Magelang (ANTARA) - Hujan sudah datang November tahun ini. Puncak musim itu diprakirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sejak beberapa waktu lalu, akan terjadi selama Januari hingga Februari tahun depan.
Turun hujan sudah dinanti setelah selama beberapa bulan lalu musim kemarau yang bahkan menghadirkan jeritan krisis air bersih oleh masyarakat di berbagai daerah. Entah, apakah hujan yang makin banyak akan diratapi dan diminta enyahkan, ketika hal yang tak diinginkan ternyata hadir, yakni malapetaka banjir, tanah bergerak, tanah longsor, atau banjir lahar hujan sisa erupsi gunung berapi.
Belum lagi ketika bencana laut dan udara sering tersimak dan menimpa para korban dengan salah satu penyebabnya musim hujan, meski sedemikian rupa diantisipasi dengan gencarnya informasi peringatan dini berdasarkan logika keilmuan dan kearifan lokal "ngelmu titen" masyarakat basis.
Kalau musim kemarau maupun hujan terus menerus ditimpakan menjadi identitas kebencanaan, pancaroba dengan lisusnya pun tetap sama saja, bikin sedih. Tanda-tanda musim peralihan, bahkan bisa-bisa tak membuat urat syarat elok, menikmati pentas alam maha dahsyat berupa ribuan laron setiap pagi dan petang beterbangan, atau segarnya sajian orkestra bunyi tonggeret (Cicadidae) dari panggung mereka di pepohonan pada siang hari.
Syukur atas cahaya kemarau dan sujud karena turunnya hujan, nampaknya perlu ditanam hingga sedalam-dalamnya sebagai spirit anugerah Sang Kuasa Segala-galanya bagi makhluk yang bisa menggunakan nurani dan mengembangkan olah berpikir, untuk mengakrabi jagad alam raya, tempatnya tinggal.
Pemerintah memang sudah sewajarnya membuat lembaga formal yang tugasnya antara lain menangani kebencanaan, seperti badan penanggulangan bencana baik skala nasional maupun daerah, BMKG, atau Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).
Berbagai institusi dengan segala perangkat dan personel jajarannya di seluruh negeri itu, membaca secara ilmiah perkembangan fenomena alam setiap saat untuk memprakirakan dampak yang bisa terjadi atas perubahan alam dan musim.
Akan tetapi, mereka bukan satu-satunya pihak yang harus menangani hal-hal terkait dengan musibah karena alam. Butuh keterlibatan masyarakat dengan berbagai elemennya membangun kepemilikan kesadaran secara kuat atas keberadaan di setiap daerah dengan karakter masing-masing, termasuk potensi bencana.
Langkah mitigasi dan simulasi menghadapi bencana selalu untuk membawa masyarakat akrab atau siap siaga dengan perubahan keadaan alam dan musim setiap saat dan musim, supaya jatuhnya korban bisa diminimalisasi atau bahkan hindari.
Sukses menghadapi tabuhan dinamika alam dan musim terletak pada dampak buruk dan kerugian yang minim terhadap manusia, sedangkan pemulihan secara tepat sasaran dan cermat membawa korban bencana sampai kepada ungkapan bijaksana, "Di balik musibah, manusia beroleh berkah", yakni perubahan kepada kehidupan yang baru dan tentu lebih baik.
Kumpulan puisi
Buku kumpulan 82 puisi Annisa Hertami selama 2015-2017, "Agar Dapat Kubaca Zaman", menggunakan 14 kata "hujan", tiga "gerimis", dan satu "rintik" untuk berbagai inspirasi karya sastra yang mengguyur pekerja seni dan penulis kelahiran Magelang 1988 itu.
Ia melesakkan diksi "hujan" pada karyanya sehingga pembaca tak merasakan kooptasi malapetaka atas puisinya tentang hujan dan kehidupan, namun pembaca diajak meraihnya sebagai bagian utuh dari ungkapan kesastraan yang indah, menarik, inspiratif, dan barangkali milenial.
"Fajar, pualam, bianglala terbit di hatimu. Berirama rancak turun dari tempatnya beradu. Tak peduli emperan dingin toko-toko baju. Mantra tawa yang membakar tubuhmu. Sendok plastik, sisa nasi di kotak buangan. Teh hujan diseduh dari air talangan. Baju tipis, sarung koyak, kertas koran. Bekal hangat untuk musim penghujan. Si Pengharap melawan dingin. Dengan tawa mengusir angin. Dunia yang berputar dan bias. Topan telah membuat tubuh mereka kebas," itu salah satu puisi Annisa.
Dalam puisi berjudul "Si Pengharap di Musim Hujan" itu, nampaknya sang tokoh dikisahkan berada dalam hujan dengan simbol-simbol keadaan di sekeliling serta caranya bersiasat atas peristiwa air itu. Si Pengharap dengan perasaannya mengakrabri musim.
Usaha membawa masyarakat sampai kepada kesadaran bahwa hujan sebagai berkah, juga dilakukan selama beberapa tahun terakhir oleh peneliti air hujan secara mandiri yang juga rohaniwan, tinggal di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Romo Vincentius Kirjito.
Seakan tak peduli dengan musim, apakah kemarau, pancaroba, ataupun hujan, grup percakapan media sosial yang dibuatnya, "Kandhangudan" (kandang hujan), setiap saat menghadirkan wujud semangat anggota dari berbagai daerah dan kalangan di Indonesia, saling berbagi pengalaman praktik pemanfaatan serta eksperimen masing-masing terhadap air, termasuk air hujan.
Para pegiat dan siapa saja yang berminat, diajaknya uji coba dan berkreasi sendiri-sendiri terhadap teknologi banyu setrum atau elektrolisa dengan alat-alat sederhana, seperti topeles, keran, dan komponen listrik daya rendah. Terkait dengan teknologi itu, ia merujuk kepada "Bapak Listrik" dari Inggris, Michael Faraday (1971-1867), melalui elektromagnetisme dan elektrokimianya.
Teknologi sederhana banyu setrum yang menghasilkan air berkualitas dan layak diminum, diakui Lik Kir, sapaan akrabnya, bisa menjadi pesaing produk air mineral kemasan yang beredar secara komersial dan masif serta seolah-olah kini menjadi budaya masyarakat.
Budaya masyarakat mengonsumsi air mineral kemasan menjadikan mereka konsumen yang tidak lagi memandang detail atas produk itu. Asalkan air mineral kemasan, dianggap layak diminum. Mereka menjadi tergantung kepada produk dengan berbagai label industri dan klaim penelitian masing-masing.
"Air tidak bisa dikompresi, yang mahal sesungguhnya wadahnya. Jadi saya pikir mengapa kita tidak membuat penampungan air hujan yang saya sebut 'kandhang udan'," ucap dia.
Budaya menampung air hujan secara turun temurun, dia jumpai antara lain di masyarakat desa-desa terakhir di kawasan Gunung Merapi timur, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sedangkan atensi terhadap budaya air diraihnya ketika bertugas pastoral di kawasan Merapi barat, Kabupaten Magelang.
Melalui teknologi banyu setrum, setiap orang diajak meneliti sendiri air hujan, memproduksi, mencoba, dan menggunakan untuk diri masing-masing atau minimal keluarganya.
Selain itu, Kirjito bersama sejumlah anggota grup media sosial itu, antara lain juga mempraktikkan menampung air hujan dalam wadah ukuran besar-besar dan pembuatan prototipe konstruksi bangunan atau tempat tinggal yang memberi ruang bagi wadah penampungan banyu hujan.
Dalam berbagai forum maupun perbincangan, Lik Kir mengemukakan bahwa air hujan yang turun dari langit itu, sesungguhnya air murni yang telah disuling oleh alam sehingga kualitasnya tinggi, termasuk layak dikonsumsi.
Tentu saja, untuk mengetahui kualitas air perlu setiap orang mampu dan rajin mengukurnya. Setidaknya tersedia alat ukur untuk mengetahui tingkat asam-basa (pH/Power of Hydrogen meter) dan partikel dalam larutan air yang tidak kasat mata (TDS/Total Dissolved Solid meter). Sebagai alat, tentu keandalan pH meter dan TDS meter harus dijaga melalui kalibrasi.
Ia juga mengajak mereka membandingkan dari satu tempat ke tempat lain, dengan pengukuran terhadap air di mana saja, seperti air sumur, air tanah, air sungai, air sawah, air yang langsung dari sumbernya di alam, air yang dikelola perusahaan daerah air minum, dan termasuk air mineral produksi industri. Ihwal itu supaya pengetahuan dan wawasan anggota semakin luas dan mendapatkan pembanding yang beragam.
Namun, memang masih banyak dijumpai keraguan dan pandangan negatif terhadap air hujan yang antara lain dianggap menjadi penyebab orang sakit, terkontaminasi polusi, atau mengganggap hujan sebagai malapetaka, mengakibatkan aktivitas terganggu, serta bikin ribet.
Untuk membuktikan air hujan berkualitas dan tidak mengakibatkan sakit atau mendukung tubuh manusia menjadi sehat maka setiap orang harus mengukurnya sebelum diminum.
Lik Kir tetap tidak mengklaim air hujan yang diproses mandiri melalui teknologi sederhana itu, sebagai obat. Air hujan hasil proses elektrolisa tetap sebagai air minum yang membawa berkah dengan salah satu wujudnya tubuh sehat.
Mencintai hujan didorongnya menjadi kesadaran bersama masyarakat karena peristiwa air itu harus disadari sebagai berkah. Persoalannya, memang dari sisi manusia yang tak mampu menyediakan wadah mencukupi untuk menampung semua guyuran air hujan dari langit yang begitu luas.
Tantangan menanggapi hujan dengan airnya sebagai berkah memang tidak simpel menghadapinya. Setidaknya, hujan diletakkan dalam pandangan netral, bukan semata-mata musibah, tetapi juga berkah melimpah yang tidak mudah disediakan wadah.