Jakarta (ANTARA) - Hutan Amazon merupakan hutan hujan terluas di dunia, membentang di delapan negara di Amerika Selatan. Ekosistem ini sering kali disebut sebagai paru-paru dunia karena mampu menghasilkan 20 persen oksigen untuk penduduk bumi.
Tidak heran, kebakaran di hutan Amazon yang memasuki minggu ketiga meresahkan banyak kalangan dunia. Mulai dari Sekjen PBB Antonio Guterres hingga selebritis seperti Leonardo DiCaprio, Madonna, Shakira hingga pesepak bola Cristiano Ronaldo.
Kecaman terhadap Presiden Brazil Jair Bolsonaro masih terus mengalir dari penjuru dunia, dan itu mengingatkan pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada 2015.
Presiden Prancis Emmanuel Macron melalui cuitan di akun resminya menyebut kebakaran hutan Amazon yang merupakan paru-paru dunia penghasil 20 persen oksigen untuk penduduk Bumi merupakan krisis internasional.
Ia mengajak anggota Konferensi Tingkat Tinggi G7 membahas krisis ini terlebih dahulu dalam dua hari ke depan.
Our house is burning. Literally. The Amazon rain forest - the lungs which produces 20% of our planet’s oxygen - is on fire. It is an international crisis. Members of the G7 Summit, let's discuss this emergency first order in two days! #ActForTheAmazon pic.twitter.com/dogOJj9big
— Emmanuel Macron (@EmmanuelMacron) August 22, 2019
Pentingnya tutupan hutan
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga merupakan salah satu wakil Indonesia dalam panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) di Kerangkakerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), Intan Suci Nurhati kepada ANTARA mengatakan kebakaran hutan di Amazon, Brazil, yang skala luasannya dapat terlihat dari luar angkasa membawa kekhawatiran mengingat bencana itu dapat memicu lonjakan emisi karbon secara global.
Berdasarkan Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Lahan (Special Report on Climate Change and Land) yang dikeluarkan IPCC pada 8 Agustus 2019, disebutkan bahwa perubahan tutupan hutan juga dapat mempengaruhi suhu permukaan secara regional.
Karenanya para ahli menekankan pentingnya peran hutan dan bagaimana dampak deforestasi bagi target mitigasi gas rumah kaca untuk menekan peningkatan suhu global tidak melewati 1,5°C.
Dalam Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5°C yang dirilis 2018, IPCC telah memaparkan kajian dimana dampak perubahan iklim bagi manusia akan meningkat signifikan apabila peningkatan suhu Bumi menembus angka 2°C dari level masa pra-industri.
Dengan menekan angka pemanasan di level itu, estimasi para ahli menunjukkan bahwa upaya tersebut dapat mengurangi dampak kenaikan suhu laut bagi lebih dari 10 juta penduduk dunia. Karena berdasarkan kajian IPCC, mereduksi kenaikan muka laut setinggi 0,1 meter berimplikasi pada penurunan risiko terhadap 10 juta penduduk dunia.
Kajian tersebut berdasarkan populasi pada 2010 dan dengan asumsi tidak ada adaptasi.
“Itu report di rilis 2018. Ini ironisnya baru keluar yang SR CC and Land, ini rilis bulan ini, eh ada kebakaran Amazon ya,” kata Intan setelah menerangkan tentang Special Report on Climate Change and Land dari IPCC.
IPCC, menurut Intan, menghitung berbandingan-perbandingan penurunan risiko pada populasi penduduk dunia saat peningkatan muka air laut dapat dikurangi dengan menekan kenaikan suhu Bumi.
Gambut penyerap karbon
Kebakaran hutan dan lahan terjadi di banyak negara tidak hanya di hutan Amazon. Kawasan hutan di wilayah Irkutsk, Siberia, Rusia, terbakar awal Agustus lalu, seperti dilaporkan Reuters. Sebelumnya, kebakaran hutan bahkan terjadi di lingkar artika Kutub Utara di Alaska.
Spanyol menjadi negara yang juga kerap mengalami kebakaran hutan dan lahan saat musim panas datang. Setidaknya 9.000 penduduk dievakuasi dari desa-desa di Kepulauan Canary saat sekitar 6.000 hektare hutan dan lahan terbakar hanya dalam waktu 48 jam.
IPCC memang mencurigai peningkatan suhu bumi yang terjadi melalui mekanisme panas, di mana jumlah titik api di Bumi meningkat selain karena emisi karbon.
Karenanya, sangat penting menjaga vegetasi tutupan hutan dan lahan. Dalam skala kecil itu akan menyerap emisi karbon, kalau tutupan hutan dan lahan dijaga dalam skala besar tentu besar pula emisi yang akan terserap.
“Terutama peatland,” kata Intan, menyebutkan gambut sebagai salah satu penyerap emisi karbon terbaik.
Dalam Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Lahan dari IPCC, menurut dia, ada pernyataan terkait potensi mitigasi hutan yang berkurang. Dalam arti, jika hutan semakin mature maka rasio kenaikan penyerapan emisi karbonnya menurun.
Namun, Intan mengatakan kondisi itu berbeda dengan hutan dan lahan gambut yang bisa terus menyerap karbon dalam jangka waktu lama.
Karenanya, dengan luas hutan dan lahan gambut mencapai 22,5 juta hektare, yang mampu menyimpan 30 persen karbon dunia, maka tentu gambut Indonesia sama pentingnya dengan hutan Amazon. Namun tentu, kemampuan hebat gambut Indonesia itu hanya akan bertahan jika pihak-pihak tak bertanggung jawab berhenti membakarnya.
Pemerintah Indonesia mempermanenkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut menjadi penghentian izin baru melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019. Kebijakan ini diperkirakan pemerintah akan mampu menurunkan angka deforestasi.
Penghentian pemberian izin baru adalah sebuah langkah maju, meski Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menyayangkan selama delapan tahun moratorium izin sebelumnya belum terlihat penguatan dalam hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap seluruh hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa.
“Dibutuhkan lebih dari sekadar baby step atau langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana lingkungan hidup dan kemunduran ekonomi akibat kerusakan sumber daya alam dan dampak buruk perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah lompatan besar ke depan, langkah drastis untuk menyelamatkan seluruh hutan alam dan lahan gambut yang tersisa,” ujar Teguh.
Ia berharap tidak ada batasan perlindungan terhadap hutan dan gambut dan perlindungan seharusnya tidak hanya berhenti pada hutan primer saja.
Karena untuk mencapai komitmen iklim, sangat penting tekad Indonesia untuk turut melindungi hutan alam sekunder yang kaya karbon, keanekaragaman hayati dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal.
Baca juga: Peneliti Kenalkan Sistem Peringatan dini Kebakaran Gambut