Solo (ANTARA) - Dosen asal Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Waston akan menjadi guru besar ketiga bidang Agama Islam di Jawa Tengah seiring dengan pengukuhannya pada Sabtu (3/4).
Pria asal Kota Yogyakarta tersebut di Solo, Rabu, mengatakan pada pengukuhannya akan membacakan berjudul "Kemanusiaan dan Keberagaman Baru Pascapandemi".
Ia mengatakan salah satu topik yang juga akan disampaikan adalah perubahan dunia pendidikan sebelum dan sesudah pandemi COVID-19.
"Dunia pendidikan sedang berubah dan tidak akan kembali seperti sebelum pandemi. Saat ini kita sedang berada pada point of no return," katanya.
Ia mengatakan hal tersebut tidak hanya terjadi akibat pandemi COVID-19 tetapi juga terjadinya alih teknologi dalam dua dekade terakhir sehingga berdampak pada perubahan yang terjadi saat ini.
"Dalam waktu dekat pembelajaran luring mungkin akan kita rasakan kembali, namun bukan berarti bahwa metode daring yang kita gunakan selama pandemi akan ditinggalkan sama sekali. Bahkan sebelum pandemi aplikasi pembelajaran daring telah bermunculan," katanya.
Ia mengatakan kursus dan privat yang dulunya didominasi lembaga bimbingan belajar juga telah beralih ke aplikasi interaktif sebelum pandemi terjadi.
"Oleh karena itu, kita harus bersiap seandainya cara belajar konvensional kelak mulai ditinggalkan," katanya.
Sementara itu mengenai kemanusiaan, dikatakannya, kondisi tersebut juga membuat manusia harus terus memperbarui diri agar mampu mengatasi perubahan. Dengan demikian, dikatakannya, seseorang tetap menjadi manusia di masa depan.
"Salah satu yang juga harus terus diperbarui adalah kohesi sosial kita dengan sesama manusia. Jika, pandemi ini membuat kita semakin individualis dan kehilangan empati dan simpati kepada orang lain, maka kita kehilangan hakikat kita sebagai manusia, yang fitrahnya adalah makhluk sosial," katanya.
Ia mengatakan kondisi tersebut menjadi tantangan di masa pascapandemi, yaitu bagaimana mengembalikan manusia menjadi makhluk sosial yang berbelas kasih meski berada dalam kenormalan baru.
"Hanya kohesi sosial yang penuh rasa empati saja yang membuat kita tetap memiliki otoritas atas kemanusiaan kita," katanya.*