Magelang, Antara Jateng - Kali Kota di Magelang, Jawa Tengah, yang tanpa aliran air pagi itu, seolah merespons orasi pendidikan oleh pengajar Universitas Tidar di hadapan mahasiswanya dan warga kampung setempat, saat memperingati Hari Pendidikan Nasional 2016.

         Airnya kemudian dengan lancar mengaliri Kali Kota, membelah Kota Magelang di bawah payung cuaca cerah kota kecil itu, ketika dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Untidar Budiono, dalam pidatonya menyerukan pentingnya mengingat kalimat "sakti" pahlawan nasional melalui pendidikan, Ki Hajar Dewantara.

         "'Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani'," demikian dengan lantang diucapkannya kalimat berbahasa Jawa itu.     
        
         Ungkapan sang pahlawan yang hingga saat ini terpatri dalam dunia pendidikan Indonesia tersebut, kiranya boleh diartikan bahwa orang tua atau pendidik dalam posisi di depan anak-anak sebagai teladan, di tengah menjadi kekuatan semangat atas proses membangun kedewasaan manusia, dan di belakang memberikan motivasi bagi kemajuan generasi muda.

         Ki Hajar Dewantara yang nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 305 Tahun 1959, tertanggal 28 November 1959.

         Perjalanan hidupnya antara lain sebagai aktivitas pergerakan kemerdekaan, penulis di media massa, politikus, dan pelopor pendidikan bagi pribumi dengan membuka Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

         Tanggal kelahirannya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, sedangkan filosofi "Tut Wuri Handayani" hingga saat ini menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional.

         Pada Senin (2/5) pagi itu, aliran air terdepan Kali Kota di Kota Magelang, seakan menjadi wujud atas filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Aliran yang terdepan sebagai pemimpin atau teladan penunjuk arah ke mana air hendak menuju.

         Disusul aliran di belakangnya menjadi air kekuatan yang membangun keseimbangan untuk mencapai sifat alaminya yang selalu berpermukaan rata di dalam berbagai riak, sedangkan aliran berikutnya bagaikan berperan mendorong kelancaran laju arus air di depannya.

         Kesan imajiner aliran air Kali Kota pagi itu seakan-akan mewujudkan filosofi "ing ngarso, ing madyo, dan tut wuri".

         Alur Kali Kota sepanjang sekitar 7,5 kilometer merupakan sodetan saluran irigasi yang membelah Kota Magelang dari Kampung Pucangsari hingga Jagoan. Sejak beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Magelang membangun sarana dan prasarana di tepian Kali Kota itu, antara lain berupa jalan berpaving dan taman kota, sehingga dimanfaatkan warga untuk rekreasi jalan kaki yang nyaman.

         "Ki Hajar Dewantara telah menorehkan dalam diri kita nilai-nilai pendidikan. Tonggak sejarah pendidikan di Indonesia," ucap Budiono yang juga mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang itu.

         Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2016, pagi itu dilakukan para pegiat Padepokan Gunung Tidar Kota Magelang pimpinan Es Wibowo bersama sekitar 70 mahasiswa Untidar dipimpin dosennya, Budiono, di tepian Kali Kota di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, dengan khidmat.

         Mereka, baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan pakaian adat Jawa, memulai peringatan dengan kirab budaya bernama "Ilmu Saka Guru" (Ilmu pengetahuan bersumber dari guru).

         "Kita merenungkan aspek pendidikan dengan tenang, tanpa yel-yel. Supaya refleksi pendidikan yang kita lakukan ini masuk," kata Budiono ketika memulai kirab.

         Setiap peserta kirab membawa buku bacaan, sedangkan sejumlah orang lainnya menaburkan bunga mawar warna merah putih. Setelah melantunkan lagu "Pergi Belajar" (Ibu Sud) dan "Trima Kasihku" (Sri Widodo) dalam nuansa teduh, mereka berjalan kaki dari halaman padepokan melewati jalan-jalan kampung setempat dan kemudian menyusuri tepian Kali Kota. Kirab berakhir di bawah Menara Bengung (menara bekas tempat sirine kota).

         Gambar Ki Hajar Dewantara ukuran relatif sedang yang juga mereka usung dalam kirab, untuk selanjutnya diletakkan di papan penyangga dari bambu berbentuk segi tiga di bawah Menara Bengung.

         Di bawah menara dari besi yang sudah berkarat peninggalan zaman penjajahan Belanda itu, seorang mahasiswa yang juga anggota Kelompok Teater "Bengkel Seni" Untidar, Nurul Huda, melakukan monolog tentang pendidikan.

         Komunitas Paguyuban Pembaca dan Penulis Magelang (Pamulang) pimpinan Agung Pramudyanto pada momentum tersebut menyerahkan sekitar 100 buku bacaan umum dengan berbagai judul kepada Padepokan Gunung Tidar, untuk menjadi sarana merintis pembukaan perpustakaan kampung setempat.

         "Untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap budaya gemar membaca buku dan menangkal dampak negatif pemakaian gadget secara berlebihan di kalangan anak-anak remaja," kata Agung.

         Pada kesempatan itu pula, seorang wartawan yang bertugas di Kota Magelang, Agung Ismiyanto, menyuguhkan "stand up comedy" berjudul "Pendidikan Gratis" dan seorang mahasiswa Program Studi Bahasa Indonesia FKIP Untidar, Sri Kisowo Mukti, membacakan puisi berjudul "Pesan dari Guru".

         "'Tapi jangan kau berpikiran kerdil. Bangkitlah...Berjuanglah... Kau harus bisa taklukkan gedung-gedung pencakar langit itu. Hancurkan kebodohanmu. Bangkit dari tidurmu. Raih mimpi. Capai prestasi'," demikian bagian dari puisi karya Dian Hartati yang dibacanya.

         Pimpinan Padepokan Gunung Tidar yang juga penyair Kota Magelang Es Wibowo menyebut kesadaran tentang pentingnya pendidikan sebagai hal yang harus terus dibanjirkan.

         Mereka yang harus memenuhi tuntutan pendidikan, katanya, tak hanya generasi muda, akan tetapi juga kaum yang sudah berumur, karena pendidikan berlaku sepanjang hayat.

         Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2016 di kampung tempat tinggalnya itu pun, juga menjadi simbol atas kerja sama secara sinergi antara pilar-pilar dunia pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan.

         Ihwal yang disebut sebagai guru pendidikan pun, seakan merefleksikan keberadaan sosok pendidik yang hidup dalam tiga pilar tersebut.

         Siapa pun anak didik diarahkan untuk menjangkau dan menemukan guru kehidupan mereka di lingkungan pendidikan formal, dalam keluarga, dan di masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

         "'Terima Kasihku, kuucapkan. Pada guruku yang tulus. Ilmu yang berguna. Slalu dilimpahkan. Untuk bekalku nanti. Setiap hariku, dibimbingnya. Agar tumbuhlah bakatku. Kan kuingat slalu, nasihat guruku. Trima kasihku ucapkan'," demikian lagu "Trima Kasihku" mereka lambungkan bersama-sama lagi sebagai pengakhir refleksi Hari Pendidikan Nasional tahun ini di Kali Kota-nya.



Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024