Semarang (ANTARA) - Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Tengah mengajak kalangan generasi muda untuk meneladani nilai-nilai dan semangat perjuangan Pangeran Diponegoro melalui kegiatan bedah buku berjudul "1830".
Kepala Perwakilan BI Jateng Rahmat Dwisaputra di Semarang, Selasa, menjelaskan bahwa bedah buku "1830" itu merupakan rangkaian kegiatan bedah buku dengan tema "Refleksi Tiga Jalan (Sejarah, Sains, dan Filsafat) Menuju Bangsa Beradab".
Pada seri kedua ini, pembahasan diarahkan pada pilar sejarah melalui buku "1830" karya Melissa Sunjaya dan sejarawan Peter Carey.
Hadir sebagai narasumber utama Professor Peter Carey selaku sejarawan dan Emeritus Fellow Trinity College, Oxford, yang dikenal sebagai pakar tentang Pangeran Diponegoro.
"Bank Indonesia ingin menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa transformasi menuju Indonesia Emas 2045 hanya mungkin dicapai apabila manusia Indonesia sadar sejarah, matang secara spiritual, dan kritis secara intelektual," katanya.
Ia menegaskan bahwa tujuan serial bedah buku tersebut adalah membangun kesadaran bahwa bangsa beradab lahir dari pondasi sejarah, spiritualitas, dan filsafat, serta menggali nilai-nilai perjuangan dan moralitas Diponegoro untuk menjawab tantangan zaman.
"Kami mendorong peserta untuk membaca secara reflektif dan mengaitkan pemikiran besar dengan dinamika kehidupan kini, serta menghidupkan budaya literasi kritis dan dialogis untuk memperkuat karakter bangsa," kata Rahmat.
Sementara itu, Peter Carey menyampaikan presentasi yang berjudul "Back to the Future: Reflections on the Java War (1825–1830) and the Life of Prince Diponegoro".
Sosok yang sangat fasih berbahasa Indonesia itu menggambarkan Pangeran Diponegoro sebagai sosok berintegritas tinggi, penuh keteguhan dan keberanian, serta dikenal lugas dalam menyampaikan pandangan.
Menurut dia, Pangeran Diponegoro tidak segan menunjukkan kekecewaan secara terbuka ketika menghadapi hal yang dianggap menyimpang dari nilai moral.
Ia menegaskan pentingnya warisan moral Pangeran Diponegoro, yakni integritas, keteguhan, pengorbanan, dan keberanian menegakkan kebenaran meski menghadapi kegagalan.
"Diponegoro menunjukkan kepada kita bahwa sejarah bukan hanya tentang kemenangan, tetapi tentang keberanian menjalani takdir, menjaga martabat, dan meninggalkan teladan bagi generasi mendatang," katanya.
Buku "1830" menawarkan sembilan "pisau bedah" yang mengajak pembaca meninjau kembali warisan kolonial dan dampaknya terhadap cara pandang bangsa Indonesia hingga kini.
Melalui refleksi sejarah tersebut, kata dia, masyarakat diharapkan tidak sekadar mengingat simbol-simbol masa lalu, tetapi juga mengolahnya sebagai pelajaran untuk menghadapi tantangan zaman, termasuk arus digitalisasi dan polarisasi opini di ruang publik.
Baca juga: Imigrasi Semarang tangani pelanggaran WNA tanpa identitas

