Optimistis, tapi Kesenjangan Kian Lebar
Menyaksikan keramaian di sejumlah pusat perbelanjaan modern di kota-kota utama di Jawa Tengah dalam beberapa bulan terakhir ini bisa menjadi petunjuk bahwa perekonomian provinsi ini dalam beberapa bulan ke depan masih tumbuh. Begitu pula keramaian yang ajek di pasar-pasar tradisional.
Seiring dengan melesatnya inflasi 2013 yang mencapai 7,99 persen serta rupiah yang dihajar dolar AS hingga nilai tukarnya terseok lebih dari Rp12.000, sempat mencuat kekhawatiran bahwa perekonomian Jawa Tengah bakal kena imbas. Harga yang semakin mahal bakal memukul daya beli konsumen. Akan tetapi, ternyata dampaknya tidak terlalu kuat.
Warung makan kelas rakyat hingga atas kemudian tempat nongkrong semacam kafe level pelajar dan mahasiswa hingga kelas eksekutif juga nyaris selalu ramai. Penjualan sepeda motor dan mobil juga meningkat. Objek pariwisata juga selalu disesaki turis domestik.
Hampir semua gerai telepon seluler, telepon pintar, dan komputer tetap disesaki konsumen. Toko pakaian dan aksesori juga tidak pernah sepi, terutama di akhir pekan. Pemandangan itu bukan hanya monopoli pusat perbelanjaan modern, melainkan juga terlihat di pasar-pasar tradisional, termasuk di tingkat pedagang kaki lima yang banyak menjajakan barang kebutuhan sekunder dan tersier.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Bank Indonesia melalui surveinya, mengungkapkan bahwa masyarakat optimstis perekonomian Jawa Tengah pada tahun 2014 akan tumbuh lebih baik kendati ada peningkatan inflasi. Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V Marlison Hakim di Semarang, Jumat (10/1), menyebutkan bahwa indeks keyakinan konsumen (IKK) berada pada level 116,47 poin, jauh di atas indeks normal 100 poin.
Stabilitas sosial politik yang terjaga, kenaikan upah minimum kabupaten/kota pada 2014, membaiknya infrastruktur, hingga pelayanan birokrasi pemerintah yang kian baik membuka ruang lebih lebar bagi konsumen untuk menatap masa depan.
Peluncuran program jaminan sosial kesehatan melalui BPJS mulai 1 Januari 2014 juga memberi tambahan rasa aman bagi banyak orang. Sejumlah penyakit berat yang dulu selalu memiskinkan penderitanya karena menguras banyak biaya orang-orang yang tidak tercakup layanan Askes atau Jamkesmas, mulai saat ini secara bertahap bisa teratasi.
Cukup membayar iuran puluhan ribu rupiah per bulan, mereka bakal mendapat jaminan pelayanan kesehatan termasuk bila menderita penyakit serius yang mengeruk aset penderita. Banyak orang yang sebelumnya tidak tercakup Askes atau Jamkesmas,saat ini bisa melihat cahaya terang dari lorong gelap di masa lalu ketika mereka jatuh sakit. Mengidap sakit berat kala itu, ibaratnya, sudah terjerembab tertimpa tangga lagi akibat dibebani biaya pengobatan dan perawatan yang besar.
Pada awal-awal pelaksanaan BPJS, diakui masih muncul kekurangan dan keluhan karena hal ini berkaitan dengan perubahan sistem yang melibatkan banyak pihak, seperti dokter, puskesmas, rumah sakit umum, rumah sakit rujukan, serta badan penyelenggara itu sendiri, seperti (dulu) Askes dan Jamsostek. Apalagi "coverage" layanan ini mencakup puluhan juta peserta.
Namun, sepanjang yang terekam di masyarakat, mereka menyambut antusias kehadiran BPJS yang memungkinkan mereka untuk mengakses layanan kesehatan dengan premi terjangkau. Jaminan kesehatan ini juga memberi kontribusi bagi banyak warga dalam memandang prospek perekonomian dalam beberapa bulan ke depan.
Secara umum, pendapatan domestik bruto Jateng juga meningkat, meski di sisi sama ada tren kesenjangan pendapatan penduduk juga kian melebar. Pada tahun 2005, indeks Gini Jawa Tengah tercatat 0,2833, kemudian menjadi 0,2908 pada tahun 2010, dan pada tahun 2012 melesat menjadi 0,3554. Kendati dibandingkan koefisien Indonesia yang mencapai 0,41, indeks Gini Jawa Tengah lebih rendah, kecenderungan naik itu harus diwaspadai agar pertumbuhan ekonominya kian berkualitas.
Membagi kue pembangunan secara adil itu tanggung jawab pemerintah, namun caranya bukan dengan terus menimbun wacana konsep pembangunan berkeadilan. ***