Magelang (ANTARA) - Spiritualitas kepemimpinan sekolah Katolik menjadi fondasi penting panggilan perutusan yang harus dipahami secara baik oleh para kepala sekolah Katolik, kata Ketua Lembaga Ekselensi Keuskupan Agung Semarang (LEKAS) Ferdinand Hindiarto.
"Spiritualitas kepemimpinan sekolah katolik sebagai fondasi panggilan perutusan yang membedakan peran mereka dibandingkan kepala sekolah yang lain," katanya dalam rilis LEKAS di Magelang, Senin. Lekas adalah salah satu lembaga di Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang berkarya di bidang pendidikan.
Ia mengatakan hal itu pada kegiatan pendidikan dan pelatihan transformasi sekolah Katolik, 26-28 September 2025, di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Kabupaten Magelang dengan 94 peserta berasal dari KAS, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Malang, Keuskupan Bogor, Keuskupan Padang, dan Keuskupan Banjarmasin.
Peserta kegiatan terdiri atas kalangan pengurus yayasan, kepala sekolah, dan guru. Kegiatan sebagai kelompok kedua setelah kelompok pertama pada Mei 2025 itu, dengan fasilitator para akademisi dan praktisi pendidikan LEKAS, seperti Ferdinand Hindiarto (Ketua LEKAS dan Rektor Soegijapranata Catholic University Semarang 2021-2025), HJ Sriyanto (Wakil Ketua LEKAS dan mantan Wakil Kepala SMA Kolese De Britto Yogyakarta).
Selain itu, Romo CB Mulyatno (Guru Besar Ilmu Filsafat Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Romo Singgih Guritno (Direktur Sekolah Theresiana Semarang) dan sejumlah dosen pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, antara lain Tarsisius Sarkim, Rohandi, Titus Odong Kusumajati, Cahya Widiyanta, Albert Harimurti, dan Risang Baskara.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Unit Pengembangan Pastoral (UPP) Pendidikan KAS Romo Deny Sulistiawan, sedangkan para fasilitator menyampaikan materi, antara lain spiritualitas pendidikan katolik, pedagogi pengharapan, paradigma pengajaran transformatif, transformasi manajemen sekolah, optimalisasi aset, pemanfaatan teknologi sebagai media transformasi pengetahuan, membangun jejaring, dan mendesain pengajaran berdampak.
Ferdinand menyebut aspek kekatolikan ditebalkan melalui dokumen gereja tentang perutusan pendidikan, yakni Gravissimum Educationis.
Kekatolikan, ucapnya, tidak sekadar sebagai identitas sekolah melainkan keseluruhan aspek dan proses pengelolaan.
"Tugas kita menghadirkan peristiwa pembelajaran bagi murid di kelas,” katanya.
Romo Mulyatno menekankan pentingnya fungsi yayasan pendidikan Katolik sebagai pelayan komunitas dan penentu arah lembaga pendidikan.
"Yayasan supaya bertumbuh bersama sebagai komunitas Gereja," ucapnya.
Tarsisius Sarkim mengajak pengurus yayasan berbagi praktik baik dan persoalan dalam membangun komunitas pembelajar pada guru, sedangkan Romo Singgih Guritno menegaskan terkait dengan aspek komunitas belajar yang saling menumbuhkan.
Selain itu, Rohandi mengajak peserta menyadari tugas penting guru dalam menghadirkan pedagogi pengharapan, antara lain mendesain dan mempraktikkan supaya menemukan perubahan yang membedakan paradigma lama mereka dengan paradigma baru yang lebih fundamental, kontekstual, dan transformatif.
Risang Baskara mengingatkan guru supaya tidak terjebak menempatkan teknologi sebagai tujuan karena hal terpenting dalam proses pendidikan yakni interaksi guru dengan murid.
"Yang lebih penting adalah interaksi dengan murid. Jangan sampai teknologi hanya sebagai media transfer materi tetapi tidak berdampak transformatif," ujarnya.
Pada kegiatan itu, Tarsisius Sarkim dan HJ Sriyanto, menuntun guru melaksanakan transformasi pendidikan secara tepat dan terukur melalui asesmen lalu dikonkretkan secara operasional dengan rencana tindak lanjut.

