Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Jawa Tengah menggandeng berbagai pihak dalam memasifkan Gerakan "Jo Kawin Bocah" sebagai upaya mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
"Kami melakukan gerakan masif agar kawin bocah tercegah dan masyarakat menjadi teredukasi. Di sini harus ada sinergi antara pemerintah, komunitas, dunia usaha, akademisi, dan media," kata Kepala DP3A Jateng Retno Sudewi di Semarang, Senin.
Ia menyebut angka perkawinan usia anak di Jateng termasuk tinggi yakni mencapai 10,2 persen dari jumlah penduduk 34,7 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2019, dimana sepertiganya adalah anak-anak.
Perkawinan usia anak banyak terjadi di Kabupaten Jepara, Pati, Blora, Grobogan, Cilacap, Brebes, Banjarnegara, dan Purbalingga
Menurut dia, perkawinan usia anak disebabkan faktor ekonomi atau kemiskinan, faktor sosial budaya masyarakat, pendidikan, dan hamil di luar nikah.
"Angka kasus perkawinan usia anak di Jateng jumlahnya lebih dari 300 kasus. Pada September 2020 saja, pelaku perkawinan usia anak paling banyak adalah perempuan dengan 7.268 orang," ujarnya pada diskusi "Gerakan Bersama Jo Kawin Bocah, Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Tengah" secara virtual.
Oleh karena itu, pemerintah mengajak semua pihak untuk bersama-sama bisa mencegah terjadinya perkawinan usia anak.
Aktivis antiperkawinan usia anak dari Yayasan Kita Bersama Lies Marcoes Natsir mengatakan bahwa tahun ini merupakan menjadi momen bagus bagi Jateng untuk mencegah perkawinan usia anak.
"Jateng punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi, dari segi keagamaan, Jateng juga memiliki pondok pesantren dengan jumlah cukup banyak, sedangkan untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya," katanya.
Selama belasan tahun melakukan penelitian perkawinan usia anak di Jawa Tengah, Lies Marcoes Natsir menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan dengan jumlah perkawinan usia anak, dan perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender.
Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret Rahesli Humsona menyebut bahwa terjadinya perkawinan usia anak merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meskipun terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan, namun itu harus diubah dengan cara diberi pengertian.
"Perkawinan anak adalah pelanggaran, hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah, ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis," ujarnya.
Kendati demikian, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orang tua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit karena banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang-bidang informal yang penghasilannya sedikit.
"Penyebab lainnya adalah konsumsi video porno. Ini akan meningkat pada situasi untuk mempraktikkan, mereka yang malu akan mengajak pacarnya. Yang tidak punya pacar akan beralih ke prostitusi," katanya.
Di saat pandemi seperti saat sekarang, juga dinilai Rahesli turut mempengaruhi anak-anak lebih banyak mengkonsumsi internet dengan alasan belajar daring dan membuat anak-anak menjadi jenuh sehingga mereka ingin hiburan namun tidak bisa bebas keluar, sehingga konten porno di internet menjadi salah satu pelarian.
Ia mengingatkan para orang tua agar lebih sering mengawasi anak-anak saat mengonsumsi internet, sekalipun saat belajar daring dan harus berani memanggil anak-anak mereka yang telah berpacaran, dan memberi pemahaman tentang pendidikan seksualitas yang benar.
Sementara itu, Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Purworejo Abdurrahman mengatakan selama ini asumsi yang berkembang adalah pihaknya adalah instansi penyubur perkawinan usiabanak.
"Terus terang kami juga memiliki problematika, sebab pintunya lewat Pengadilan Agama, bahkan ada tulisan tidak perlu dispensasi pernikahan. Kami memiliki problematika sendiri, kami justru menjaga jangan sampai terjadi pernikahan usia anak," katanya.
Abdurrahman melihat perlunya kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang memiliki kaitan dengan masalah perkawinan usia anak di Jawa Tengah ini.
"Saya ingin kita semua bergandengan tangan, bergerak bersama karena ini tidak mungkin bisa ditangani satu sektor saja," ujarnya.