Eceng Gondok, Energi alternatif di tepian Waduk Cengklik
Semarang (ANTARA) - Di tepian Waduk Cengklik, Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, sekelompok masyarakat sibuk memilah dan memasukkan eceng gondok ke dalam mesin pencacah yang telah disiapkan di atas terpal biru.
Di temui di lokasi pada Selasa, 18 Oktober 2022, sebagian dari mereka memasukkan eceng gondok ke mesin, sebagian lainnya menata potongan-potongan eceng gondok agar tidak terkumpul di satu tempat.
Para warga ini tergabung dalam Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari. Mereka sedang menjalankan proyek mengubah eceng gondok (Eichornia crassipes) yang merupakan tumbuhan pengganggu (gulma) perairan menjadi sumber energi berupa biogas, pupuk cair organik, dan pupuk padat dengan pendampingan dari Pertamina Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Adi Soemarmo.
Tumbuhan yang biasa hidup mengapung di air ini, pertama kali ditemukan seorang ilmuwan yang juga ahli botani berkebangsaan Jerman Carl Fredrich Philipp Von Martius pada 1824 saat melakukan ekspedisi di Sungai Amazon, Brasil. Awalnya eceng gondok didatangkan ke Indonesia tahun 1894 dari Brasil untuk koleksi Kebun Raya Bogor, namun kemudian menyebar luas dengan cepat.
Pada perairan yang mengandung banyak nutrient, seperti halnya danau yang menjadi pusat aliran, dalam waktu tujuh sampai 10 hari, eceng gondok bisa berkembang biak menjadi dua kali lipat laju pertumbuhannya.
Hal ini diakui warga sekitar Waduk Cengklik yang mengaku pertumbuhan populasi eceng gondok sangat cepat dan menyebabkan pendangkalan waduk, menurunkan produksi ikan karena eceng gondok mengambil ruang dan unsur hara yang dibutuhkan ikan. Beragam upaya telah dilakukan seperti membersihkan waduk dari eceng gondok dengan menjadikannya sebagai pakan ternak bebek, namun langkah tersebut tidak berhasil.
Tanaman yang sebagian masyarakat menyebutnya sebagai gulma, sampah, atau bahkan sebagai "kutukan" ini sebenarnya memiliki kelebihan karena kemampuannya yang menyerap potasium juga logam-logam berat seperti Chromium (Cr), Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Besi (Fe), dan Seng (Zn) dengan baik.
Selain itu, pada eceng gondok memiliki kandungan 43 persen hemiselulosa dan selulosa sebesar 17 persen yang keduanya sangat bagus untuk menghasilkan gas metan (CH4) dan Karbondioksida (CO2), sehingga sangat tepat jika digunakan untuk pembuatan biogas, pupuk cair organik, dan pupuk padat.
"Kami telah melakukan kajian sosial dan maping sebelum melakukan pendampingan proyek ini, karena kami tidak boleh asal-asalan. Eceng gondok merupakan gulma di Waduk Cengklik karena menyebabkan sedimentasi. Masyarakat di sini sebagian besar petani, sehingga sangat tepat tidak hanya menyelamatkan waduk, tetapi juga menghasilkan pupuk untuk lahan pertanian mereka," kata Siti Fatonah selaku Community Development Officer Pertamina DPPU Adi Soemarmo saat ditemui di tempat yang sama.
Hasil pendampingan, lanjut Siti, telah menghasilkan pupuk cair organik dan pupuk padat yang telah diaplikasikan ke tanaman sayuran seperti kangkung, bayam, dan kenikir milik para anggota Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari sebanyak 26 orang dan hasilnya jauh lebih baik dibandingkan menggunakan pupuk kimia.
"Kami bahkan juga telah mengirimkan sample pupuk ke laboratorium termasuk uji tanah yang belum dan sudah menggunakan pupuk dari eceng gondok. Hanya hasil dari laboratorium belum keluar,” kata Siti.
Baca juga: Pertamina edukasi masyarakat manfaatkan eceng gondok sebagai sumber energi baru terbarukan
Siti menyebutkan sejumlah tahapan yang akan dilakukan setelah hasil dari laboratorium keluar dan hasilnya positif antara lain, pihaknya akan memintakan izin edar ke Dinas Pertanian agar produk yang dihasilkan dari eceng gondok bisa dipasarkan secara luas, menambah sarana dan prasarana untuk memproduksi pupuk cair dan padat lebih banyak lagi, dan agar jumlah petani yang mendapatkan manfaat dari proyek tersebut semakin banyak.
Untuk memastikan keberhasilan proyek tersebut, Siti mengaku Pertamina juga menggandeng pihak terkait yang telah jauh lebih lama berhasil melakukan proyek yang sama dalam memberikan pelatihan cara pembuatan biogas maupun pupuk dari eceng gondok.
Turut Raharjo selaku Ketua Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari menjelaskan cara pembuatan biogas bisa dilakukan setiap keluarga yakni dengan drum portable yang telah disiapkan Pertamina, cukup dengan memasukkan 100 liter air dan 100 kg eceng gondok yang telah dicacah kecil-kecil karena lobang untuk memasukkan hanya berdiameter sekitar 10 cm.
“Hanya air dan potongan eceng gondok yang dimasukkan ke drum dan tidak ada tambahan lainnya. Sekitar 21 hari baru terjadi pembusukan dan akan ada gas yang dihasilkan. Jika pembusukannya ingin lebih cepat, maka bisa memakai EM4. Komposisi satu banding satu itu akan menghasilkan gas yang dapat digunakan sekitar 15-20 menit,” kata Turut Raharjo.
Effective Microorganism 4 atau EM4 sendiri mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri atas bakteri Asam Laktat, bakteri Fotosintetik, Actinomycetes, Streptomyces SP, ragi, dan jamur pengurai selulosa untuk bahan memfermentasi.
Turut Raharjo menjelaskan jika ingin gas yang dihasilkan bisa lebih banyak, maka eceng gondok yang dimasukkan ke drum harus terus diulang dengan tujuan gasnya terus ada.
Untuk pembuatan pupuk eceng gondok pun mudah, katanya, yang pertama mencacah eceng gondok dengan menggunakan mesin, memberi tambahan pupuk kandang dengan perbandingan 100 kg eceng gondok ditambah 30 kg pupuk kandang.
Selain eceng gondok, pupuk kandang, dan air biasa 16 liter, untuk mempercepat pembusukan ditambahkan EM4 dan tetes tebu masing-masing 210 mililiter. Seluruh bahan diaduk agar merata, didiamkan dan ditutup terpal, serta ditempatkan pada tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari. Setiap tujuh hari atau seminggu sekali diaduk lagi. Setelah tiga minggu atau 21 hari pupuk padat sudah dapat dimanfaatkan namun kadar airnya masih tinggi.
"Biasanya butuh waktu sampai tiga bulan, jika ingin pupuknya kering dan kadar airnya sudah berkurang banyak. Kalau kering untuk dibawa ke sawah ringan dan mudah untuk disebar ke tanaman," kata Turut Raharjo.
Sementara untuk membuat pupuk organik cair, kata Turut Raharjo, hampir sama dengan pembuatan pupuk eceng gondok padat, yang membedakan potongan eceng gondok harus ditempatkan di wadah seperti ember atau drum dengan komposisi 10 kg eceng gondok ditambah tauge 2 kg, dan untuk mempercepat pembusukan ditambahkan EM4 dan tetes tebu masing-masing 250 mililiter.
Setelah itu wadah ditutup selama 21 hari untuk kemudian bisa dipanen dengan cara disaring, airnya menjadi pupuk organik cair dan dapat langsung dimanfaatkan, sedangkan ampasnya bisa dicampur untuk pembuatan pupuk padat, sehingga seluruhnya bisa terpakai.
Dukung Proklim
Seluruh proyek tersebut, lanjut Siti Fatonah, menjadi salah satu upaya untuk mendukung program pemerintah yakni Program Kampung Iklim (Proklim). Proklim merupakan program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Program tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah setempat.
Bahkan proyek di wilayah Boyolali tersebut masuk dalam komponen utama Proklim yakni adaptasi dan mitigasi. Pada komponen adaptasi (warga melakukan upaya peningkatan ketahanan pangan), sementara pada komponen mitigasi (warga melakukan pengelolaan sampah dalam hal ini eceng gondok; menggunakan energi baru terbarukan yakni biogas eceng gondok; budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca).
Strategi yang diterapkan oleh masyarakat pun telah sesuai dengan Proklim yakni dengan menjalin kemitraan dengan Pertamina; meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna yang mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal dan kegiatan ekonomi masyarakat.
“Masyarakat memanfaatkan semuanya organik dan bisa menghasilkan pupuk dan biogas. Hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pupuk untuk lahan pertanian mereka sekaligus untuk menyuburkan tanah. Begitu juga gas yang dihasilkan. Ini (proyek,red.) juga mendapatkan dukungan dari semua pihak termasuk pak lurah dan apa yang dilakukan sesuai yang dibutuhkan masyarakat,” kata Siti Fatonah.
Siti Fatonah mengakui proyek yang dijalankan tersebut sangat potensial, ditambah adanya semangat yang luar biasa dari masyarakat setempat untuk terus mau belajar dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan hasilnya pun sudah terlihat memuaskan.
Turut Raharjo menjelaskan sejak Juni 2022 dengan bantuan berupa satu mesin pencacah, timbangan, dan sejumlah drum, Pokmas Ngudi Tirto Lestari telah memanen 500 kg pupuk padat eceng gondok dan telah diujicobakan ke tanaman sayuran dan hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan menggunakan pupuk kimia.
“Biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli molase tetes tebu dan EM4 agar mempercepat pembusukan eceng gondok, harganya pun murah yakni Rp30rb bisa untuk ratusan kilogram atau empat kali tanam sayuran. Berbeda jika menggunakan pupuk kimia diperlukan biaya Rp80 ribu untuk satu kali tanam, belum lagi petani harus membeli pestisidanya,” katanya.
Ia mengakui dengan pupuk eceng gondok membuat para petani berhemat, karena tidak lagi perlu membeli pupuk kimia dan tidak perlu membeli pestisida karena tanaman yang sudah cukup pasokan nutrisi dari pupuk eceng gondok menyebabkan tanaman lebih sehat, sehingga tahan terhadap penyakit, dan tidak mudah terserang hama.
Karena tidak ada hama dan sehat, Turut Raharjo mengaku tanaman sayuran yang dipanen terlihat segar, daun berwarna lebih hijau, dan lebih gemuk batangnya. Secara keseluruhan hasilnya memuaskan bagi para petani.
“Kami berterima kasih kepada Pertamina karena telah membantu kami menemukan solusi dari permasalahan yang kami alami selama ini, bahkan memberikan nilai pemanfaatan dari masalah tersebut,” kata Turut Raharjo.
Surahmin, Kepala Desa Sobokerto mengaku senang dengan proyek yang mendapat pendampingan dari Pertamina karena tidak hanya membantu petani setempat karena tidak perlu lagi membeli pupuk kimia, sehingga membantu program pemerintah dalam pengurangan pupuk bersubsidi, tetapi juga menjadi upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan Waduk Cengklik.
“Kami menyebut eceng gondok sebagai sampah, karena perkembangannya cepat dan waduk menjadi penuh tanaman. Di sini pernah dilakukan pengangkatan eceng gondok, tetapi ya karena perkembangannya cepat jadi ya banyak lagi. Adanya proyek ini, petani mendapat manfaat pupuk dan biogas, waduk bisa bersih, pencari ikan dan yang berwisata ke waduk semuanya bisa berjalan lancar,” kata Surahmin.
Brasto Galih Nugroho selaku Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility Regional (CSR) Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga menjelaskan proyek yang diterapkan di Desa Sobokerto tersebut merupakan wujud kepedulian terhadap lingkungan, khususnya dalam menjaga kelestarian Waduk Cengklik di Boyolali.
Pertamina menjalankan Program CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Desa Energi Berdikari, utamanya dengan mengedukasi masyarakat memanfaatkan eceng gondok di sekitar waduk sebagai sumber energi baru terbarukan.
Pertamina melihat Waduk Cengklik merupakan kawasan perairan di Boyolali yang tidak hanya menjadi salah satu ikon wisata alam, tapi juga memberikan dampak lingkungan dan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Apalagi waduk buatan dengan luas genangan mencapai 300 hektare tersebut mampu menarik wisatawan setidaknya 13 ribu orang per tahun. Tidak hanya itu waduk tersebut juga menjadi sumber mata pencaharian bagi nelayan dan sumber pengairan lahan pertanian di sekitar waduk.
"Setidaknya masyarakat di dua kecamatan di sekitar Waduk Cengklik, yaitu Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Nogosari menggantungkan sumber air dari waduk tersebut," kata Brasto.
Baca juga: Kurangi pertumbuhan eceng gondok, Perum Jasa Tirta tebar benih ikan di Rawa Pening
Potensi yang besar itu, menurut Brasto, Waduk Cengklik memiliki permasalahan tersendiri, yaitu sedimentasi waduk yang disebabkan keberadaan enceng gondok yang berlebih.
"Hal itu menyebabkan daya tampung air yang semakin surut dari waktu ke waktu, mengingat tanaman eceng gondok dapat terus bertumbuh dengan cepat. Jika dibiarkan tentu akan mengganggu kebutuhan air bagi orang banyak. Berangkat dari hal tersebut, Pertamina memberikan edukasi kepada kelompok masyarakat untuk mengumpulkan dan mengolah eceng gondok, utamanya sebagai bahan bakar biogas,” kata Brasto.
Adanya pendampingan dari Pertamina, tambah Brasto, hal itu tidak hanya dapat menjaga kelestarian Waduk Cengklik, tapi juga mengurangi penggunaan pupuk kimia oleh petani, sehingga bahan yang digunakan lebih ramah lingkungan, dan memberikan penghematan serta hasil panen yang lebih sehat dan organik.
Brasto menjelaskan dari program CSR yang dijalankan di Desa Sobokerto, Boyolali tersebut merupakan salah satu wujud dari penerapan komitmen ESG atau environment, social, governance yang dijalankan Pertamina.
Selain itu, kata Brasto, program tersebut juga ikut berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) utamanya pada poin 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), poin 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), dan poin 13 (Penanganan Perubahan Iklim).
Energi terbarukan
Pemanfaatan bahan bakar fosil untuk membangkitkan energi tidak selamanya bisa dilakukan karena merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan berdampak persediaannya semakin menipis. Bahkan hasil penelitian mencatat energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam akan habis pada 2050.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada pertengahan Oktober 2022 dalam sebuah acara di Padang bahkan mengatakan cadangan energi Indonesia dari fosil bisa habis dalam 15 tahun atau kurang dari 2050 mengacu konsumsi bahan bakar saat ini.
Konsumsi bahan bakar minyak untuk sepeda motor 700 ribu barel per hari (dengan asumsi ada 120 juta sepeda motor dan jika dalam sehari menghabiskan seperempat liter), belum lagi untuk konsumsi kendaraan roda empat.
Sementara sumur minyak hanya mampu memproduksi 700 ribu barel per hari dan di tingkat puncak 1,2 juta barel per hari, hal itu menandakan sumur minyak sudah tua. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menghadapi hal tersebut di antaranya selain pencarian sumur baru, dibutuhkan konversi dari bahan bakar fosil ke energi lain yang bersih dan terbarukan.
Pakar Lingkungan Universitas Diponegoro Prof Budiyono mengakui pentingnya energi baru terbarukan untuk menggantikan energi yang bersumber dari fosil dan menurutnya sebelum melangkah ke energi baru yang bersumber dari matahari dan angin, masyarakat bisa memanfaatkan limbah yang ada di sekitarnya sebagai sumber energi alternatif yang mudah dan murah seperti memanfaatkan eceng gondok.
"Sudah saatnya kembali dengan teknologi sederhana dan mudah diterapkan. Perlu kesadaran bersama bahwa fosil bisa habis, sementara Indonesia kaya akan sumber energi alternatif lainnya, sekaligus membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan. Di sisi lainnya menghasilkan energi. Apalagi Indonesia memiliki komitmen pencapaian bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025," kata Budiyono kepada ANTARA Jateng Senin, 24 Oktober 2022.
Baca juga: Gubernur Berharap Eceng Gondok Rawa Pening Dimanfaatkan
Menurutnya untuk mencapai target tersebut sangat memungkinkan, karena Indonesia sebagai negara agraris, kaya akan sumber energi baru terbarukan termasuk yang berbasis limbah pertanian dan gampang untuk mengubahnya menjadi biogas dan sumber energi lainnya.
"Kenapa limbah, karena jika bahannya bisa dimanfaatkan untuk yang lain maka bisa berkompetitif dengan pangan. Contohnya kepala sawit bisa dibuat sebagai biogas, namun sangat dibutuhkan untuk membuat minyak. Begitu juga tapioka bisa diubah menjadi bioetanol untuk biogas, tetapi tapioka dibutuhkan di bidang pangan, sehingga cukup dari limbahnya yang diolah untuk bahan energi," katanya.
Sementara untuk minyak jarak juga eceng gondok katanya, belum dimanfaatkan sebagai pangan, sehingga bisa dimanfaatkan langsung sebagai sumber energi baru terbarukan. Apalagi dari dulu eceng gondok selalu memunculkan masalah akibat eutrofikasi atau masalah lingkungan hidup berupa pencemaran air yang disebabkan munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air, sehingga eceng gondok pertumbuhannya terus ada.
Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan justru dengan memanfaatkannya dan salah satunya menjadi biogas, karena justru eceng gondok memenuhi parameter bagus untuk dibuat biogas yakni mengandung rasio karbon dan nitrogen atau carbon to nitrogen ratio atau C/N ratio.
"Jadi untuk membuat biogas salah satu parameternya adalah memiliki C/N ratio 20 sampai 30 agar pertumbuhan bakterinya bagus dan eceng gondok masuk dalam rentang itu. Cukup eceng gondok dan air, bakterinya sudah tumbuh dengan baik. Karena C/N rationya sudah ideal, sehingga sangat mudah untuk dibuat menjadi biogas dan tidak perlu perlakuan tambahan," kata Prof Budiyono.
Begitu menjadi
Bahkan mesin pencacah eceng gondok, lanjutnya, juga bisa menggunakan biogas. Jadi semua energi bersumber dari daerah setempat dan hasilnya untuk sumber energi yang bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, sehingga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Selain dari tanaman, limbah tanaman, tambahnya, ada juga sumber lain sumber energi baru terbarukan seperti kotoran ternak yang juga kaya akan nitrogen, sehingga cukup ditempatkan di tempat kedap udara dengan perbandingan satu banding satu antara kotoran hewan dengan air.
Ia menggambarkan seperti rantai makanan berupa perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan dalam hal ini eceng gondok, dicacah dijadikan biogas dan pupuk. Biogas untuk memasak dan penerangan, sedangkan pupuk untuk tanaman. Tanaman subur, dijual bisa dengan harga mahal, dan petani makmur. Bahkan jika lebih panjang alurnya, dari tanaman yang subur bisa dipakai untuk pakan ternak, ternaknya gemuk dan beranak banyak, kotoran ternaknya pun bisa diolah jadi biogas. Hal itu menjadikan pertanian dan peternakan maju beriringan.
Hal sama juga disampaikan Ninik Damayanti selaku Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah yang menilai pemanfaatan eceng gondok menjadi biogas dan pupuk sudah tepat karena tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi juga bisa menjadi salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem perairan.
Baca juga: Eceng Gondok Rawa Pening Bakal Diolah Jadi Energi
Eceng gondok, kata Ninik kepada ANTARA Jateng Rabu (2/11/2022), merupakan tumbuhan ekosistem rawa atau ekosistem buatan seperti waduk dan jika sampai blooming, pertumbuhannya menutupi permukaan rawa atau waduk, maka hal itu bisa mengganggu biota yang ada di perairan tersebut karena cahaya matahari dan oksigen menjadi terbatas.
Pertumbuhannya yang cepat juga bisa menyebabkan pendangkalan dan jika kemudian masyarakat setempat bisa memanfaatkannya secara berkelanjutan karena untuk bahan biogas dan pupuk, hal itu merupakan langkah bagus karena bisa mengurangi dampak pada ekosistem air yang disebabkan eceng gondok.
Memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan merupakan tugas kita semua. Begitu juga dengan memanfaatkan ciptaan-NYA secara maksimal dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan. Sejatinya memanfaatkan eceng gondok sebagai energi alternatif dan energi terbarukan adalah ikhtiar dalam mensyukuri nikmat Tuhan.
Baca juga: Kerajinan Eceng Gondok Raup Omzet Jutaan Rupiah
Di temui di lokasi pada Selasa, 18 Oktober 2022, sebagian dari mereka memasukkan eceng gondok ke mesin, sebagian lainnya menata potongan-potongan eceng gondok agar tidak terkumpul di satu tempat.
Para warga ini tergabung dalam Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari. Mereka sedang menjalankan proyek mengubah eceng gondok (Eichornia crassipes) yang merupakan tumbuhan pengganggu (gulma) perairan menjadi sumber energi berupa biogas, pupuk cair organik, dan pupuk padat dengan pendampingan dari Pertamina Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Adi Soemarmo.
Tumbuhan yang biasa hidup mengapung di air ini, pertama kali ditemukan seorang ilmuwan yang juga ahli botani berkebangsaan Jerman Carl Fredrich Philipp Von Martius pada 1824 saat melakukan ekspedisi di Sungai Amazon, Brasil. Awalnya eceng gondok didatangkan ke Indonesia tahun 1894 dari Brasil untuk koleksi Kebun Raya Bogor, namun kemudian menyebar luas dengan cepat.
Pada perairan yang mengandung banyak nutrient, seperti halnya danau yang menjadi pusat aliran, dalam waktu tujuh sampai 10 hari, eceng gondok bisa berkembang biak menjadi dua kali lipat laju pertumbuhannya.
Hal ini diakui warga sekitar Waduk Cengklik yang mengaku pertumbuhan populasi eceng gondok sangat cepat dan menyebabkan pendangkalan waduk, menurunkan produksi ikan karena eceng gondok mengambil ruang dan unsur hara yang dibutuhkan ikan. Beragam upaya telah dilakukan seperti membersihkan waduk dari eceng gondok dengan menjadikannya sebagai pakan ternak bebek, namun langkah tersebut tidak berhasil.
Tanaman yang sebagian masyarakat menyebutnya sebagai gulma, sampah, atau bahkan sebagai "kutukan" ini sebenarnya memiliki kelebihan karena kemampuannya yang menyerap potasium juga logam-logam berat seperti Chromium (Cr), Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Besi (Fe), dan Seng (Zn) dengan baik.
Selain itu, pada eceng gondok memiliki kandungan 43 persen hemiselulosa dan selulosa sebesar 17 persen yang keduanya sangat bagus untuk menghasilkan gas metan (CH4) dan Karbondioksida (CO2), sehingga sangat tepat jika digunakan untuk pembuatan biogas, pupuk cair organik, dan pupuk padat.
"Kami telah melakukan kajian sosial dan maping sebelum melakukan pendampingan proyek ini, karena kami tidak boleh asal-asalan. Eceng gondok merupakan gulma di Waduk Cengklik karena menyebabkan sedimentasi. Masyarakat di sini sebagian besar petani, sehingga sangat tepat tidak hanya menyelamatkan waduk, tetapi juga menghasilkan pupuk untuk lahan pertanian mereka," kata Siti Fatonah selaku Community Development Officer Pertamina DPPU Adi Soemarmo saat ditemui di tempat yang sama.
Hasil pendampingan, lanjut Siti, telah menghasilkan pupuk cair organik dan pupuk padat yang telah diaplikasikan ke tanaman sayuran seperti kangkung, bayam, dan kenikir milik para anggota Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari sebanyak 26 orang dan hasilnya jauh lebih baik dibandingkan menggunakan pupuk kimia.
"Kami bahkan juga telah mengirimkan sample pupuk ke laboratorium termasuk uji tanah yang belum dan sudah menggunakan pupuk dari eceng gondok. Hanya hasil dari laboratorium belum keluar,” kata Siti.
Baca juga: Pertamina edukasi masyarakat manfaatkan eceng gondok sebagai sumber energi baru terbarukan
Siti menyebutkan sejumlah tahapan yang akan dilakukan setelah hasil dari laboratorium keluar dan hasilnya positif antara lain, pihaknya akan memintakan izin edar ke Dinas Pertanian agar produk yang dihasilkan dari eceng gondok bisa dipasarkan secara luas, menambah sarana dan prasarana untuk memproduksi pupuk cair dan padat lebih banyak lagi, dan agar jumlah petani yang mendapatkan manfaat dari proyek tersebut semakin banyak.
Untuk memastikan keberhasilan proyek tersebut, Siti mengaku Pertamina juga menggandeng pihak terkait yang telah jauh lebih lama berhasil melakukan proyek yang sama dalam memberikan pelatihan cara pembuatan biogas maupun pupuk dari eceng gondok.
Turut Raharjo selaku Ketua Kelompok Masyarakat Ngudi Tirto Lestari menjelaskan cara pembuatan biogas bisa dilakukan setiap keluarga yakni dengan drum portable yang telah disiapkan Pertamina, cukup dengan memasukkan 100 liter air dan 100 kg eceng gondok yang telah dicacah kecil-kecil karena lobang untuk memasukkan hanya berdiameter sekitar 10 cm.
“Hanya air dan potongan eceng gondok yang dimasukkan ke drum dan tidak ada tambahan lainnya. Sekitar 21 hari baru terjadi pembusukan dan akan ada gas yang dihasilkan. Jika pembusukannya ingin lebih cepat, maka bisa memakai EM4. Komposisi satu banding satu itu akan menghasilkan gas yang dapat digunakan sekitar 15-20 menit,” kata Turut Raharjo.
Effective Microorganism 4 atau EM4 sendiri mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri atas bakteri Asam Laktat, bakteri Fotosintetik, Actinomycetes, Streptomyces SP, ragi, dan jamur pengurai selulosa untuk bahan memfermentasi.
Turut Raharjo menjelaskan jika ingin gas yang dihasilkan bisa lebih banyak, maka eceng gondok yang dimasukkan ke drum harus terus diulang dengan tujuan gasnya terus ada.
Untuk pembuatan pupuk eceng gondok pun mudah, katanya, yang pertama mencacah eceng gondok dengan menggunakan mesin, memberi tambahan pupuk kandang dengan perbandingan 100 kg eceng gondok ditambah 30 kg pupuk kandang.
Selain eceng gondok, pupuk kandang, dan air biasa 16 liter, untuk mempercepat pembusukan ditambahkan EM4 dan tetes tebu masing-masing 210 mililiter. Seluruh bahan diaduk agar merata, didiamkan dan ditutup terpal, serta ditempatkan pada tempat yang tidak langsung terkena sinar matahari. Setiap tujuh hari atau seminggu sekali diaduk lagi. Setelah tiga minggu atau 21 hari pupuk padat sudah dapat dimanfaatkan namun kadar airnya masih tinggi.
"Biasanya butuh waktu sampai tiga bulan, jika ingin pupuknya kering dan kadar airnya sudah berkurang banyak. Kalau kering untuk dibawa ke sawah ringan dan mudah untuk disebar ke tanaman," kata Turut Raharjo.
Sementara untuk membuat pupuk organik cair, kata Turut Raharjo, hampir sama dengan pembuatan pupuk eceng gondok padat, yang membedakan potongan eceng gondok harus ditempatkan di wadah seperti ember atau drum dengan komposisi 10 kg eceng gondok ditambah tauge 2 kg, dan untuk mempercepat pembusukan ditambahkan EM4 dan tetes tebu masing-masing 250 mililiter.
Setelah itu wadah ditutup selama 21 hari untuk kemudian bisa dipanen dengan cara disaring, airnya menjadi pupuk organik cair dan dapat langsung dimanfaatkan, sedangkan ampasnya bisa dicampur untuk pembuatan pupuk padat, sehingga seluruhnya bisa terpakai.
Dukung Proklim
Seluruh proyek tersebut, lanjut Siti Fatonah, menjadi salah satu upaya untuk mendukung program pemerintah yakni Program Kampung Iklim (Proklim). Proklim merupakan program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Program tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah setempat.
Bahkan proyek di wilayah Boyolali tersebut masuk dalam komponen utama Proklim yakni adaptasi dan mitigasi. Pada komponen adaptasi (warga melakukan upaya peningkatan ketahanan pangan), sementara pada komponen mitigasi (warga melakukan pengelolaan sampah dalam hal ini eceng gondok; menggunakan energi baru terbarukan yakni biogas eceng gondok; budidaya pertanian rendah emisi gas rumah kaca).
Strategi yang diterapkan oleh masyarakat pun telah sesuai dengan Proklim yakni dengan menjalin kemitraan dengan Pertamina; meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna yang mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal dan kegiatan ekonomi masyarakat.
“Masyarakat memanfaatkan semuanya organik dan bisa menghasilkan pupuk dan biogas. Hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pupuk untuk lahan pertanian mereka sekaligus untuk menyuburkan tanah. Begitu juga gas yang dihasilkan. Ini (proyek,red.) juga mendapatkan dukungan dari semua pihak termasuk pak lurah dan apa yang dilakukan sesuai yang dibutuhkan masyarakat,” kata Siti Fatonah.
Siti Fatonah mengakui proyek yang dijalankan tersebut sangat potensial, ditambah adanya semangat yang luar biasa dari masyarakat setempat untuk terus mau belajar dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan hasilnya pun sudah terlihat memuaskan.
Turut Raharjo menjelaskan sejak Juni 2022 dengan bantuan berupa satu mesin pencacah, timbangan, dan sejumlah drum, Pokmas Ngudi Tirto Lestari telah memanen 500 kg pupuk padat eceng gondok dan telah diujicobakan ke tanaman sayuran dan hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan menggunakan pupuk kimia.
“Biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli molase tetes tebu dan EM4 agar mempercepat pembusukan eceng gondok, harganya pun murah yakni Rp30rb bisa untuk ratusan kilogram atau empat kali tanam sayuran. Berbeda jika menggunakan pupuk kimia diperlukan biaya Rp80 ribu untuk satu kali tanam, belum lagi petani harus membeli pestisidanya,” katanya.
Ia mengakui dengan pupuk eceng gondok membuat para petani berhemat, karena tidak lagi perlu membeli pupuk kimia dan tidak perlu membeli pestisida karena tanaman yang sudah cukup pasokan nutrisi dari pupuk eceng gondok menyebabkan tanaman lebih sehat, sehingga tahan terhadap penyakit, dan tidak mudah terserang hama.
Karena tidak ada hama dan sehat, Turut Raharjo mengaku tanaman sayuran yang dipanen terlihat segar, daun berwarna lebih hijau, dan lebih gemuk batangnya. Secara keseluruhan hasilnya memuaskan bagi para petani.
“Kami berterima kasih kepada Pertamina karena telah membantu kami menemukan solusi dari permasalahan yang kami alami selama ini, bahkan memberikan nilai pemanfaatan dari masalah tersebut,” kata Turut Raharjo.
Surahmin, Kepala Desa Sobokerto mengaku senang dengan proyek yang mendapat pendampingan dari Pertamina karena tidak hanya membantu petani setempat karena tidak perlu lagi membeli pupuk kimia, sehingga membantu program pemerintah dalam pengurangan pupuk bersubsidi, tetapi juga menjadi upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan Waduk Cengklik.
“Kami menyebut eceng gondok sebagai sampah, karena perkembangannya cepat dan waduk menjadi penuh tanaman. Di sini pernah dilakukan pengangkatan eceng gondok, tetapi ya karena perkembangannya cepat jadi ya banyak lagi. Adanya proyek ini, petani mendapat manfaat pupuk dan biogas, waduk bisa bersih, pencari ikan dan yang berwisata ke waduk semuanya bisa berjalan lancar,” kata Surahmin.
Brasto Galih Nugroho selaku Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility Regional (CSR) Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga menjelaskan proyek yang diterapkan di Desa Sobokerto tersebut merupakan wujud kepedulian terhadap lingkungan, khususnya dalam menjaga kelestarian Waduk Cengklik di Boyolali.
Pertamina menjalankan Program CSR atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Desa Energi Berdikari, utamanya dengan mengedukasi masyarakat memanfaatkan eceng gondok di sekitar waduk sebagai sumber energi baru terbarukan.
Pertamina melihat Waduk Cengklik merupakan kawasan perairan di Boyolali yang tidak hanya menjadi salah satu ikon wisata alam, tapi juga memberikan dampak lingkungan dan ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Apalagi waduk buatan dengan luas genangan mencapai 300 hektare tersebut mampu menarik wisatawan setidaknya 13 ribu orang per tahun. Tidak hanya itu waduk tersebut juga menjadi sumber mata pencaharian bagi nelayan dan sumber pengairan lahan pertanian di sekitar waduk.
"Setidaknya masyarakat di dua kecamatan di sekitar Waduk Cengklik, yaitu Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Nogosari menggantungkan sumber air dari waduk tersebut," kata Brasto.
Baca juga: Kurangi pertumbuhan eceng gondok, Perum Jasa Tirta tebar benih ikan di Rawa Pening
Potensi yang besar itu, menurut Brasto, Waduk Cengklik memiliki permasalahan tersendiri, yaitu sedimentasi waduk yang disebabkan keberadaan enceng gondok yang berlebih.
"Hal itu menyebabkan daya tampung air yang semakin surut dari waktu ke waktu, mengingat tanaman eceng gondok dapat terus bertumbuh dengan cepat. Jika dibiarkan tentu akan mengganggu kebutuhan air bagi orang banyak. Berangkat dari hal tersebut, Pertamina memberikan edukasi kepada kelompok masyarakat untuk mengumpulkan dan mengolah eceng gondok, utamanya sebagai bahan bakar biogas,” kata Brasto.
Adanya pendampingan dari Pertamina, tambah Brasto, hal itu tidak hanya dapat menjaga kelestarian Waduk Cengklik, tapi juga mengurangi penggunaan pupuk kimia oleh petani, sehingga bahan yang digunakan lebih ramah lingkungan, dan memberikan penghematan serta hasil panen yang lebih sehat dan organik.
Brasto menjelaskan dari program CSR yang dijalankan di Desa Sobokerto, Boyolali tersebut merupakan salah satu wujud dari penerapan komitmen ESG atau environment, social, governance yang dijalankan Pertamina.
Selain itu, kata Brasto, program tersebut juga ikut berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) utamanya pada poin 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), poin 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), dan poin 13 (Penanganan Perubahan Iklim).
Energi terbarukan
Pemanfaatan bahan bakar fosil untuk membangkitkan energi tidak selamanya bisa dilakukan karena merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan berdampak persediaannya semakin menipis. Bahkan hasil penelitian mencatat energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam akan habis pada 2050.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada pertengahan Oktober 2022 dalam sebuah acara di Padang bahkan mengatakan cadangan energi Indonesia dari fosil bisa habis dalam 15 tahun atau kurang dari 2050 mengacu konsumsi bahan bakar saat ini.
Konsumsi bahan bakar minyak untuk sepeda motor 700 ribu barel per hari (dengan asumsi ada 120 juta sepeda motor dan jika dalam sehari menghabiskan seperempat liter), belum lagi untuk konsumsi kendaraan roda empat.
Sementara sumur minyak hanya mampu memproduksi 700 ribu barel per hari dan di tingkat puncak 1,2 juta barel per hari, hal itu menandakan sumur minyak sudah tua. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menghadapi hal tersebut di antaranya selain pencarian sumur baru, dibutuhkan konversi dari bahan bakar fosil ke energi lain yang bersih dan terbarukan.
Pakar Lingkungan Universitas Diponegoro Prof Budiyono mengakui pentingnya energi baru terbarukan untuk menggantikan energi yang bersumber dari fosil dan menurutnya sebelum melangkah ke energi baru yang bersumber dari matahari dan angin, masyarakat bisa memanfaatkan limbah yang ada di sekitarnya sebagai sumber energi alternatif yang mudah dan murah seperti memanfaatkan eceng gondok.
"Sudah saatnya kembali dengan teknologi sederhana dan mudah diterapkan. Perlu kesadaran bersama bahwa fosil bisa habis, sementara Indonesia kaya akan sumber energi alternatif lainnya, sekaligus membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan. Di sisi lainnya menghasilkan energi. Apalagi Indonesia memiliki komitmen pencapaian bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025," kata Budiyono kepada ANTARA Jateng Senin, 24 Oktober 2022.
Baca juga: Gubernur Berharap Eceng Gondok Rawa Pening Dimanfaatkan
Menurutnya untuk mencapai target tersebut sangat memungkinkan, karena Indonesia sebagai negara agraris, kaya akan sumber energi baru terbarukan termasuk yang berbasis limbah pertanian dan gampang untuk mengubahnya menjadi biogas dan sumber energi lainnya.
"Kenapa limbah, karena jika bahannya bisa dimanfaatkan untuk yang lain maka bisa berkompetitif dengan pangan. Contohnya kepala sawit bisa dibuat sebagai biogas, namun sangat dibutuhkan untuk membuat minyak. Begitu juga tapioka bisa diubah menjadi bioetanol untuk biogas, tetapi tapioka dibutuhkan di bidang pangan, sehingga cukup dari limbahnya yang diolah untuk bahan energi," katanya.
Sementara untuk minyak jarak juga eceng gondok katanya, belum dimanfaatkan sebagai pangan, sehingga bisa dimanfaatkan langsung sebagai sumber energi baru terbarukan. Apalagi dari dulu eceng gondok selalu memunculkan masalah akibat eutrofikasi atau masalah lingkungan hidup berupa pencemaran air yang disebabkan munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air, sehingga eceng gondok pertumbuhannya terus ada.
Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu yang bisa dilakukan justru dengan memanfaatkannya dan salah satunya menjadi biogas, karena justru eceng gondok memenuhi parameter bagus untuk dibuat biogas yakni mengandung rasio karbon dan nitrogen atau carbon to nitrogen ratio atau C/N ratio.
"Jadi untuk membuat biogas salah satu parameternya adalah memiliki C/N ratio 20 sampai 30 agar pertumbuhan bakterinya bagus dan eceng gondok masuk dalam rentang itu. Cukup eceng gondok dan air, bakterinya sudah tumbuh dengan baik. Karena C/N rationya sudah ideal, sehingga sangat mudah untuk dibuat menjadi biogas dan tidak perlu perlakuan tambahan," kata Prof Budiyono.
Begitu menjadi
Bahkan mesin pencacah eceng gondok, lanjutnya, juga bisa menggunakan biogas. Jadi semua energi bersumber dari daerah setempat dan hasilnya untuk sumber energi yang bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, sehingga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Selain dari tanaman, limbah tanaman, tambahnya, ada juga sumber lain sumber energi baru terbarukan seperti kotoran ternak yang juga kaya akan nitrogen, sehingga cukup ditempatkan di tempat kedap udara dengan perbandingan satu banding satu antara kotoran hewan dengan air.
Ia menggambarkan seperti rantai makanan berupa perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan dalam hal ini eceng gondok, dicacah dijadikan biogas dan pupuk. Biogas untuk memasak dan penerangan, sedangkan pupuk untuk tanaman. Tanaman subur, dijual bisa dengan harga mahal, dan petani makmur. Bahkan jika lebih panjang alurnya, dari tanaman yang subur bisa dipakai untuk pakan ternak, ternaknya gemuk dan beranak banyak, kotoran ternaknya pun bisa diolah jadi biogas. Hal itu menjadikan pertanian dan peternakan maju beriringan.
Hal sama juga disampaikan Ninik Damayanti selaku Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah yang menilai pemanfaatan eceng gondok menjadi biogas dan pupuk sudah tepat karena tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi juga bisa menjadi salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem perairan.
Baca juga: Eceng Gondok Rawa Pening Bakal Diolah Jadi Energi
Eceng gondok, kata Ninik kepada ANTARA Jateng Rabu (2/11/2022), merupakan tumbuhan ekosistem rawa atau ekosistem buatan seperti waduk dan jika sampai blooming, pertumbuhannya menutupi permukaan rawa atau waduk, maka hal itu bisa mengganggu biota yang ada di perairan tersebut karena cahaya matahari dan oksigen menjadi terbatas.
Pertumbuhannya yang cepat juga bisa menyebabkan pendangkalan dan jika kemudian masyarakat setempat bisa memanfaatkannya secara berkelanjutan karena untuk bahan biogas dan pupuk, hal itu merupakan langkah bagus karena bisa mengurangi dampak pada ekosistem air yang disebabkan eceng gondok.
Memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan merupakan tugas kita semua. Begitu juga dengan memanfaatkan ciptaan-NYA secara maksimal dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan. Sejatinya memanfaatkan eceng gondok sebagai energi alternatif dan energi terbarukan adalah ikhtiar dalam mensyukuri nikmat Tuhan.
Baca juga: Kerajinan Eceng Gondok Raup Omzet Jutaan Rupiah