"Ide awalnya dari Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Pakel, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, pertengahan bulan lalu, kami melihat sampah dari dedaunan berserakan di mana-mana karena daerah itu berada di pegunungan yang dipenuhi pohon-pohon rindang," kata koordinator Kelompok KKN Untag, Mochamad Arifin (22), di Surabaya, Selasa.
Ia mengatakan dari ide memanfaatkan sampah-sampah menjadi barang yang lebih berguna itu sebelumnya dipilih beberapa opsi, seperti kompos, kerajinan, atau barang hiasan, namun pada akhirnya kesepakatan bersama jatuh pada briket.
"Sebagian besar penduduk desa sekitar 70 persen masih memasak menggunakan tungku dan kayu sebagai alat memasak, sehingga kami mencoba memberikan solusi kepada mereka untuk membantu mengurangi limbah sampah dengan cara dibakar," ujarnya.
Dalam percobaan selama sepekan, ia menambahkan sekitar satu tong sampah yang mereka kumpulkan berhasil diubah menjadi beberapa kilogram briket yang terlihat fisiknya, briket sampah jauh berbeda dengan briket batu bara karena memiliki warna yang cenderung lebih pekat dan memiliki aroma yang lebih menyengat.
"Dibanding briket batu bara, briket ini terlihat lebih mirip arang, namun briket ini lebih awet karena rongga di dalamnya lebih padat, serta selisih saat dibakar dua kali lipat lebih lama ketimbang arang karena ketika dibakar pun terdapat asap yang keluar dari briket sampah," jelasnya.
Menurut dia, kecenderungan selisih perbedaan briket batu bara dan briket dari limbah sampah ini menjadi berbeda karena briket dari limpah sampah relatif bersih dari polusi, sedangkan pembakaran briket batu bara tidak menyisakan abu, sementara briket sampah masih menyisakan abu.
"Harapan kami agar hasil eksperimen yang diajarkan kepada sebagian warga, bisa bermanfaat dan sudah dipasarkan di salah satu pasar di wilayah setempat, bahkan Kepala Desa sudah menyewa stand untuk memasarkan briket sampah yang biasa digunakan untuk membakar sate, daging, dan sejenisnya," tandasnya.
Kreasi kumpulan mahasiswa Jurusan Matematika, Psikologi, Sastra Inggris, Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro itu juga dinilai lebih ramah lingkungan.
Ia mengatakan dari ide memanfaatkan sampah-sampah menjadi barang yang lebih berguna itu sebelumnya dipilih beberapa opsi, seperti kompos, kerajinan, atau barang hiasan, namun pada akhirnya kesepakatan bersama jatuh pada briket.
"Sebagian besar penduduk desa sekitar 70 persen masih memasak menggunakan tungku dan kayu sebagai alat memasak, sehingga kami mencoba memberikan solusi kepada mereka untuk membantu mengurangi limbah sampah dengan cara dibakar," ujarnya.
Dalam percobaan selama sepekan, ia menambahkan sekitar satu tong sampah yang mereka kumpulkan berhasil diubah menjadi beberapa kilogram briket yang terlihat fisiknya, briket sampah jauh berbeda dengan briket batu bara karena memiliki warna yang cenderung lebih pekat dan memiliki aroma yang lebih menyengat.
"Dibanding briket batu bara, briket ini terlihat lebih mirip arang, namun briket ini lebih awet karena rongga di dalamnya lebih padat, serta selisih saat dibakar dua kali lipat lebih lama ketimbang arang karena ketika dibakar pun terdapat asap yang keluar dari briket sampah," jelasnya.
Menurut dia, kecenderungan selisih perbedaan briket batu bara dan briket dari limbah sampah ini menjadi berbeda karena briket dari limpah sampah relatif bersih dari polusi, sedangkan pembakaran briket batu bara tidak menyisakan abu, sementara briket sampah masih menyisakan abu.
"Harapan kami agar hasil eksperimen yang diajarkan kepada sebagian warga, bisa bermanfaat dan sudah dipasarkan di salah satu pasar di wilayah setempat, bahkan Kepala Desa sudah menyewa stand untuk memasarkan briket sampah yang biasa digunakan untuk membakar sate, daging, dan sejenisnya," tandasnya.
Kreasi kumpulan mahasiswa Jurusan Matematika, Psikologi, Sastra Inggris, Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro itu juga dinilai lebih ramah lingkungan.