Semarang, Antara Jateng- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menilai pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2017 idealnya didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional.
"Sekarang ini kan revisi Undang-Undang Pilkada sedang dibahas. Nah, soal anggaran, idealnya APBN yang membiayai pilkada serentak," kata Ketua Komite I DPD RI Ahmad Muqowam di Semarang, Kamis.
Hal tersebut diungkapkan anggota DPD RI asal Jawa Tengah itu, di sela diskusi publik bertajuk "Problematika Revisi UU Pilkada Dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak" di Kantor DPD RI Jateng, Semarang.
Revisi UU Pilkada, kata dia, ditujukan menyempurnakan substansi ataupun metodologi proses pilkada untuk menghasilkan pemimpin yang menyejahterakan masyarakat dan memimpin daerah secara efektif.
"Ini merupakan revisi kedua atas Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1/2014 tentang Pilkada yang sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 1/2015 dan direvisi menjadi UU Nomor 8/2015," katanya.
Muqowam mengatakan sampai saat ini belum ada fraksi di DPR yang menyoroti idealitas pendanaan pilkada secara serentak lewat APBN, bukan lagi dibebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Begini, ketergantungan penyelenggara pilkada, baik KPU, Bawaslu, maupun Panwas di masing-masing daerah sangat variatif jika pilkada dibebankan pada APBD. Ini akan sangat berbahaya," katanya.
Ia mencontohkan apabila ada daerah yang mengharuskan berhadapan dengan petahana, keluarga petahana, maupun partai-partai politik di DPRD yang tidak "inline" (sejalan) dengan tahapan-tahapan pilkada.
Selain itu, kata dia, masih banyak persoalan lain yang harus dibenahi untuk pelaksanaan pilkada serentak 2017, seperti pendataan pemilih, kualifikasi dan persyaratan calon, hingga soal domisili.
Menurut dia, calon pimpinan daerah setidaknya harus berdomisili di daerah tersebut minimal selama setahun sebelumnya sehingga masyarakat sudah mengenal sosok yang akan memimpin daerahnya nanti.
"Ya, harus secepatnya (revisi UU pilkada, red.) selesai. Pilkada serentak nanti kan dijadwalkan Februari 2017 sehingga Juli 2016 sudah masuk tahapan pilkada. Sebelum itu harus sudah rampung," katanya.
Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro Semarang Hasyim Asy'ari mengatakan sistem pemilihan umum, termasuk pilkada, idealnya tidak didesain parpol.
"Selama yang menyusun sistem pemilu adalah parpol, desainnya tidak akan ideal. Ambil contoh Prancis, desain sistem pemilu dipercayakan kepada ahli atau pakarnya. Kalau begini, baru bisa ideal," katanya.
"Sekarang ini kan revisi Undang-Undang Pilkada sedang dibahas. Nah, soal anggaran, idealnya APBN yang membiayai pilkada serentak," kata Ketua Komite I DPD RI Ahmad Muqowam di Semarang, Kamis.
Hal tersebut diungkapkan anggota DPD RI asal Jawa Tengah itu, di sela diskusi publik bertajuk "Problematika Revisi UU Pilkada Dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak" di Kantor DPD RI Jateng, Semarang.
Revisi UU Pilkada, kata dia, ditujukan menyempurnakan substansi ataupun metodologi proses pilkada untuk menghasilkan pemimpin yang menyejahterakan masyarakat dan memimpin daerah secara efektif.
"Ini merupakan revisi kedua atas Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1/2014 tentang Pilkada yang sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 1/2015 dan direvisi menjadi UU Nomor 8/2015," katanya.
Muqowam mengatakan sampai saat ini belum ada fraksi di DPR yang menyoroti idealitas pendanaan pilkada secara serentak lewat APBN, bukan lagi dibebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Begini, ketergantungan penyelenggara pilkada, baik KPU, Bawaslu, maupun Panwas di masing-masing daerah sangat variatif jika pilkada dibebankan pada APBD. Ini akan sangat berbahaya," katanya.
Ia mencontohkan apabila ada daerah yang mengharuskan berhadapan dengan petahana, keluarga petahana, maupun partai-partai politik di DPRD yang tidak "inline" (sejalan) dengan tahapan-tahapan pilkada.
Selain itu, kata dia, masih banyak persoalan lain yang harus dibenahi untuk pelaksanaan pilkada serentak 2017, seperti pendataan pemilih, kualifikasi dan persyaratan calon, hingga soal domisili.
Menurut dia, calon pimpinan daerah setidaknya harus berdomisili di daerah tersebut minimal selama setahun sebelumnya sehingga masyarakat sudah mengenal sosok yang akan memimpin daerahnya nanti.
"Ya, harus secepatnya (revisi UU pilkada, red.) selesai. Pilkada serentak nanti kan dijadwalkan Februari 2017 sehingga Juli 2016 sudah masuk tahapan pilkada. Sebelum itu harus sudah rampung," katanya.
Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro Semarang Hasyim Asy'ari mengatakan sistem pemilihan umum, termasuk pilkada, idealnya tidak didesain parpol.
"Selama yang menyusun sistem pemilu adalah parpol, desainnya tidak akan ideal. Ambil contoh Prancis, desain sistem pemilu dipercayakan kepada ahli atau pakarnya. Kalau begini, baru bisa ideal," katanya.