Dieng Kulon merupakan salah satu desa di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang telah ditetapkan sebagai desa wisata sejak tahun 2007 karena memiliki destinasi wisata berupa candi dan keindahan alam.
Awalnya, kehidupan masyarakat Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, hanya mengandalkan hasil pertanian khususnya tanaman kentang.
Konsep pertanian tradisional yang bersifat turun-menurun itu berdampak pada tidak seimbangnya perekonomian masyarakat Dieng Kulon yang mayoritas hidup sebagai petani.
Dari sisi sarana seperti lahan pertanian kentang, seorang petani yang memiliki lima orang anak akan mewariskan lahannya untuk kelima anaknya dan hal itu berlangsung turun-temurun sehingga luas lahan yang dimiliki petani pun makin lama makin sempit.
Dengan demikian, hasil panen kentang petani yang lahannya sempit tidak sebanyak petani yang lahannya luas. Ditambah lagi dengan harga kentang yang saat itu cenderung mengalami penurunan.
Di sisi lain, banyak pula generasi muda yang enggan menekuni pertanian sehingga banyak pula yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan.
Selain itu, pertanian kentang di Dataran Tinggi Dieng dituding sebagai salah satu penyebab sedimentasi sejumlah sungai termasuk sedimentasi di Waduk Mrica yang dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Panglima Besar Soedirman.
Salah seorang pemuda Desa Dieng Kulon yang saat itu dipercaya sebagai Ketua Karang Taruna, Alif Faozi merasa prihatin atas permasalahan tersebut sehingga dia mencoba melakukan berbagai pembenahan untuk mengungkit perekonomian warga desanya.
"Saat itu, kunjungan wisatawan ke Dieng masih sepi. Pada hari Sabtu dan Minggu paling satu sampai dua mobil," kata Alif.
Oleh karena itu, dia berusaha mencari informasi terkait dengan upaya pengembangan sektor pariwisata yang melibatkan masyarakat.
"Pada tahun 2006 ketika saya menggagas 'community based tourism' atau pengembangan wisata berbasis masyarakat, kunjungan (wisatawan ke Dieng) satu tahun saja hanya sekitar 260.000 orang," katanya.
Dalam perkembangannya, Alif mencoba membuat klaster pariwisata di Dieng Kulon dengan dukungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banjarnegara guna meningkatkan perekonomian masyarakat.
Dari situlah akhirnya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa yang diketuai Alif Faozi terbentuk dan mulai merintis pengembangan Desa Wisata Dieng Kulon. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Desa Dieng Kulon terus dilakukan demi meningkatkan kunjungan wisatawan.
Upaya yang dilakukan di antaranya melakukan pemetaan kunjungan wisatawan yang saat itu kebanyakan wisatawan dari Jakarta ke Yogyakarta dan Borobudur hanya menjadikan Dieng sebagai pelengkap, bukan tujuan utama.
Selain itu, Pokdarwis Dieng Pandawa pun mencoba mengembangkan berbagai makanan khas Dataran Tinggi Dieng maupun kerajinan tangan yang dapat dijadikan sebagai oleh-oleh bagi wisatawan.
Dalam hal ini, Pokdarwis Dieng Pandawa mendampingi delapan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) yang ditekuni warga Dieng Kulon dengan berbagai produk, salah satunya UKM Tri Sakti.
Di samping itu, Pokdarwis Dieng Pandawa mengembangkan "homestay" guna memenuhi kebutuhan akomodasi bagi wisatawan yang menginap di Dieng karena konsep pengembangan pariwisatanya berbasis kemasyarakatan. "'Homestay' dibuat dengan menggunakan kamar di rumah sehingga kami pun harus menganggap wisatawan itu sebagai saudara," kata Alif.
Dengan adanya "homestay", kata dia, lama tinggal wisatawan juga akan bertambah karena sebelum adanya fasilitas tersebut, wisawatan akan segera meninggalkan Dieng setelah seharian mengunjungi sejumlah destinasi.
Kegiatan usaha "homestay" di Dieng Kulon yang sebelumnya hanya lima rumah, sekarang sudah mencapai lebih dari 200 rumah dan dicontoh oleh warga di desa-desa lain sekitar Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng.
Seiring dengan berkembangnya desa wisata di Dieng Kulon, masyarakat setempat saat sekarang lebih banyak menggeluti usaha di bidang industri pariwisata karena pendapatan yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil pertanian kentang yang harganya fluktuatif dan sangat tergantung pada kondisi cuaca.
Dengan demikian, sektor pertanian yang semula menjadi mata pencaharian utama sebagian besar warga Dieng Kulon, saat ini justru menjadi usaha sampingan meskipun mereka tetap berstatus sebagai petani.
Berdasarkan data Pokdarwis Dieng Pandawa, pendapatan bulanan rata-rata warga Dieng Kulon yang mengelola "homestay" saat ini sudah mencapai lebih dari Rp4 juta per "homestay", pelaku UKM makanan khas Dieng rata-rata sebesar Rp25 juta/UKM, dan pemandu wisata sebesar Rp3 juta/orang.
Sementara pendapatan usaha sampingan seperti kerajinan tangan rata-rata sebesar Rp1,5 juta/orang dan kegiatan seni budaya rata-rata Rp4 juta/kelompok.
"Itu belum termasuk usaha lainnya. Bahkan jika ada kegiatan besar seperti agenda wisata tahunan berupa 'Dieng Culture Festival', pendapatan yang diperoleh akan lebih besar lagi," kata Alif.
Ia mengatakan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Pokdarwis Dieng Pandawa bersama sejumlah pakar ekonomi atas perintah Gubernur Jawa Tengah, perputaran uang di Dieng Kulon selama tiga hari pergelaran "Dieng Culture Festival IX Tahun 2018", 3-5 Agustus, hampir mencapai Rp60 miliar.
Menurut dia, pergelaran "Dieng Culture Festival IX Tahun 2018" didatangi sekitar 160.000 wisatawan dari berbagai daerah dan berdasarkan kuisioner yang disebar ke sejumlah pengunjung rata-rata mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per hari.
"Masyarakat sangat merasakan perputaran uang selama penyelenggaraan kegiatan tersebut," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Kabupaten Banjarnegara Dwi Suryanto mengatakan pihaknya terus mengembangkan desa wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Menurut dia, penetapan desa wisata itu berorientasi pada beberapa hal di antaranya desa yang dekat dengan daya tarik wisata seperti berada di sekitar Kawasan Wisata Dataran Tinggi (KWDT) Dieng yang saat ini telah ada empat desa wisata dan akan dikembangkan menjadi delapan desa wisata.
"Desa yang berdekatan dengan daya tarik wisata harapannya bisa mengambil manfaat dengan adanya daya tarik wisata yang dekat dengan wilayah masing-masing. Orientasi lainnya adalah desa yang memiliki daya tarik wisata sendiri, memiliki daya tarik budaya, dan memiliki keunikan tersendiri," katanya.
Dia mengharapkan dengan adanya penetapan desa wisata akan menumbuhkan perekonomian masyarakat desa tersebut maupun daerah sekitarnya termasuk menumbuhkembangkan ekonomi kreatif warga setempat.
Awalnya, kehidupan masyarakat Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, hanya mengandalkan hasil pertanian khususnya tanaman kentang.
Konsep pertanian tradisional yang bersifat turun-menurun itu berdampak pada tidak seimbangnya perekonomian masyarakat Dieng Kulon yang mayoritas hidup sebagai petani.
Dari sisi sarana seperti lahan pertanian kentang, seorang petani yang memiliki lima orang anak akan mewariskan lahannya untuk kelima anaknya dan hal itu berlangsung turun-temurun sehingga luas lahan yang dimiliki petani pun makin lama makin sempit.
Dengan demikian, hasil panen kentang petani yang lahannya sempit tidak sebanyak petani yang lahannya luas. Ditambah lagi dengan harga kentang yang saat itu cenderung mengalami penurunan.
Di sisi lain, banyak pula generasi muda yang enggan menekuni pertanian sehingga banyak pula yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan.
Selain itu, pertanian kentang di Dataran Tinggi Dieng dituding sebagai salah satu penyebab sedimentasi sejumlah sungai termasuk sedimentasi di Waduk Mrica yang dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Panglima Besar Soedirman.
Salah seorang pemuda Desa Dieng Kulon yang saat itu dipercaya sebagai Ketua Karang Taruna, Alif Faozi merasa prihatin atas permasalahan tersebut sehingga dia mencoba melakukan berbagai pembenahan untuk mengungkit perekonomian warga desanya.
"Saat itu, kunjungan wisatawan ke Dieng masih sepi. Pada hari Sabtu dan Minggu paling satu sampai dua mobil," kata Alif.
Oleh karena itu, dia berusaha mencari informasi terkait dengan upaya pengembangan sektor pariwisata yang melibatkan masyarakat.
"Pada tahun 2006 ketika saya menggagas 'community based tourism' atau pengembangan wisata berbasis masyarakat, kunjungan (wisatawan ke Dieng) satu tahun saja hanya sekitar 260.000 orang," katanya.
Dalam perkembangannya, Alif mencoba membuat klaster pariwisata di Dieng Kulon dengan dukungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banjarnegara guna meningkatkan perekonomian masyarakat.
Dari situlah akhirnya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa yang diketuai Alif Faozi terbentuk dan mulai merintis pengembangan Desa Wisata Dieng Kulon. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Desa Dieng Kulon terus dilakukan demi meningkatkan kunjungan wisatawan.
Upaya yang dilakukan di antaranya melakukan pemetaan kunjungan wisatawan yang saat itu kebanyakan wisatawan dari Jakarta ke Yogyakarta dan Borobudur hanya menjadikan Dieng sebagai pelengkap, bukan tujuan utama.
Selain itu, Pokdarwis Dieng Pandawa pun mencoba mengembangkan berbagai makanan khas Dataran Tinggi Dieng maupun kerajinan tangan yang dapat dijadikan sebagai oleh-oleh bagi wisatawan.
Dalam hal ini, Pokdarwis Dieng Pandawa mendampingi delapan kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) yang ditekuni warga Dieng Kulon dengan berbagai produk, salah satunya UKM Tri Sakti.
Di samping itu, Pokdarwis Dieng Pandawa mengembangkan "homestay" guna memenuhi kebutuhan akomodasi bagi wisatawan yang menginap di Dieng karena konsep pengembangan pariwisatanya berbasis kemasyarakatan. "'Homestay' dibuat dengan menggunakan kamar di rumah sehingga kami pun harus menganggap wisatawan itu sebagai saudara," kata Alif.
Dengan adanya "homestay", kata dia, lama tinggal wisatawan juga akan bertambah karena sebelum adanya fasilitas tersebut, wisawatan akan segera meninggalkan Dieng setelah seharian mengunjungi sejumlah destinasi.
Kegiatan usaha "homestay" di Dieng Kulon yang sebelumnya hanya lima rumah, sekarang sudah mencapai lebih dari 200 rumah dan dicontoh oleh warga di desa-desa lain sekitar Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng.
Seiring dengan berkembangnya desa wisata di Dieng Kulon, masyarakat setempat saat sekarang lebih banyak menggeluti usaha di bidang industri pariwisata karena pendapatan yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil pertanian kentang yang harganya fluktuatif dan sangat tergantung pada kondisi cuaca.
Dengan demikian, sektor pertanian yang semula menjadi mata pencaharian utama sebagian besar warga Dieng Kulon, saat ini justru menjadi usaha sampingan meskipun mereka tetap berstatus sebagai petani.
Berdasarkan data Pokdarwis Dieng Pandawa, pendapatan bulanan rata-rata warga Dieng Kulon yang mengelola "homestay" saat ini sudah mencapai lebih dari Rp4 juta per "homestay", pelaku UKM makanan khas Dieng rata-rata sebesar Rp25 juta/UKM, dan pemandu wisata sebesar Rp3 juta/orang.
Sementara pendapatan usaha sampingan seperti kerajinan tangan rata-rata sebesar Rp1,5 juta/orang dan kegiatan seni budaya rata-rata Rp4 juta/kelompok.
"Itu belum termasuk usaha lainnya. Bahkan jika ada kegiatan besar seperti agenda wisata tahunan berupa 'Dieng Culture Festival', pendapatan yang diperoleh akan lebih besar lagi," kata Alif.
Ia mengatakan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Pokdarwis Dieng Pandawa bersama sejumlah pakar ekonomi atas perintah Gubernur Jawa Tengah, perputaran uang di Dieng Kulon selama tiga hari pergelaran "Dieng Culture Festival IX Tahun 2018", 3-5 Agustus, hampir mencapai Rp60 miliar.
Menurut dia, pergelaran "Dieng Culture Festival IX Tahun 2018" didatangi sekitar 160.000 wisatawan dari berbagai daerah dan berdasarkan kuisioner yang disebar ke sejumlah pengunjung rata-rata mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per hari.
"Masyarakat sangat merasakan perputaran uang selama penyelenggaraan kegiatan tersebut," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Kabupaten Banjarnegara Dwi Suryanto mengatakan pihaknya terus mengembangkan desa wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Menurut dia, penetapan desa wisata itu berorientasi pada beberapa hal di antaranya desa yang dekat dengan daya tarik wisata seperti berada di sekitar Kawasan Wisata Dataran Tinggi (KWDT) Dieng yang saat ini telah ada empat desa wisata dan akan dikembangkan menjadi delapan desa wisata.
"Desa yang berdekatan dengan daya tarik wisata harapannya bisa mengambil manfaat dengan adanya daya tarik wisata yang dekat dengan wilayah masing-masing. Orientasi lainnya adalah desa yang memiliki daya tarik wisata sendiri, memiliki daya tarik budaya, dan memiliki keunikan tersendiri," katanya.
Dia mengharapkan dengan adanya penetapan desa wisata akan menumbuhkan perekonomian masyarakat desa tersebut maupun daerah sekitarnya termasuk menumbuhkembangkan ekonomi kreatif warga setempat.