Solo (ANTARA) - Delapan puluh delapan tahun lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia dari berbagai daerah dan latar belakang sosial berkumpul dan mengucapkan ikrar yang menjadi tonggak sejarah bangsa, bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Sumpah itu tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari kesadaran bahwa bangsa yang majemuk hanya dapat bersatu melalui bahasa yang sama. Bahasa Indonesia menjadi jembatan ide, perasaan, dan perjuangan. Ia menyatukan semangat nasionalisme di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya.
Kini, hampir satu abad kemudian, generasi muda menghadapi tantangan yang jauh berbeda. Dunia tidak lagi terbagi oleh batas geografis, tetapi oleh batas digital. Pemuda kini hidup dalam ruang tanpa sekat, di mana teknologi dan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian dari keseharian. Di tengah arus globalisasi ini, bahasa Indonesia kembali diuji, mampukah ia tetap menjadi identitas nasional di dunia yang semakin dikuasai algoritma dan bahasa global?
Bahasa sebagai Identitas di Tengah Teknologi
Bahasa adalah cermin cara berpikir. Melalui bahasa, manusia menafsirkan dunia. Namun dalam dekade terakhir, Bahasa Indonesia menghadapi tantangan yang unik, Bahasa Indonesia bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan juga menjadi produk budaya yang bersaing dengan bahasa lain di dunia digital. Campuran Bahasa Indonesia dengan Inggris yang sering disebut bahasa rojak atau Indo-English menjadi fenomena yang lumrah. Di media sosial, kita sering menjumpai kalimat seperti “Aku lagi healing biar mental health aman” atau “Deadline-nya di-update di group ya guys”.
Fenomena ini menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, bahwa Bahasa Indonesia hidup dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Kedua, bahwa ada kekhawatiran kehilangan kedalaman makna dan ketepatan konteks. Sebagian anak muda mungkin tidak menyadari bahwa Bahasa Indonesia yang mereka gunakan di ruang digital telah bergeser jauh dari tata bahasa dan nilai-nilai kesantunan berbahasa yang diajarkan di sekolah.
Namun demikian, kita tidak bisa menolak perubahan. Justru di sinilah tugas penting generasi muda, menjadikan Bahasa Indonesia tetap relevan, kontekstual, dan bernilai di tengah laju teknologi. Ketika anak muda menulis konten kreatif, membuat ulasan digital, atau meneliti dengan Bahasa Indonesia yang baik dan bermakna, mereka sesungguhnya sedang meneruskan semangat Sumpah Pemuda dalam bentuk baru, dari ikrar kebangsaan menjadi gerakan literasi digital berbahasa Indonesia.
AI dan Bahasa: Peluang atau Ancaman?
Kecerdasan buatan telah membuka era baru dalam sejarah manusia. Dari chatbot hingga asisten virtual, dari penerjemah otomatis hingga generator teks dan gambar, AI kini mampu meniru bahasa manusia. Namun, sebagian besar sistem AI dikembangkan menggunakan bahasa-bahasa global seperti Inggris, Mandarin, atau Spanyol. Bahasa Indonesia, meski digunakan oleh lebih dari 200 juta penutur, masih minim representasi dalam data pelatihan AI global.
Hal ini menciptakan kesenjangan linguistik dan budaya. Misalnya, machine translation seringkali keliru menerjemahkan konteks Bahasa Indonesia. Kata “bisa” bisa diartikan “can” atau “venomous” tergantung konteksnya. Kalimat “saya tidak tahan panas” kadang diterjemahkan menjadi “I can’t stand the heat” (secara idiomatik benar) namun dalam konteks medis bisa berarti “I’m heat sensitive”. Kekeliruan semacam ini tampak sederhana, tetapi menunjukkan bahwa teknologi tidak bisa sepenuhnya menggantikan pemahaman manusia terhadap konteks budaya dan sosial.
Inilah peluang sekaligus tantangan bagi generasi muda Indonesia, tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan pengembangnya. Pemuda yang menguasai bahasa dan teknologi memiliki kekuatan untuk memastikan AI memahami Bahasa Indonesia secara kontekstual dan etis. Beberapa inisiatif lokal seperti pengembangan Large Language Model berbasis Bahasa Indonesia oleh lembaga riset dan universitas mulai bermunculan. Namun, kontribusi terbesar tetap datang dari anak muda yang aktif berinovasi di bidang teknologi dan linguistik. Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar digital, tetapi juga produsen ekosistem digital, yakni penguasaan teknologi, termasuk bahasa dalam AI, harus disertai kesadaran identitas nasional.
Konteks Bahasa dalam Dunia Digital
Era digital tidak hanya mengubah cara manusia berinteraksi, tetapi juga cara berbahasa. Di media sosial, gaya bahasa menjadi lebih ringkas, ekspresif, dan penuh simbol visual seperti emoji atau GIF. Hal ini menciptakan bentuk komunikasi baru yang cepat dan lintas budaya, namun juga sering kali mengaburkan makna. Misalnya, kata “keren” di satu konteks bisa berarti “hebat”, tetapi di konteks lain bisa bermakna sinis atau sarkastik. Anak muda perlu memahami bahwa bahasa yang tepat konteks bukan berarti bahasa yang kaku. Justru, kekuatan Bahasa Indonesia terletak pada kemampuannya menyesuaikan diri dengan situasi komunikasi. Seseorang bisa berbicara formal dalam forum akademik, tetapi santai di media sosial, tanpa kehilangan makna atau kesantunan. Kemampuan menempatkan bahasa sesuai konteks disebut pragmatic competence dalam linguistik menjadi kunci komunikasi efektif di era digital. Sebagai contoh positif, beberapa kreator muda Indonesia seperti Najwa Shihab, Arief Muhammad, dan Cinta Laura menunjukkan bagaimana Bahasa Indonesia bisa digunakan secara cerdas dan menginspirasi di platform digital. Mereka membuktikan bahwa menjadi modern tidak harus kehilangan keindonesiaan dalam berbahasa.
Dengan demikian, penggunaan Bahasa Indonesia yang kontekstual bukanlah penghambat kreativitas, melainkan fondasi bagi komunikasi yang beretika, cerdas, dan beridentitas.
Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda tidak berhenti pada teks tiga butir yang dihafal setiap upacara. Ia adalah simbol kesadaran kolektif bahwa kemajuan bangsa hanya bisa dicapai bila pemuda memiliki semangat persatuan dan tanggung jawab terhadap budayanya sendiri. Di era digital, “persatuan” dapat dimaknai sebagai kolaborasi lintas bidang, antara kreator konten, programmer, pendidik, dan penggiat literasi untuk menjaga ekosistem bahasa Indonesia tetap hidup di dunia maya.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2025 ini sebaiknya menjadi momentum refleksi bersama. Bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan penegasan kembali nilai-nilai perjuangan: kemandirian, kebersamaan, dan keindonesiaan. Di tengah derasnya perkembangan AI dan globalisasi, pemuda harus menyalakan kembali “api bahasa” yang diwariskan para pendahulu — bukan hanya dengan berbicara, tetapi dengan berkarya.
Seperti yang sering dikatakan oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono, “Bahasa adalah rumah bagi pikiran.” Jika Bahasa Indonesia kita abaikan, kita sedang meninggalkan rumah tempat jati diri bangsa bersemayam. Maka, menjaga bahasa berarti menjaga cara kita berpikir dan memandang dunia.
Sumpah Baru di Era Kecerdasan Buatan
Kini, tantangan pemuda bukan lagi kolonialisme fisik, tetapi kolonialisme digital, ketika pikiran dan bahasa kita dibentuk oleh algoritma asing. Maka, sumpah pemuda masa kini mungkin berbunyi berbeda, namun memiliki semangat yang sama:
“Kami, generasi muda Indonesia, bersumpah untuk menjaga kecerdasan bahasa di era kecerdasan buatan.”
Bahasa Indonesia yang kuat dan kontekstual akan menjadi benteng budaya sekaligus modal kemajuan bangsa. Kita tidak perlu takut terhadap teknologi, asalkan tidak kehilangan jati diri di dalamnya. Justru dengan bahasa yang berakar pada nilai-nilai nasional, kita dapat mengarahkan AI menjadi alat kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Karena bangsa yang kehilangan bahasanya, perlahan akan kehilangan pikirannya. Dan bangsa yang kehilangan pikirannya, akan kehilangan masa depannya.
Maka, di Hari Sumpah Pemuda 2025 ini, marilah kita rayakan bukan hanya dengan seremoni, tetapi dengan kesadaran baru: bahwa menjaga bahasa Indonesia di era AI adalah bentuk perjuangan yang tak kalah mulia dibanding 1928, perjuangan untuk tetap menjadi Indonesia di dunia yang semakin canggih.
* Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UMS, Ketua PRA Ngadirejo, Kartasura, dan Ketua Majelis Pembinaan Kader PCA Kartasura.

Bahasa, AI, dan Identitas: Sumpah Pemuda di Era digital

Dwi Haryanti. ANTARA/HO-UMS
