Bogor (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly akan menemui mantan staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram Baiq Nuril yang meminta amnesti dari Presiden Joko Widodo pasca-penolakan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung.
"Iya bertemu pukul 16.00 WIB nanti. Baiq Nuril akan datang bersama dengan Bu Rieke (Dyah Pitaloka). Ini kan persoalan Mahkamah Agung yang tetap menolak PK-nya, berarti keputusan Mahkamah Agung, beliau itu dihukum 6 bulan," kata Yasonna seusai menghadiri sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin.
Baca juga: Pengacara Baiq tegaskan tidak minta grasi ke Presiden
Baiq Nuril adalah seorang staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram yang berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMU 7 Mataram Haji Muslim. Perbuatan Baiq dinilai membuat keluarga besar Haji Muslim malu.
Saat Baiq Nuril mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019 namun PK itu juga ditolak.
Dengan ditolaknya permohonan PK pemohon atas Baiq Nuril tersebut, maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku.
"Sejak awal, (persoalan) ini sudah menjadi perhatian terutama para pemerhati kaum wanita dan ada sesuatu yang kurang pas. Maka sekarang dan bapak presiden sudah pernah menyampaikan beliau akan memperhatikan kasus ini. Sore ini kita telaah," tambah Yasonna.
Sebelumnya tim kuasa hukum Baiq Nuril mengatakan akan mengajukan permohonan amnesti ke Presiden Joko Widodo pekan ini sebelum kejaksaan mengeksekusi putusan MA tersebut.
Baca juga: Menyoalkan Baiq Nuril jadi terpidana
"Grasi kan sudah tidak mungkin karena grasi itu menurut UU hukumannya harus (minimal) 2 tahun. Ini kan cuma 6 bulan, maka salah satu opsi yang mau kita kaji adalah amnesti. Memamng amnesti itu ada juga yang pernah dilakukan untuk perorangan, tapi pada dasarnya, pada praktiknya adalah untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan politik ya amnesti besar pada zaman Bung Karno kemudian Muchtar Pakpahan dikasih amnesti oleh Pak Habibie, kemudian Budiman Sujatmiko karena kejahatan ada kaitannya dengan politik," ungkap Yasonna.
Namun menurut Yasonna, pemberian amnesti harus dipertimbangkan dengan baik.
"Amnesti ini tidak ada dibatasi, maka kita akan mempelajari secara mendalam soal hal itu kali ini. Malam ini saya juga mengundang beberapa teman-teman pakar untuk mendiskusikan ini dalam bentuk FGD (Focus Group Disucussion) kasus Baiq Nuril ini. Kita betul-betul memberikan perhatian yang sangat serius tentang kasus ini, mencari jalan keluar untuk disampaikan kepada publik," tambah Yasonna.
Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.
Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Hukum dan HAM.
Pasal 4 UU 11/1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan.
Yasonna mengaku permohonan amnesti tersebut belum disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
"Belum, belum (ke Presiden). Kan waktu kita di Manado Bapak Presiden sudah berbicara kepada media juga tentang hal itu, kita dengar dulu dari Baiq Nurilnya nanti," tambah Yasonna.
Yasonna juga menjelaskan bahwa amnesti dapat diberikan setelah mendengar masukan dari DPR.
"Ya kan sebetulnya dalam konstitusi kita pasal 14 menyebutkan Presiden dapat memberikan amnesti, tidak ada batasan. Tapi amnesti diberikan setelah mendengar dari DPR. Jadi jalurnya di sana. Nah, ada orang melihat ini terlalu kecil, bukan sial terlalu kecil, soal ini rasa keadilan masyarakat yang sangat luas terusik dalam kasus ini," ungkap Yasonna.
Majelis hakim sidang PK menilai kasus yang menjerat Baiq, yaitu mentransmisikan konten asusila sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), memang terjadi.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bertugas di SMAN 7 Mataram dan kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim. Muslim sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, ia merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Muslim melaporkannya ke penegak hukum.
Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyatakan ia tidak terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.
Dalam persidangan, Majelis Hakim PN Mataram bahkan menyatakan bahwa unsur "tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana/atau dokumen elektronik" tidak terbukti sebab bukan ia yang melakukan penyebaran tersebut, melainkan pihak lain.