Para penapak tanah di bawah kepakan garuda
Magelang (ANTARA) - Lukisan berjudul "Sang Raja" sepertinya bertutur tentang burung garuda. Karya itu ikut dipajang dalam pameran seni rupa "Game of Imagination" di Kompleks Wisma Salam Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kaki sang garuda nampak kukuh menapak kursi tahta dengan terbersit lambang bendera kebangsaan, Merah Putih, sedangkan sayapnya mengepakkan keperkasaan di antara burung-burung lain yang mengerumuni dan beterbangan di angkasa.
Karya pelukis Gofar di kanvas itu bersama sejumlah karya perupa lainnya hendak mengatakan tentang keindonesiaan dan refleksi perjalanan demokrasi kekinian atas negeri ini.
Pameran sejak 11-21 Juli 2019 dirangkai dengan sejumlah kegiatan seni lain dan sarasehan dengan audiens kalangan muda itu, diselenggarakan pengelola Tambo Jentera Muda, di bawah Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang.
Tema "Game of Imagination" dalam pameran itu terasa kental dengan suasana yang ditangkap atas rangkaian pemilu tahun ini. Pemilu serentak tahun ini sempat menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama menyangkut pemilu presiden, di mana terjadi keterbelahan tajam atas dukungan dan pilihan masyarakat terhadap dua pasangan kandidat, Joko Widodo-K.H. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Selama tahun politik, masyarakat terasa hidup sesak karena pesta demokrasi kental dengan warna perburuan tahta kekuasaan. Bahkan, terasakan segala cara dihalalkan para elite dan pendukung masing-masing, untuk meraih menang, termasuk melalui fitnah, penyebaran hoaks, dan perendahan martabat manusia.
Masyarakat umum yang menyaksikan laga para elite politik, seakan dibawa terbang kepada wajah suram dan tak berpengharapan kepada Indonesia yang jaya raya.
Peranti produk kemajuan teknologi dan informatika yang sedang digandrungi masyarakat, yakni media sosial pun, isinya terlihat kumuh dan tak elok disantap.
Kurator Tambo Jentera Muda, Romo Inu Nugroho Budisantoso, menyebut karya-karya seni yang dipamerkan itu ungkapan jeritan kegelisahan atau bahkan peringatan dari kreatornya karena sama-sama memiliki semangat kebangsaan dan demokrasi.
Sosok politikus yang awalnya dipandang tulus dan berpengharapan, tetapi ketika semakin masuk dalam dinamika politik, disebutnya sebagai ditelan "pasir hisap" perpolitikan yang kotor dan tidak bermanfaat.
Melalui proses kreatif yang berbeda-beda, para seniman muda dari berbagai kota itu mencerna dan menyerap segala sesuatu yang bersambungan dengan peristiwa-peristiwa politik dalam hidup bersama di Indonesia.
Oleh karenanya, karya-karya mereka menjadi semacam refleksi atas pesta demokrasi Indonesia setahun terakhir ini.
"Pada manusia yang biasa berkesenian, politik menjadi bentuk paling mulia dari penciptaan, lebih dari segalanya. Maka mencintai seni sesungguhnya juga menyelamatkan masa depan demokrasi," ujarnya.
Imajinasi dalam berdemokrasi, kata Inu yang juga pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu, menuntun orang menembus batas-batas kesulitan dan kesempitan diri, hingga tindakan politik dalam setiap aktualitanya lebih menimbulkan pengharapan daripada menghasilkan kesesakan.
Imajinasi menjadi kekuatan inspirasi para perupa hingga menciptakan karya yang kekiniannya tentang penguatan nilai-nilai keindonesiaan dan demokrasi.
Hal itu seperti terwujud dalam karya Gofar dengan lukisan garuda, "Sang Raja", Suciati Umanah dengan lukisan pohon rimbun mencari tanah dengan peta wilayah Indonesia, "Sang Kreator", Bono dengan lukisan bentangan bendera Merah Putih, "Opera Indonesia".
Selain itu, Ahmad dengan lukisan raut muka dan sosok wayang, "Wajah Nusantara", Endah Dwi Rahayu dengan karya gunungan keindonesiaan, "Bhineka Tunggal Ika", Agus dengan lukisan Bung Karno-Bung Hatta mengapit Garuda Pancasila, "Tetap Pancasila", dan Agus Nuryanto dengan karyanya tentang pemilihan umum, "Suara Emas".
Diusung
Imajinasi keindonesiaan dalam rupa burung garuda, juga diusung komunitas berbasis seniman petani Kabupaten Magelang melalui agenda kebudayaan tahunan bernama Festival Lima Gunung.
Tahun ini, festival secara mandiri mereka sebagai penyelenggaraan ke-18 berlangsung selama 5-7 Juli lalu, di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Aura perpolitikan yang berisik atas proses pemilu setahun ini, terasa disapu bersih oleh gereget festival seni budaya yang melahirkan kegembiraan bersama.
Baik penonton yang warga desa-desa dan tamu luar kota, maupun luar negeri, pengisi acara dari 77 grup kesenian dari berbagai daerah, panitia festival, maupun pegiat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang gembira bersama dalam festival itu.
Kegembiraan berfestival melalui berbagai pementasan kesenian dan nuansa bernilai budaya desa lainnya itu, terasa berada di bawah keperkasaan dan kegagahan burung garuda ukuran raksasa dengan kaki-kaki kuatnya menapak panggung seluas 8x8 meter dan tinggi 50 centimeter.
Jika direfleksikan dengan saksama, instalasi burung garuda yang menjadi latar belakang panggung pementasan, akan terasa betapa kukuhnya ia menapak tanah dan betapa perkasa kepakan sayapnya membentang nusantara.
Instalasi burung garuda raksasa setinggi tujuh meter dan lebar 12 meter, dibuat dari anyaman belarak, daun salak, jerami, dan bambu. Instalasi seni itu karya seniman Gunung Merapi, Ismanto.
Pengerjaan instalasi garuda secara gotong royong pemuda Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor di halaman rumah warga setempat, di kawasan barat daya Gunung Merapi, bersama para pemuda komunitas seniman petani yang dibangun budayawan Magelang, Sutanto Mendut.
Seorang sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja, Bambang Tri Santoso (63), menyebut detail dan riil tentang satwa terbang yang menjadi kekayaan alam kawasan Gunung Merapi itu, antara lain bulunya berwarna cokelat tua berbaur hitam, cucuk cokelat kemerahan, berkucir, dan kaki bersisik warna kekuningan.
Ia juga membedakan garuda pada masa lalu yang sering ditemuinya dengan bidu yang masih sering terlihat warga kawasan Merapi hingga saat ini.
Di puncak Merapi pernah ada batuan, sisa letusan gunung itu pada zaman lampau yang mengimajinasikan tentang burung garuda. Warga Merapi dan para pendaki menyebut batuan sebagai tempat tertinggi Gunung Merapi itu, sebagai "Puncak Garuda".
Sejumlah sumber informasi menyebut prediksi terbentuknya "Puncak Garuda" terkait dengan erupsi Merapi pada 15-21 April 1872. Namun, erupsi dahsyat Merapi pada 2010 telah membuat deformasi pula terhadap puncak tertinggi gunung berapi yang wilayahnya meliputi Jateng dan Yogyakarta itu.
"Garuda jadi penanda Merapi ada lahar, ada suara, biasanya siang. 'Suarane garuda niku krasa dugi njero ati, niku tandane nek Merapi kurda' (Suara garuda sampai tergetar di dalam hati, itu penanda Merapi akan meletus, red.)," ucap Bambang, anak keenam dari tujuh bersaudara, pendiri Padepokan Tjipta Boedaja, Romo Yoso Soedarmo (1885-1990).
Kisah burung garuda dengan pemaknaannya juga diungkapkan pemimpin Padepokan Tjipto Boedaja, Sitras Anjilin (60), kepada ANTARA di sela Festival Lima Gunung XVIII/2019, beberapa waktu lalu.
Ia mengutip Serat Pararaton (Pustaka Raja), kitab sastra Jawa Pertengahan dengan bahasa Jawa Kawi setebal 32 halaman dengan 1.126 baris, yang isinya tentang sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit.
Kehidupan garuda, dimaknai Sitras sebagai kesetiaan kepada tanah yang inspirasinya menunjuk kepada ibu pertiwi.
Diceritakan Sitras yang bungsu Romo Yoso tersebut, bahwa dalam serat itu, dua di antara 14 isteri Begawan Kasapa, yakni Dewi Kadru melahirkan para naga dan Dewi Winata melahirkan burung garuda.
Dewi Winata ketika memiliki telur garuda menjadi budak Dewi Kadru dengan tugas utama mengurus para naga. Dikatakan Begawan Kasapa bahwa kelak garuda akan membebaskan Dewi Winata dari perbudakan.
Setelah telur menetas, Dewi Kadru memberi persyaratan kepada garuda, jika ingin membebaskan ibunya, harus meminjamkan air amerta milik Dewa Wisnu dari surgaloka.
Dengan menyanggupi persyaratan dari Dewa Wisnu, akhirnya Garuda mewujudkan keinginan Dewi Kadru mendapatkan pinjaman air itu, dan ibunya pun terbebas dari perbudakan.
Ketika mengembalikan air amerta kepada Dewa Wisnu, Garuda sekaligus memenuhi persyaratan sang dewa itu untuk selamanya dirinya menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
"Demi ibunya, garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu selamanya dan ia bangga menjalaninya. Ini soal kesetiaan dan rela berkorban untuk ibu pertiwi. Garuda bangga," ucapnya.
Entah, apakah kisah itu beririsan atau bahkan bertepatan dengan inspirasi Sultan Hamid II atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie (1913-1978) ketika pada 1950 menciptakan rancangan Garuda Pancasila sebagai lambang negara?
Ihwal yang jelas, siapa pun warga negara yang memandang garuda, benaknya dengan cepat menyebut Indonesia.
Baca juga: Getaran selalu hadir di Festival Lima Gunung
Baca juga: Buku "Sumpah Tanah" jadi pembuka Festival Lima Gunung
Kaki sang garuda nampak kukuh menapak kursi tahta dengan terbersit lambang bendera kebangsaan, Merah Putih, sedangkan sayapnya mengepakkan keperkasaan di antara burung-burung lain yang mengerumuni dan beterbangan di angkasa.
Karya pelukis Gofar di kanvas itu bersama sejumlah karya perupa lainnya hendak mengatakan tentang keindonesiaan dan refleksi perjalanan demokrasi kekinian atas negeri ini.
Pameran sejak 11-21 Juli 2019 dirangkai dengan sejumlah kegiatan seni lain dan sarasehan dengan audiens kalangan muda itu, diselenggarakan pengelola Tambo Jentera Muda, di bawah Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang.
Tema "Game of Imagination" dalam pameran itu terasa kental dengan suasana yang ditangkap atas rangkaian pemilu tahun ini. Pemilu serentak tahun ini sempat menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama menyangkut pemilu presiden, di mana terjadi keterbelahan tajam atas dukungan dan pilihan masyarakat terhadap dua pasangan kandidat, Joko Widodo-K.H. Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Selama tahun politik, masyarakat terasa hidup sesak karena pesta demokrasi kental dengan warna perburuan tahta kekuasaan. Bahkan, terasakan segala cara dihalalkan para elite dan pendukung masing-masing, untuk meraih menang, termasuk melalui fitnah, penyebaran hoaks, dan perendahan martabat manusia.
Masyarakat umum yang menyaksikan laga para elite politik, seakan dibawa terbang kepada wajah suram dan tak berpengharapan kepada Indonesia yang jaya raya.
Peranti produk kemajuan teknologi dan informatika yang sedang digandrungi masyarakat, yakni media sosial pun, isinya terlihat kumuh dan tak elok disantap.
Kurator Tambo Jentera Muda, Romo Inu Nugroho Budisantoso, menyebut karya-karya seni yang dipamerkan itu ungkapan jeritan kegelisahan atau bahkan peringatan dari kreatornya karena sama-sama memiliki semangat kebangsaan dan demokrasi.
Sosok politikus yang awalnya dipandang tulus dan berpengharapan, tetapi ketika semakin masuk dalam dinamika politik, disebutnya sebagai ditelan "pasir hisap" perpolitikan yang kotor dan tidak bermanfaat.
Melalui proses kreatif yang berbeda-beda, para seniman muda dari berbagai kota itu mencerna dan menyerap segala sesuatu yang bersambungan dengan peristiwa-peristiwa politik dalam hidup bersama di Indonesia.
Oleh karenanya, karya-karya mereka menjadi semacam refleksi atas pesta demokrasi Indonesia setahun terakhir ini.
"Pada manusia yang biasa berkesenian, politik menjadi bentuk paling mulia dari penciptaan, lebih dari segalanya. Maka mencintai seni sesungguhnya juga menyelamatkan masa depan demokrasi," ujarnya.
Imajinasi dalam berdemokrasi, kata Inu yang juga pengajar Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu, menuntun orang menembus batas-batas kesulitan dan kesempitan diri, hingga tindakan politik dalam setiap aktualitanya lebih menimbulkan pengharapan daripada menghasilkan kesesakan.
Imajinasi menjadi kekuatan inspirasi para perupa hingga menciptakan karya yang kekiniannya tentang penguatan nilai-nilai keindonesiaan dan demokrasi.
Hal itu seperti terwujud dalam karya Gofar dengan lukisan garuda, "Sang Raja", Suciati Umanah dengan lukisan pohon rimbun mencari tanah dengan peta wilayah Indonesia, "Sang Kreator", Bono dengan lukisan bentangan bendera Merah Putih, "Opera Indonesia".
Selain itu, Ahmad dengan lukisan raut muka dan sosok wayang, "Wajah Nusantara", Endah Dwi Rahayu dengan karya gunungan keindonesiaan, "Bhineka Tunggal Ika", Agus dengan lukisan Bung Karno-Bung Hatta mengapit Garuda Pancasila, "Tetap Pancasila", dan Agus Nuryanto dengan karyanya tentang pemilihan umum, "Suara Emas".
Diusung
Imajinasi keindonesiaan dalam rupa burung garuda, juga diusung komunitas berbasis seniman petani Kabupaten Magelang melalui agenda kebudayaan tahunan bernama Festival Lima Gunung.
Tahun ini, festival secara mandiri mereka sebagai penyelenggaraan ke-18 berlangsung selama 5-7 Juli lalu, di kawasan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Aura perpolitikan yang berisik atas proses pemilu setahun ini, terasa disapu bersih oleh gereget festival seni budaya yang melahirkan kegembiraan bersama.
Baik penonton yang warga desa-desa dan tamu luar kota, maupun luar negeri, pengisi acara dari 77 grup kesenian dari berbagai daerah, panitia festival, maupun pegiat Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang gembira bersama dalam festival itu.
Kegembiraan berfestival melalui berbagai pementasan kesenian dan nuansa bernilai budaya desa lainnya itu, terasa berada di bawah keperkasaan dan kegagahan burung garuda ukuran raksasa dengan kaki-kaki kuatnya menapak panggung seluas 8x8 meter dan tinggi 50 centimeter.
Jika direfleksikan dengan saksama, instalasi burung garuda yang menjadi latar belakang panggung pementasan, akan terasa betapa kukuhnya ia menapak tanah dan betapa perkasa kepakan sayapnya membentang nusantara.
Instalasi burung garuda raksasa setinggi tujuh meter dan lebar 12 meter, dibuat dari anyaman belarak, daun salak, jerami, dan bambu. Instalasi seni itu karya seniman Gunung Merapi, Ismanto.
Pengerjaan instalasi garuda secara gotong royong pemuda Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor di halaman rumah warga setempat, di kawasan barat daya Gunung Merapi, bersama para pemuda komunitas seniman petani yang dibangun budayawan Magelang, Sutanto Mendut.
Seorang sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja, Bambang Tri Santoso (63), menyebut detail dan riil tentang satwa terbang yang menjadi kekayaan alam kawasan Gunung Merapi itu, antara lain bulunya berwarna cokelat tua berbaur hitam, cucuk cokelat kemerahan, berkucir, dan kaki bersisik warna kekuningan.
Ia juga membedakan garuda pada masa lalu yang sering ditemuinya dengan bidu yang masih sering terlihat warga kawasan Merapi hingga saat ini.
Di puncak Merapi pernah ada batuan, sisa letusan gunung itu pada zaman lampau yang mengimajinasikan tentang burung garuda. Warga Merapi dan para pendaki menyebut batuan sebagai tempat tertinggi Gunung Merapi itu, sebagai "Puncak Garuda".
Sejumlah sumber informasi menyebut prediksi terbentuknya "Puncak Garuda" terkait dengan erupsi Merapi pada 15-21 April 1872. Namun, erupsi dahsyat Merapi pada 2010 telah membuat deformasi pula terhadap puncak tertinggi gunung berapi yang wilayahnya meliputi Jateng dan Yogyakarta itu.
"Garuda jadi penanda Merapi ada lahar, ada suara, biasanya siang. 'Suarane garuda niku krasa dugi njero ati, niku tandane nek Merapi kurda' (Suara garuda sampai tergetar di dalam hati, itu penanda Merapi akan meletus, red.)," ucap Bambang, anak keenam dari tujuh bersaudara, pendiri Padepokan Tjipta Boedaja, Romo Yoso Soedarmo (1885-1990).
Kisah burung garuda dengan pemaknaannya juga diungkapkan pemimpin Padepokan Tjipto Boedaja, Sitras Anjilin (60), kepada ANTARA di sela Festival Lima Gunung XVIII/2019, beberapa waktu lalu.
Ia mengutip Serat Pararaton (Pustaka Raja), kitab sastra Jawa Pertengahan dengan bahasa Jawa Kawi setebal 32 halaman dengan 1.126 baris, yang isinya tentang sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit.
Kehidupan garuda, dimaknai Sitras sebagai kesetiaan kepada tanah yang inspirasinya menunjuk kepada ibu pertiwi.
Diceritakan Sitras yang bungsu Romo Yoso tersebut, bahwa dalam serat itu, dua di antara 14 isteri Begawan Kasapa, yakni Dewi Kadru melahirkan para naga dan Dewi Winata melahirkan burung garuda.
Dewi Winata ketika memiliki telur garuda menjadi budak Dewi Kadru dengan tugas utama mengurus para naga. Dikatakan Begawan Kasapa bahwa kelak garuda akan membebaskan Dewi Winata dari perbudakan.
Setelah telur menetas, Dewi Kadru memberi persyaratan kepada garuda, jika ingin membebaskan ibunya, harus meminjamkan air amerta milik Dewa Wisnu dari surgaloka.
Dengan menyanggupi persyaratan dari Dewa Wisnu, akhirnya Garuda mewujudkan keinginan Dewi Kadru mendapatkan pinjaman air itu, dan ibunya pun terbebas dari perbudakan.
Ketika mengembalikan air amerta kepada Dewa Wisnu, Garuda sekaligus memenuhi persyaratan sang dewa itu untuk selamanya dirinya menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
"Demi ibunya, garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu selamanya dan ia bangga menjalaninya. Ini soal kesetiaan dan rela berkorban untuk ibu pertiwi. Garuda bangga," ucapnya.
Entah, apakah kisah itu beririsan atau bahkan bertepatan dengan inspirasi Sultan Hamid II atau Syarif Abdul Hamid Alkadrie (1913-1978) ketika pada 1950 menciptakan rancangan Garuda Pancasila sebagai lambang negara?
Ihwal yang jelas, siapa pun warga negara yang memandang garuda, benaknya dengan cepat menyebut Indonesia.
Baca juga: Getaran selalu hadir di Festival Lima Gunung
Baca juga: Buku "Sumpah Tanah" jadi pembuka Festival Lima Gunung