Pendekatan humanistik terhadap anak terdampak pandemi di daerah pinggiran
Oleh Nisa Roiyasa*/Nur Istibsaroh
Teknik Dongeng-Tulis bisa menjadi terapi psikis dan literasi untuk anak terdampak pandemi
Semarang (ANTARA) - Semenjak Indonesia ditetapkan sebagai negara yang sudah terjangkiti virus COVID-19 pada Maret, 2020, pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak krisis pada lini-lini paling rentan untuk mengatasi keadaan darurat. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Atas kebijakan tersebut, dunia pendidikan pun menerapkan study from home atau belajar dari rumah. Pembelajaran yang awalnya dilakukan secara tatap muka pada dimensi ruang fisik yang sama berubah menjadi model pembelajaran jarak jauh melalui media online atau daring (dalam jaringan).
Di satu sisi, pembelajaran daring memberikan penyadaran akan potensi internet yang luar biasa bagi dunia pendidikan. Namun, di sisi lain, berkurangnya ruang anak untuk bersosialisasi di tengah pemberlakuan PPKM, juga menyimpan bahaya laten yang serius.
Nadiem Makarim, menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyampaikan di laman Kemdikbud bahwa efek dari pembelajaran jarak jauh secara berkepanjangan bisa sangat negatif dan permanen bagi peserta didik.
Dampak yang negatif dan permanen itu khususnya mengancam para siswa pada tingkat sekolah dasar. Ini menjadi ancaman yang serius mengingat masa sekolah dasar adalah masa ditanamkannya nilai-nilai, keterampilan, dan pengetahuan dasar bagi perkembangan fisik, kognitif, dan afektif anak.
Kompleksitas daerah pinggiran dan nasib pendidikan anak semasa pandemi
Daerah pedesaan pinggiran selama ini lebih berperan sebagai pelaku pasif kebijakan daerah dan pusat. Kajian dan diskusi mengenai dampak pandemi pun lebih banyak dilakukan di daerah perkotaan.
Persis di akhir tahun 2021, kami melakukan penelitian di sejumlah sekolah dasar daerah pinggiran Banyumas tepatnya di Kecamatan Lumbir sampai dengan November 2022 untuk melihat dampak pandemi dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) terhadap aspek literasi dan psikologis siswa di daerah dengan akses teknologi dan tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah.
Hasil penelitian awal didapatkan data dampak pandemi bagi dunia pendidikan di Kabupaten Banyumas cenderung bersifat negatif. Di antara permasalahan yang muncul yaitu penurunan moral dan kedisiplinan anak, penurunan keterampilan literasi, dan penguasaan materi ajar anak (learning loss), penurunan keterampilan bersosialisasi, penyalahgunaan gawai, dan ketidakstabilan emosi.
Permasalahan tersebut senada dengan peringatan yang pernah disampaikan BBC Worklife (2020) mengenai potensi peningkatan permasalahan kesehatan mental yang berkepanjangan selama pandemi khususnya pada anak-anak.
Permasalahan menjadi lebih pelik saat masuk ke daerah pinggiran. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, Kecamatan Lumbir yang berada di perbatasan Banyumas sebelah barat ini, memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak ke empat di Banyumas.
Angka kemiskinan yang tinggi memaksa banyak warganya untuk bekerja di kota-kota besar atau menjadi TKI/TKW di luar negeri. Banyak anak-anak di Kecamatan Lumbir yang tidak tinggal dengan orang tua lengkap karena ayah, atau ibu, atau kedua ayah ibunya harus bekerja di luar kota selama diberlakukannya PJJ.
Anak-anak sekolah dasar banyak yang tinggal bersama wali mereka seperti kakek, nenek, paman, bibi atau kakak. Merekalah yang menjadi pendamping belajar saat COVID-19 menyerang. Sayangnya, mereka bukanlah golongan masyarakat yang melek teknologi.
Selain permasalahan pendamping belajar, wilayah perbatasan juga harus menghadapi permasalahan ketersediaan fasilitas belajar dan teknologi. Sejumlah desa di Lumbir banyak yang belum tersedia sinyal internet dan minimnya kepemilikan gawai untuk sarana PJJ.
Kesalahan penanganan psikologis pada pendampingan pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua dan wali bisa mengakibatkan trauma substansial pada perkembangan fisik dan psikis anak.
Pada pembelajaran tatap muka kelas guru-siswa, siswa bisa secara langsung meminta support emosional dan kognitif saat mereka mengalami kesusahan dalam belajar. guru adalah pendidik profesional yang telah dibekali ilmu dalam pendampingan belajar.
Di situasi pembelajaran daring, siswa cenderung kerap mendapat treatment yang kontraproduktif dan justru meningkatkan tingkat stressed siswa saat mereka mengalami kesusahan dalam belajar dari pendamping belajar di lingkungan rumah.
Cerita salah satu siswa yang harus tinggal bersama neneknya menggambarkan tentang proses belajar di rumah yang cenderung menyerahkan semuanya ke siswa untuk secara mandiri menyelesaikan tugas sekolah yang diberikan karena minimnya pengetahuan pendamping belajar terhadap materi dan media teknologi yang digunakan. Sebagian yang lain merespon dengan sikap agresif dan menyalahkan (blaming).
Teknik dongeng-tulis sebagai terapi psikis dan literasi
Memasuki tahun 2022, seluruh sekolah di Indonesia sudah melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM). Permasalahan kompleks yang dihadapi oleh peserta didik di atas, maka dibutuhkan waktu adaptasi dan pendekatan yang tepat oleh sekolah tatkala anak didik harus kembali ke sekolah.
Prioritas utama sekolah saat kembali melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah seharusnya adalah mengembalikan keceriaan siswa dan semangat belajar mereka melalui terapi dan perlakuan yang tepat. Learning loss atau tidak tercapainya capaian belajar karena tidak didapatkannya suatu pengetahuan karena kondisi tertentu bukanlah akar masalah anak pasca-PJJ.
Houfman (2021) pada artikel ilmiahnya di jurnal Humanistic Psychology menyampaikan dalam menangani anak yang terdampak pandemi baik dalam hal kemampuan belajar maupun aspek psikisnya, dibutuhkan penggalian yang dalam dulu terhadap kondisi emosi seorang siswa.
Pemahaman emosi manusia merupakan dasar dari pendekatan eksistensial-humanistik dalam dunia psikologi. Pemfokusan pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi tidak disarankan karena penanganan tersebut dianggap berorientasi pada gejala dan intervensi jangka pendek.
Untuk menggali emosi anak, guru harus ada dorongan untuk ingin tahu dan mampu bertahan dalam mendengar secara seksama ungkapan emosi si anak melalui cerita-cerita yang mereka sampaikan, dengan kata lain metode bercerita (mendongeng) adalah metode yang sangat direkomendasikan dalam penggalian emosi pasca-pandemi pada siswa.
Tim peneliti kemudian mengembangkan sebuah teknik bernama Teknik Dongeng-Tulis yang berisikan langkah-langkah dalam penggalian emosi siswa hingga sampai tahap penulisan cerita kreatif pandemi anak. Metode ini melibatkan rangkaian dari menyimak, mengekspresikan emosi, bercerita, dan menulis, sehingga metode ini bisa menjadi terapi psikis dan literasi untuk anak terdampak pandemi.
Pengalaman pandemi sebagai sumber belajar
Cerita pandemi anak, menjadi kunci awal penggalian informasi bagi guru dalam menganalisis masalah dan menentukan beragam langkah intervensi yang bisa dilakukan. Menariknya, mendongeng atau bercerita baik secara lisan maupun tertulis telah menjadi media literasi yang sangat lekat bagi masyarakat hampir di seluruh dunia bahkan sudah ribuan tahun digunakan sebagai media literasi tradisional.
Skema penggalian emosi anak melalui cerita pandemi, secara tidak langsung mengubah pandangan dari pandemi sebagai bencana menjadi pengalaman pandemi sebagai sumber belajar. Setiap anak memiliki cerita pandeminya masing-masing yang bersifat sangat personal, unik, dan memiliki konteksnya masing-masing.
Di awal penerapan Teknik Dongeng-Tulis, peneliti dan guru ditemani dengan psikolog profesional dan pendongeng membangun ikatan emosional dengan siswa agar siswa lebih merasa leluasa menyampaikan ceritanya.
Pemberian dongeng bertemakan pandemi yang diberikan secara interaktif memberikan trigger atau pemicu bagi siswa untuk membangun memori masa pandemi yang paling berkesan dan mengantarkan siswa pada emosi terdalam mereka.
Memori dan ekspresi mereka lalu disalurkan melalui beberapa media seperti gambar atau alat musik. Melalui gambar-gambar ini, memori dan emosi mereka lebih semakin jelas. Setelah itu, siswa diberikan keleluasaan untuk bercerita apapun yang berhubungan dengan pengalaman pandemi mereka.
Dari penelitian yang kami lakukan, apabila setiap proses mampu dilakukan dengan baik, di tahap bercerita ini, siswa akan terlihat bebas, leluasa, dan lugu dalam menyampaikan cerita-cerita pandemi mereka.
Beberapa siswa Lumbir bercerita tentang pelaksanaan proses belajar kelompok di sebuah rumah kosong yang agak naik di perbukitan untuk mendapatkan sinyal internet. Siswa yang lain bercerita bagaimana dia yang seharusnya berada di rumah, justru mengendap-endap pergi ke sungai untuk bermain air sembari mencari ikan. Saat ditemukan ibunya, dibawa kembali pulang, namun si anak dengan lugunya bercerita, berhasil menaiki dinding rumah dan kembali ke sungai.
Beberapa siswa bercerita tentang pengalaman anggota keluarganya yang terinfeksi COVID-19 dan bagaimana keluarga mereka menerapkan protokol kesehatan. Ada juga cerita bagaimana para siswa menahan kerinduan mereka tatkala ayah atau ibu mereka tidak bisa pulang di hari lebaran karena pembatasan masa pandemi.
Proses mereka membangun cerita, menyimak cerita, mengekspresikan pengalaman, dan menuliskan pengalaman masa pandemi menjadi data bagi sekolah, dalam hal ini guru, untuk memahami situasi kebatinan mereka, menentukan treatment terbaik, dan di saat yang sama, menjadi aktivitas literasi yaitu berupa penyaluran pengalaman psikologis melalui penulisan kreatif.
Menggunakan metode teknik dongeng tulis ternyata mampu menggali data-data yang mendalam tentang kondisi psikologis dan trauma siswa, faktor-faktor penghambat belajar, kedisiplinan, dan perubahan sikap siswa sekaligus sebagai sarana terapi literasi karena rangkaian kegiatan mencakup seluruh ranah literasi dasar berupa membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Rangkaian kegiatan tersebut bisa menjadi model bagi terapi literasi dan psikologis siswa terdampak pandemi.
Dalam dunia pendidikan formal, walaupun sekolah ditargetkan oleh kurikulum melalui capaian pembelajaran, namun tetap harus memperhatikan kebutuhan mental psikologis siswa sebagai korban bencana pandemi COVID-19.
Inilah esensi pendekatan humanistik yang seharusnya dipahami dan diterapkan oleh guru. Pemahaman guru terhadap emosi mendalam siswa dan membangun suasana belajar yang menyenangkan dengan sendirinya akan meningkatkan motivasi belajar.
Pendekatan tersebut bukan hanya dapat mempercepat capaian pembelajaran siswa, namun juga dapat memberikan efek jangka panjang karena menyasar pada permasalahan mendalam siswa.
*Penulis: Nisa Roiyasa
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman
dan Tim Riset LPDP 2022
Atas kebijakan tersebut, dunia pendidikan pun menerapkan study from home atau belajar dari rumah. Pembelajaran yang awalnya dilakukan secara tatap muka pada dimensi ruang fisik yang sama berubah menjadi model pembelajaran jarak jauh melalui media online atau daring (dalam jaringan).
Di satu sisi, pembelajaran daring memberikan penyadaran akan potensi internet yang luar biasa bagi dunia pendidikan. Namun, di sisi lain, berkurangnya ruang anak untuk bersosialisasi di tengah pemberlakuan PPKM, juga menyimpan bahaya laten yang serius.
Nadiem Makarim, menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyampaikan di laman Kemdikbud bahwa efek dari pembelajaran jarak jauh secara berkepanjangan bisa sangat negatif dan permanen bagi peserta didik.
Dampak yang negatif dan permanen itu khususnya mengancam para siswa pada tingkat sekolah dasar. Ini menjadi ancaman yang serius mengingat masa sekolah dasar adalah masa ditanamkannya nilai-nilai, keterampilan, dan pengetahuan dasar bagi perkembangan fisik, kognitif, dan afektif anak.
Kompleksitas daerah pinggiran dan nasib pendidikan anak semasa pandemi
Daerah pedesaan pinggiran selama ini lebih berperan sebagai pelaku pasif kebijakan daerah dan pusat. Kajian dan diskusi mengenai dampak pandemi pun lebih banyak dilakukan di daerah perkotaan.
Persis di akhir tahun 2021, kami melakukan penelitian di sejumlah sekolah dasar daerah pinggiran Banyumas tepatnya di Kecamatan Lumbir sampai dengan November 2022 untuk melihat dampak pandemi dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) terhadap aspek literasi dan psikologis siswa di daerah dengan akses teknologi dan tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah.
Hasil penelitian awal didapatkan data dampak pandemi bagi dunia pendidikan di Kabupaten Banyumas cenderung bersifat negatif. Di antara permasalahan yang muncul yaitu penurunan moral dan kedisiplinan anak, penurunan keterampilan literasi, dan penguasaan materi ajar anak (learning loss), penurunan keterampilan bersosialisasi, penyalahgunaan gawai, dan ketidakstabilan emosi.
Permasalahan tersebut senada dengan peringatan yang pernah disampaikan BBC Worklife (2020) mengenai potensi peningkatan permasalahan kesehatan mental yang berkepanjangan selama pandemi khususnya pada anak-anak.
Permasalahan menjadi lebih pelik saat masuk ke daerah pinggiran. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, Kecamatan Lumbir yang berada di perbatasan Banyumas sebelah barat ini, memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak ke empat di Banyumas.
Angka kemiskinan yang tinggi memaksa banyak warganya untuk bekerja di kota-kota besar atau menjadi TKI/TKW di luar negeri. Banyak anak-anak di Kecamatan Lumbir yang tidak tinggal dengan orang tua lengkap karena ayah, atau ibu, atau kedua ayah ibunya harus bekerja di luar kota selama diberlakukannya PJJ.
Anak-anak sekolah dasar banyak yang tinggal bersama wali mereka seperti kakek, nenek, paman, bibi atau kakak. Merekalah yang menjadi pendamping belajar saat COVID-19 menyerang. Sayangnya, mereka bukanlah golongan masyarakat yang melek teknologi.
Selain permasalahan pendamping belajar, wilayah perbatasan juga harus menghadapi permasalahan ketersediaan fasilitas belajar dan teknologi. Sejumlah desa di Lumbir banyak yang belum tersedia sinyal internet dan minimnya kepemilikan gawai untuk sarana PJJ.
Kesalahan penanganan psikologis pada pendampingan pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua dan wali bisa mengakibatkan trauma substansial pada perkembangan fisik dan psikis anak.
Pada pembelajaran tatap muka kelas guru-siswa, siswa bisa secara langsung meminta support emosional dan kognitif saat mereka mengalami kesusahan dalam belajar. guru adalah pendidik profesional yang telah dibekali ilmu dalam pendampingan belajar.
Di situasi pembelajaran daring, siswa cenderung kerap mendapat treatment yang kontraproduktif dan justru meningkatkan tingkat stressed siswa saat mereka mengalami kesusahan dalam belajar dari pendamping belajar di lingkungan rumah.
Cerita salah satu siswa yang harus tinggal bersama neneknya menggambarkan tentang proses belajar di rumah yang cenderung menyerahkan semuanya ke siswa untuk secara mandiri menyelesaikan tugas sekolah yang diberikan karena minimnya pengetahuan pendamping belajar terhadap materi dan media teknologi yang digunakan. Sebagian yang lain merespon dengan sikap agresif dan menyalahkan (blaming).
Teknik dongeng-tulis sebagai terapi psikis dan literasi
Memasuki tahun 2022, seluruh sekolah di Indonesia sudah melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM). Permasalahan kompleks yang dihadapi oleh peserta didik di atas, maka dibutuhkan waktu adaptasi dan pendekatan yang tepat oleh sekolah tatkala anak didik harus kembali ke sekolah.
Prioritas utama sekolah saat kembali melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah seharusnya adalah mengembalikan keceriaan siswa dan semangat belajar mereka melalui terapi dan perlakuan yang tepat. Learning loss atau tidak tercapainya capaian belajar karena tidak didapatkannya suatu pengetahuan karena kondisi tertentu bukanlah akar masalah anak pasca-PJJ.
Houfman (2021) pada artikel ilmiahnya di jurnal Humanistic Psychology menyampaikan dalam menangani anak yang terdampak pandemi baik dalam hal kemampuan belajar maupun aspek psikisnya, dibutuhkan penggalian yang dalam dulu terhadap kondisi emosi seorang siswa.
Pemahaman emosi manusia merupakan dasar dari pendekatan eksistensial-humanistik dalam dunia psikologi. Pemfokusan pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi tidak disarankan karena penanganan tersebut dianggap berorientasi pada gejala dan intervensi jangka pendek.
Untuk menggali emosi anak, guru harus ada dorongan untuk ingin tahu dan mampu bertahan dalam mendengar secara seksama ungkapan emosi si anak melalui cerita-cerita yang mereka sampaikan, dengan kata lain metode bercerita (mendongeng) adalah metode yang sangat direkomendasikan dalam penggalian emosi pasca-pandemi pada siswa.
Tim peneliti kemudian mengembangkan sebuah teknik bernama Teknik Dongeng-Tulis yang berisikan langkah-langkah dalam penggalian emosi siswa hingga sampai tahap penulisan cerita kreatif pandemi anak. Metode ini melibatkan rangkaian dari menyimak, mengekspresikan emosi, bercerita, dan menulis, sehingga metode ini bisa menjadi terapi psikis dan literasi untuk anak terdampak pandemi.
Pengalaman pandemi sebagai sumber belajar
Cerita pandemi anak, menjadi kunci awal penggalian informasi bagi guru dalam menganalisis masalah dan menentukan beragam langkah intervensi yang bisa dilakukan. Menariknya, mendongeng atau bercerita baik secara lisan maupun tertulis telah menjadi media literasi yang sangat lekat bagi masyarakat hampir di seluruh dunia bahkan sudah ribuan tahun digunakan sebagai media literasi tradisional.
Skema penggalian emosi anak melalui cerita pandemi, secara tidak langsung mengubah pandangan dari pandemi sebagai bencana menjadi pengalaman pandemi sebagai sumber belajar. Setiap anak memiliki cerita pandeminya masing-masing yang bersifat sangat personal, unik, dan memiliki konteksnya masing-masing.
Di awal penerapan Teknik Dongeng-Tulis, peneliti dan guru ditemani dengan psikolog profesional dan pendongeng membangun ikatan emosional dengan siswa agar siswa lebih merasa leluasa menyampaikan ceritanya.
Pemberian dongeng bertemakan pandemi yang diberikan secara interaktif memberikan trigger atau pemicu bagi siswa untuk membangun memori masa pandemi yang paling berkesan dan mengantarkan siswa pada emosi terdalam mereka.
Memori dan ekspresi mereka lalu disalurkan melalui beberapa media seperti gambar atau alat musik. Melalui gambar-gambar ini, memori dan emosi mereka lebih semakin jelas. Setelah itu, siswa diberikan keleluasaan untuk bercerita apapun yang berhubungan dengan pengalaman pandemi mereka.
Dari penelitian yang kami lakukan, apabila setiap proses mampu dilakukan dengan baik, di tahap bercerita ini, siswa akan terlihat bebas, leluasa, dan lugu dalam menyampaikan cerita-cerita pandemi mereka.
Beberapa siswa Lumbir bercerita tentang pelaksanaan proses belajar kelompok di sebuah rumah kosong yang agak naik di perbukitan untuk mendapatkan sinyal internet. Siswa yang lain bercerita bagaimana dia yang seharusnya berada di rumah, justru mengendap-endap pergi ke sungai untuk bermain air sembari mencari ikan. Saat ditemukan ibunya, dibawa kembali pulang, namun si anak dengan lugunya bercerita, berhasil menaiki dinding rumah dan kembali ke sungai.
Beberapa siswa bercerita tentang pengalaman anggota keluarganya yang terinfeksi COVID-19 dan bagaimana keluarga mereka menerapkan protokol kesehatan. Ada juga cerita bagaimana para siswa menahan kerinduan mereka tatkala ayah atau ibu mereka tidak bisa pulang di hari lebaran karena pembatasan masa pandemi.
Proses mereka membangun cerita, menyimak cerita, mengekspresikan pengalaman, dan menuliskan pengalaman masa pandemi menjadi data bagi sekolah, dalam hal ini guru, untuk memahami situasi kebatinan mereka, menentukan treatment terbaik, dan di saat yang sama, menjadi aktivitas literasi yaitu berupa penyaluran pengalaman psikologis melalui penulisan kreatif.
Menggunakan metode teknik dongeng tulis ternyata mampu menggali data-data yang mendalam tentang kondisi psikologis dan trauma siswa, faktor-faktor penghambat belajar, kedisiplinan, dan perubahan sikap siswa sekaligus sebagai sarana terapi literasi karena rangkaian kegiatan mencakup seluruh ranah literasi dasar berupa membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Rangkaian kegiatan tersebut bisa menjadi model bagi terapi literasi dan psikologis siswa terdampak pandemi.
Dalam dunia pendidikan formal, walaupun sekolah ditargetkan oleh kurikulum melalui capaian pembelajaran, namun tetap harus memperhatikan kebutuhan mental psikologis siswa sebagai korban bencana pandemi COVID-19.
Inilah esensi pendekatan humanistik yang seharusnya dipahami dan diterapkan oleh guru. Pemahaman guru terhadap emosi mendalam siswa dan membangun suasana belajar yang menyenangkan dengan sendirinya akan meningkatkan motivasi belajar.
Pendekatan tersebut bukan hanya dapat mempercepat capaian pembelajaran siswa, namun juga dapat memberikan efek jangka panjang karena menyasar pada permasalahan mendalam siswa.
*Penulis: Nisa Roiyasa
Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman
dan Tim Riset LPDP 2022