BPPTKG: Belum Ada Rumus Pasti Memperkirakan Merapi Meletus
"Dari pemantauan seismik, gempa yang paling banyak muncul adalah gempa low frekuensi (LF) dan bukan high frekuensi (HF). Gempa LF itu berasosiasi dengan pergerakan fluida gas, bukan magma," kata Kepala BPPTKG Subandriyo, di Yogyakarta, Rabu.
Subandriyo menambahkan, migrasi magma ke atas akan selalu ditandai dengan gempa HF dan deformasi. Saat ini, tidak terdeteksi adanya deformasi di Gunung Merapi.
Menurut dia, perubahan status Merapi dari normal ke waspada tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat di sekitar gunung termasuk pemerintah dan aparat sebagai langkah mitigasi yang harus diambil. "Warga masih bisa bekerja seperti biasa namun tetap waspada. Hindari bekerja di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau," katanya.
BPPTKG menyatakan, tidak ada rumus yang pasti untuk memperkirakan waktu terjadinya letusan Gunung Merapi. "Jika kenaikan status ini tidak diikuti dengan kejadian lain misalnya letusan, maka tidak apa-apa. Yang penting masyarakat sudah meningkatkan kewaspadaannya," katanya.
Berdasarkan pemantauan seismik, perubahan status Gunung Merapi dari normal ke waspada dilakukan berdasarkan meningkatnya aktivitas gas di perut gunung.
"Terjadi perubahan perilaku Merapi karena kandungan gas yang sangat tinggi. Peningkatan aktivitas gas itu menimbulkan suara gemuruh yang bisa terdengar dari radius delapan kilometer. Dari catatan, ada 29 kali suara gemuruh," katanya.
Peningkatan gas di Merapi juga menimbulkan letusan minor yang telah terjadi 10 kali pascaerupsi Merapi 2010. Letusan minor tersebut ditandai dengan embusan asap solfatara termasuk lontaran batu pijar.
"Sama sekali tidak terjadi guguran lava pijar. Lava pijar terjadi apabila sudah ada magma baru yang naik ke permukaan," katanya.
Namun demikian, aktivitas gas tersebut juga perlu diwaspadai menimbulkan guguran material lama di puncak gunung apabila aktivitas gas terjadi dengan kuat.