba gemar memerintah "tolong kerjakan ini…, tolong kerjakan itu, jangan lakukan ini…dan jangan lakukan itu" ketimbang menggunakan fungsi konsultatif, fungsi partisipatif, serta fungsi delegatif, cenderung membuatnya menjadi pemimpin bergaya otoriter. 

Menurut dia, hal itu adalah tipe pemimpin yang tidak memberdayakan, tetapi pemimpin yang mengerdilkan.

"Pak Syamsu mungkin saja belum pernah membaca teori kepemimpinannya Hildan Carol, tetapi apa yang ada dalam pikiran Carol sudah dilakukan oleh Pak Syamsu dalam keseharian memimpin. Kepemimpinan yang nyaris tanpa memberi perintah. Tidak ada kata-kata 'tolong kerjakan ini... kerjakan itu .....' Yang selalu ada hanya satu dan itu mengandung kekuatan magic yang luar biasa 'silakan saja...'
Apa yang saya tulis tentang beliau bukan kata-kata bualan, dan tidak ada dalam pikiran sekedar ingin membuat semacam pencitraan atas diri beliau. Tanpa perlu dicitra-citrakan beliau akan tetap punya citra positif, bukan dari pujian orang tapi muncul dari keluhuran beliau sendiri," katanya.

Ia mengatakan pengalaman kepemimpinan yang panjang, baik dari jalur perguruan tinggi maupun karir kehakiman menorehkan sejarah positif dalam setiap tahap kepemimpinan yang dilalui mendiang Syamsuhadi Irsyad. 

Menurut dia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang tampak seperti sekarang ini dengan 13 ribu mahasiswa dan 41 program studi, baik diploma, sarjana, maupun pascasarjana yang sebagiannya terakreditasi A, menempatkan UMP sebagai perguruan tinggi swasta terkemuka, paling tidak di Jawa Tengah adalah berkat tangan dingin mendiang Syamsuhadi dalam memimpin.

Baca juga: Syamsuhadi Irsyad, Rektor UMP tutup usia

"Kami sebagai bagian dari payung besar kepemimpinan beliau tanpa perlu kata-kata instruktif beliau, bergerak dan terus bergerak tanpa lelah karena bukan sesuatu yang melelahkan karena kami bergerak sejalan dengan keinginan hati kami masing-masing. Pernah suatu saat ketika proses pendirian lima prodi S2 (Pendidikan Dasar, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Manajemen, dan Farmasi) menghadapi kendala di Kementerian Ristekdikti, kami menghadap beliau. Kalau melihat persoalan sepertinya kami sudah mentok karena yang menjadi kendala adalah sesuatu yang sangat krusial," katanya.

Ia mengaku jika sebenarnya tidak menghadap dalam rangka meminta saran, tapi justru ingin melapor soal kendala dan berniat ingin mengurungkan niat untuk melanjutkan proses pendirian prodi-prodi itu

"Sekali lagi karena kendala yang dihadapi menurut kami 'sangat krusial'.
Seperti biasa beliau menyimak dengan penuh perhatian penjelasan-penjelasan kami tanpa perlu memotong setiap kami berkata-kata. Pandangannya penuh perhatian seakan tidak ingin ada kata-kata kami yang tidak beliau dengar dan pahami," katanya.

Ia mengatakan sikap seperti itu tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi selalu ditunjukkan oleh mendiang Syamsuhadi selama bertahun-tahun memimpin UMP

Menurut dia, kebiasaan mendengar penuh perhatian dan tidak pernah memotong pembicaraan adalah ciri pemimpin sejati yang selalu memandang orang lain adalah "penting".

"Memotong pembicaraan adalah seolah ingin mengatakan bahwa apa yang akan dikatakan itu lebih penting daripada apa yang sedang disampaikan orang lain, dan ini tidak pernah dilakukan oleh beliau. Selesai kami memberi laporan beliau tidak segera menanggapi, tetapi diam sejenak. Mungkin beliau perlu waktu untuk mencerna dan menangapi apa yang kami sampaikan. Beliau pandang wajah kami satu-satu, dan kami pun larut dalam suasana yang cukup serius itu," katanya.

Ia mengatakan setelah menarik napas panjang, mendiang Syamsuhadi berkata, "Terima kasih kepada Pak Anjar dan tim yang telah bekerja. Kendala itu bisa muncul dalam setiap pekerjaan. Yang penting jangan putus asa. Silakan saja Pak Anjar lanjutkan atau tidak pekerjaan ini. Kalau mau lanjut saya yakin Pak Anjar dan tim bisa melakukannya...".

Menurut dia, tidak ada kata perintah melanjutkan atau menghentikan, tetapi yang muncul kata ampuh "silakan saja". 

"Kata itu ibarat sebuah energi yang sangat besar untuk kami kembali bekerja dan berusaha sampai cita-cita pendirian lima prodi S2 itu terwujud. Tidak sekadar energi yang muncul tetapi pikiran yang sebelumnya mentok menjadi encer kembali dan menemukan titik-titik terang jalan keluar. Alhamdulillah dalam beberapa bulan kemudian empat prodi turun SK pendiriannya (Pendidikan Dasar, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Manajemen), kemudian menyusul satu tahun kemudian SK pendirian S2 farmasi turun. Sungguh kata 'silakan saja' yang sangat ampuh," katanya.

Ia mengatakan itulah sosok Syamsuhadi Irsyad yang telah menjadi orang tua, guru, mentor, dan pemimpin di UMP.

Menurut dia,  filosofi "silakan saja" telah menggerakkan seluruh potensi UMP untuk maju tanpa ada satu pun kata perintah. 

"Beliaulah sosok pemimpin sejati sebagaimana gambaran Peter Drucker, Dale Carnegie maupun Hildan Carol, 'Menggerakkan Tanpa Memerintah," katanya. **

Pewarta : KSM
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024