Permendag tersebut sebenarnya sudah diterbitkan pada Januari 2015, namun efektif berlaku pada 16 April 2015. Tujuannya, agar minimarket dan toko eceran memiliki waktu untuk menghabiskan stok bir dan minuman beralkohol lainnya dalam waktu tiga bulan.

Sejak awal diterbitkan, Permendag tersebut mendapat protes, terutama dari pengusaha toko ritel dan pebisnis pariwisata. Di lokasi wisata seperti di Bali, Jakarta, Yogyakarta, dan Lombok, misalnya, turis amat mudah mendapatkan bir hingga di pelosok. Bahkan pedagang asongan dan kaki lima pun menjajakan bir.

Meskipun lebih dari 80 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, bisnis bir dan minuman beralkohol di negeri ini lancar sentosa. PT Multi Bintang sebagai produsen Bir Bintang, misalnya, selama puluhan tahun menikmati encernya keuntungan dari penjualan bir. Begitu pula PT Delta Djakarta selaku penghasil bir Anker juga merasakan hal sama. Saking menguntungkan, Pemerintah DKI Jakarta memiliki saham di PT Delta, yang setiap tahun menyetor keuntungkan ke kas daerah. Penjualan bir di Indonesia diperkirakan mencapai 100 juta liter per tahun.

Ini menandakan bahwa bisnis minuman beralkohol di Indonesia tumbuh. Pertumbuhannya bakal lebih kencang lagi bila tidak dikendalikan karena pertambahan gerai minimarket bak jamur di musim hujan. Minimarket yang berdiri hingga pelosok kampung bisa menjadi wahana penetrasi minuman beralkohol yang sangat efektif bila diberi keleluasaan menjual bir dan sejenisnya.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyebutkan jumlah minimarket saat ini sekitar 23.000 unit, mayoritas Indomaret dan Alfamart. Dua pemilik merek dagang toko ritel ini tidak ada tanda-tanda sedikit pun untuk menghentikan penambahan toko baru. Keduanya sangat ekspansif membuka gerai baru. Bahkan, saking ekspansifnya membuka gerai-gerai baru di Kabupaten Banyumas, Indomaret tersandung perkara hukum penyuapan kepada pejabat setempat.

Penetrasi minimarket hingga ke pelosok itulah yang dikhawatirkan Rachmat Gobel. Ia khawatir bila jaringan ritel diberi keleluasaan menjual minuman beralkohol, kian mudah pula anak-anak di bawah umur mengakses minuman memabukkan tersebut. "Kami ingin melindungi dampak buruk terhadap masa depan bangsa," katanya.

Pemerintah tidak melarang produksi dan penjualan bir, tetapi membatasi. Oleh karena itu, daerah-daerah wisata seperti Bali, Jakarta, Lombok, dan Yogyakarta tetap akan memperoleh pasokan bir dengan jalur distribusi legal.

Keberaniannya menerbitkan Permendag tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan dan Penjualan Minuman Beralkohol di Bawah 5 Persen mendapat apresiasi. Praktik selama ini, siapa pun bisa membeli bir di minimarket, tanpa memedulikan berapa usia anak. Padahal, seharusnya pembeli menujukkan identitas diri kepada pramuniaga. Hanya konsumen berusia 21 tahun ke atas yang diperkenankan membeli.

Sebagai pengusaha sukses, Rachmat Gobel bisa saja mencari jalan aman dan bebas dari kecaman. Toh selama ini tidak ada yang mempersoalkan toko ritel menjual bir.

Namun, ia memilih menyelamatkan puluhan juta anak dari ancaman kecanduan alkohol. (***)












Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024