Purwokerto (ANTARA) - Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yudhi Wibowo mendukung kebijakan pemerintah yang mencabut aturan wajib menggunakan masker saat melakukan perjalanan dalam dan luar negeri, serta saat kegiatan di fasilitas publik dan berskala besar.
"Menurut saya memang sejak tanggal 5 Mei 2023, WHO sudah menyatakan pandemi menjadi endemi. Nah, transisinya 'kan salah satunya memang sudah tidak bisa lagi kita mewajibkan harus pakai masker, itu dikembalikan ke kesadaran masyarakat," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Oleh karena Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sudah mencabut status pandemi dan sekarang menjadi endemi, kata dia, penggunaan masker tidak diwajibkan lagi dan regulasi tersebut harus diikuti oleh semua negara termasuk Indonesia.
Menurut dia, kebijakan pemerintah yang mencabut aturan wajib menggunakan masker itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Protokol Kesehatan pada Masa Transisi Endemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditetapkan oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pada hari Jumat (9/6).
Ia mengatakan dalam surat edaran itu sudah jelas sekali disebutkan memang yang bersangkutan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau batuk, pilek, dan sebagainya sebaiknya tetap memakai masker, demikian pula saat berada di kerumunan diimbau untuk tetap menggunakan masker.
Lebih lanjut, dia mengaku sejak WHO menyatakan pandemi menjadi endemi, sudah mengecek ke Organisasi Kesehatan Dunia itu namun belum menemukan panduan terkait langkah-langkah yang harus dilakukan setelah pencabutan status tersebut.
"Seharusnya ada panduan yang nantinya diacu oleh semua negara termasuk Indonesia karena negara ini 'kan juga harus mengubah regulasi, banyak itu. Juga keppres (keputusan presiden) yang menyatakan COVID-19 sebagai bencana nasional nonalam itu kan harus dicabut dan semua regulasi lain harus mengikuti," jelasnya.
Ia mengatakan hal itu konsekuensinya nanti terkait dengan biaya, sehingga nantinya ada langkah-langkah tentang bagaimana pencegahan dan penanggulangan COVID-19 itu bisa terintegrasi ke dalam pelayanan dan pembiayaan yang sudah ada di Indonesia.
Menurut dia, salah satu hal yang penting dalam surat edaran tersebut berupa anjuran untuk tetap melakukan vaksinasi COVID-19 hingga vaksin penguat (booster) kedua atau vaksin dosis keempat
"Itu nanti kalau sudah dicabut keppresnya, jadi bukan sebuah wabah, nanti siapa yang harus membayar biaya vaksin. Nah kalau masuk program, berarti tanggung jawab pemerintah tapi kalau tidak masuk program, berarti yang mampu harus bayar sendiri, sedangkan yang miskin mungkin masih tetap bisa dijamin oleh pemerintah," tegasnya.
Akan tetapi permasalahannya sekarang yang vaksinnya masih gratis, kata dia, target vaksin penguat 1 dan 2 hingga saat ini belum tercapai.
Dia mencontohkan di Banyumas yang ditargetkan 50 persen dari jumlah penduduk, hingga saat ini pencapaian vaksin penguat 1 baru sekitar 40 persen.
"Apalagi vaksin 'booster' 2 masih sangat jauh dari target," tegas Yudhi.
Ia mengaku telah menyampaikan permasalahan tersebut saat mengikuti rapat Satgas COVID-19 Kabupaten Banyumas yang dipimpin Wakil Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono.
Bahkan saat itu, kata dia, Wabup Banyumas meminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat atau pihak terkait untuk membuat semacam poster yang berisikan imbauan agar tetap menggunakan masker bagi yang sakit serta segera untuk vaksin hingga dosis keempat.
"Poster itu rencananya akan dibagikan ke seluruh desa/kelurahan di Banyumas. Jadi, sudah tidak ada yang salah karena sekarang pandemi sudah menjadi endemi," jelasnya.
Baca juga: Tim mahasiswa Unsed raih medali perak di kompetisi internasional