Purwokerto (ANTARA) - Sebanyak 10 lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) menyatakan dukungan kepada kebijakan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
"Dukungan tersebut disampaikan oleh perwakilan 10 organisasi petani hutan atau LMDH beserta dua perwakilan pemerintah desa dan masyarakat sipil dalam kegiatan yang digelar di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, pertengahan April kemarin," kata anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perhutanan Sosial Wilayah Jawa Tengah Sungging Septivianto di Purwokerto, Banyumas, Kamis.
Dalam hal ini, kata dia, kebijakan KHDPK tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 Tahun 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) Pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
Ia mengatakan berdasarkan surat keputusan tersebut, kawasan hutan seluas 1,1 juta hektare "dilepas" dari Perhutani dan kembali dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk salah satunya ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui Perhutanan Sosial.
Selain perhutanan sosial, kebijakan KHDPK itu juga ditujukan untuk kepentingan penataan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Di Jawa Tengah, lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus seluas 202.988 hektare yang terdiri atas 136.293 hektare hutan produksi dan 66.749 hektare hutan lindung.
"Di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial terdapat berbagai skema pengelolaan hutan, mulai dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Di dalam hutan desa, lembaga di bawah pemerintah desa dapat menjadi pengelola hutan untuk memajukan desa," kata Sungging.
Baca juga: Pemerintah perlu segera respons penolakan penetapan KHDPK
Menurut dia, hutan kemasyarakatan dapat diakses oleh kelompok petani hutan atau koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan untuk hutan tanaman rakyat hanya diperuntukkan di kawasan hutan produksi dan bisa dikelola oleh kelompok masyarakat dan koperasi.
Di masing-masing skema, kata dia, tiap kelembagaan pengusul perhutanan sosial dapat mengajukan lokasi pengelolaan hutan hingga maksimal 5.000 hektare dan masing-masing anggota pengusul berhak mengelola maksimal 15 hektare untuk setiap kepala keluarga selama 35 tahun.
"Dengan diberikannya hak akses hutan oleh pemerintah, diharapkan masyarakat desa hutan dapat hidup lebih sejahtera dengan tetap menjaga lingkungan yang lestari, seperti yang selalu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan petani," katanya.
Ia mengatakan sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan perhutanan sosial dan KHDPK, 10 LMDH dan perwakilan pemerintah desa bersepakat untuk segera bersurat kepada
Menteri LHK di Jakarta dan Komisi IV DPR RI agar segala keperluan serta sarana pendukung untuk percepatan perhutanan sosial disiapkan pemerintah, sehingga rakyat menjadi akan lebih cepat merasakan manfaatnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa Melung Timbul Yulianto memberikan apresiasi atas terbitnya SK Menteri LHK Nomor 287 Tahun 2022 tersebut dan berharap hutan di desanya masuk dalam lokasi KHDPK.
"Di desa kami lebih dari 100 orang bekerja sebagai petani hutan dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Selain itu, hutan bagi kami tidak hanya memiliki nilai ekonomi juga lingkungan, sumber air semua ada di hutan, untuk itu kami ingin memiliki kewenangan untuk menjaganya," kata Timbul.
Baca juga: Karyawan Perhutani tolak SK KHDPK
Baca juga: Menteri Siti Nurbaya dorong perhutanan sosial untuk kesejahteraan masyarakat