Semarang (ANTARA) - Kemampuan literasi membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh murid sekolah dasar. Namun, dalam praktik pembelajaran sehari-hari, masih banyak murid yang dapat membaca teks dengan lancar tetapi belum memahami maknanya secara mendalam.
Dalam kegiatan menulis, tidak sedikit pula yang cenderung meniru contoh tanpa menata ide sendiri. Akibatnya, kegiatan literasi sering berjalan secara mekanis dan belum sepenuhnya menumbuhkan kemampuan berpikir kritis serta kreatif.
Kondisi serupa tampak dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5C, SD Negeri Rejosari 01 Kota Semarang. Murid kerap mengalami kesulitan saat menceritakan kembali isi teks, menentukan unsur cerita, mengenal kosakata baru, dan memahami imbuhan.
Salah satu tantangan yang muncul adalah ketika mereka harus menemukan makna kata berimbuhan, khususnya imbuhan me-. Sebagian murid belum memahami perbedaan bentuk imbuhan me- yang tetap dan yang melebur menjadi mem, men, meng, menge, dan meny.
Untuk menjawab tantangan tersebut, media yang dikembangkan oleh kelompok belajar guru Green Squad, yang merupakan fasilitator program Tanoto Foundation, menjadi salah satu solusi inovatif. Media pembelajaran berupa Buku Pop-Up 3D berbasis QR Code ini dapat digunakan untuk berbagai materi Bahasa Indonesia.
Dengan menggabungkan unsur visual tiga dimensi, audio, dan kegiatan proyek nyata, media ini menjadikan proses belajar lebih menarik, bermakna, dan kontekstual. Buku tersebut berisi cerita-cerita tentang tradisi unik serta makanan khas Kota Semarang yang disajikan dengan ilustrasi tiga dimensi interaktif. Setiap halaman dilengkapi dua QR Code, yaitu QR Code Audio Cerita yang berisi rekaman narasi bacaan dan QR Code Proyek Kecilku yang berisi panduan digital kegiatan proyek.
Pembelajaran dimulai dengan kegiatan pengantar yang sederhana. Guru membawa sapu ke kelas dan bertanya, “Apa nama benda ini?” Murid menjawab, “Sapu.” Guru kemudian memperagakan kegiatan menyapu dan kembali bertanya, “Apa yang Ibu lakukan?” Murid menjawab, “Menyapu, Bu.” Dari percakapan singkat itu, murid mengenali bahwa kata menyapu berasal dari kata dasar sapu dengan imbuhan me-.
Dari kegiatan tersebut, muncul diskusi reflektif tentang hal-hal yang membuat murid tertarik membaca sebuah cerita. Sebagian besar menyebut gambar yang menarik, warna yang cerah, atau tokoh yang lucu. Hal itu menguatkan pemahaman bahwa media yang menarik dapat membuat kegiatan membaca menjadi lebih menyenangkan.
Selanjutnya, murid diperlihatkan Buku Pop-Up 3D yang berisi cerita tentang tradisi dan kuliner khas Semarang. Mereka membaca cerita sambil menyimak QR Code Audio Cerita. Setelah itu, mereka mencari kata-kata berimbuhan me- di dalam teks, menuliskan pada kertas kecil, lalu mendiskusikan maknanya dalam kelompok. Hasilnya dikelompokkan berdasarkan bentuk imbuhannya dan ditempelkan pada lembar kerja kelompok.
Kegiatan tersebut menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kolaboratif. Setelah diskusi, setiap kelompok mempresentasikan hasilnya di depan kelas, dan guru memberikan penguatan tentang pola perubahan bentuk imbuhan me-.
Tahapan berikutnya adalah kegiatan Proyek Kecilku yang diambil dari salah satu cerita dalam buku berjudul “Sesaji Rewanda, Hadiah untuk Kera Goa Kreo.” Cerita ini menyinggung tradisi masyarakat yang menyiapkan gunungan berisi sego kethek, yaitu nasi dengan lauk sederhana yang dibungkus daun pisang atau daun jati. Kegiatan proyek ini dikaitkan dengan kata kerja membungkus sebagai contoh konkret penggunaan imbuhan me-.
Sebelum proyek dimulai, murid memindai QR Code Proyek Kecilku untuk mendengarkan panduan dan menyiapkan bahan. Proyek dilakukan di kelas dengan menghadirkan orang tua murid sebagai narasumber yang memperagakan cara membungkus nasi model tempelang, bentuk bungkus tradisional yang masih digunakan dalam berbagai acara masyarakat.
Murid membawa nasi dan lauk dari rumah, sementara bahan lain seperti daun pisang dan tali bambu disiapkan oleh paguyuban orang tua. Suasana kelas menjadi sangat hidup. Murid saling membantu saat melipat daun dan menali, kemudian merasa bangga melihat hasil bungkusannya rapi menyerupai contoh narasumber.
Keterlibatan orang tua dalam kegiatan ini juga sejalan dengan peran kemitraan untuk pembelajaran mendalam. Melalui kolaborasi antara guru, orang tua, dan komunitas, pembelajaran tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga membangun pengalaman belajar yang menyentuh ranah nilai dan keterampilan hidup. Kolaborasi ini memperkuat dukungan terhadap tujuan pendidikan murid agar lebih berdaya, kreatif, dan berkarakter.
Kegiatan ini juga dihubungkan dengan mata pelajaran Seni Budaya karena melibatkan aktivitas menata dan membentuk karya sederhana dari bahan alam. Selain mengasah kreativitas, kegiatan ini menanamkan nilai-nilai Pendidikan Pancasila seperti gotong royong, tanggung jawab, serta penghargaan terhadap budaya lokal. Setelah seluruh kelompok selesai, murid menikmati sego kethek buatan sendiri sebagai simbol kebersamaan dan hasil belajar yang bermakna.
Dampak kegiatan ini sangat terasa. Murid menunjukkan peningkatan pemahaman terhadap konsep imbuhan me- dan perubahannya. Mereka mampu menjelaskan kembali pola perubahan imbuhan dengan tepat serta lebih aktif dalam menemukan makna kata di dalam teks. Pembelajaran menjadi lebih kontekstual karena murid dapat mengaitkan bahasa dengan pengalaman hidup nyata.
Selain peningkatan akademik, kegiatan ini juga menumbuhkan keterampilan sosial, kreativitas, dan rasa percaya diri. Melalui kerja kelompok, murid belajar berdiskusi, menghargai pendapat teman, dan bekerja sama untuk mencapai hasil terbaik. Proyek sego kethek menghadirkan pengalaman yang menyentuh, sebab murid tidak hanya belajar bahasa tetapi juga memahami nilai-nilai budaya dan kebersamaan.
Seorang murid, Givano, menuturkan betapa menyenangkannya belajar dengan buku pop-up karena bisa memahami makna imbuhan me- sekaligus praktik membungkus nasi seperti dalam cerita. Naila menambahkan bahwa gambar tiga dimensinya membuat cerita terasa hidup, apalagi karena bisa didengarkan lewat ponsel dengan memindai QR Code. Sementara itu, salah satu orang tua narasumber, Ibu Emma, mengungkapkan rasa kagumnya melihat semangat murid-murid yang belajar bahasa sambil mengenal budaya Semarang.
Meski demikian, pembelajaran ini masih menyimpan ruang untuk penyempurnaan. Beberapa murid mengalami kendala teknis saat memindai QR Code karena keterbatasan perangkat atau jaringan. Waktu pelaksanaan proyek juga perlu diatur lebih baik agar seluruh kelompok dapat menyelesaikan kegiatan dengan optimal. Instrumen penilaian juga perlu dikembangkan agar mencakup aspek literasi, kreativitas, kolaborasi, dan kemandirian secara lebih sistematis.
Secara keseluruhan, penggunaan Buku Pop-Up 3D berbasis QR Code terbukti efektif memperkuat keterampilan literasi, menumbuhkan kreativitas, dan menanamkan apresiasi terhadap budaya lokal.
*Guru SD Negeri Rejosari 01 Kota Semarang

